Ayah bundaku tlah tiada
Keduanya pergi dengan cara yang berbeda
Tanpa pamit ayahku pergi secara tiba-tiba
Membuat sesak di dada
Kerongkonganku terkunci beberapa jeda
Selera makanku serasa tercabut paksa
Kulihat regang ketakutan tampak merona
Kubimbing kepergian ayah dengan lantunan Paritta
Perlahan-lahan ketegangan diwajahnya lenyap sirna
Kini tak ada lagi panggilan sayang yang setiap pagi menyapa
Berbekal doa yang kupanjatkan setiap hari
Setiap pagi dan sore tanpa jemu kubuatkan perlindungan untuk beliau yang sangat kucintai
Sebuah istana yang beralas, berdinding dan beratapkan Paritta-Paritta suci
Beberapa tahun kemudian bundaku pun menyusul pergi
Beliau pergi di dini hari dalam sepi sendiri
Padahal baru kemarin sore kuterima pemberitahuan medis kalau besok bundaku sudah dapat pindah dari ruang isolasi
Nyatanya bundaku lebih memilih pindah dari alam ini
Aku diam terpaku meresapi, karma dan anicca selalu pasti
Tapi mengapa harus sekarang ? Tiga hari lagi aku berulang tahun
Dan itu akan menjadi saat yang tak'kan pernah dapat kulupakan
Empat Puluh Delapan tahun yang lalu ibuku berhasil memenangkan pertandingan
Aku lahir dengan pertaruhan antara hidup dan mati yang penuh pergumulan
Takada air mata yang keluar, hanya tikaman perih di dada
Berbuncah dengan kegamangan yang mendera
Namun aku harus kuat menghadapi kenyataan yang ada, karena inilah Dhamma
Apalagi yang dapat kulakukan selain menerima semuanya dengan penuh kesadaran
Bahwa semua yang terbentuk tidaklah kekal
Hanya sampai disinikah baktiku kepada orang tua dan leluhurku ?
Jawabnya adalah T I D A K, karena aku dapat berbakti dengan caraku sendiri
Melimpahkan jasa kepada mereka atas setiap perbuatan baik yang kuperbuat
Menjaga sila agar dapat membantu mereka meringankan panasnya api neraka
Semua itu lebih dibutuhkan dari sekedar ritual-ritual yang tak pasti
Semoga ayah bunda dan semua leluhurku dapat bertumimbal lahir di alam yang sesuai dan dapat berkenalan dengan Buddha Dhamma. Sadhu ... Sadhu ...Sadhu
**
Jakarta, 2 Juli 2022
Penulis: Sumana Devi, Kompasianer Mettasik
"Hidup Cuma Sekali, Harus Dinikmati. Sakit Diobati, Mati Dikremasi."
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H