Dalam Lautan Samsara, Pentingnya Bakti Kepada Leluhur (gambar: psypost.org, diolah pribadi)
Dalam lautan samsara kita adalah sama. Kita adalah pengembara samsara. Terus berpindah alam tanpa awal, tanpa ujung, tiada henti. Saat ini merupakan kesempatan terbaik dalam hidup. Dapat terlahir sebagai manusia adalah sangat langka. Berkat jasa orang tua kita dapat lahir di dunia mengenal Dhamma dan menjalankan ajaran mulia.
Selama sembilan bulan seorang ibu menjalani kehidupan yang tidak mudah. Demi menjaga janin yang dikandung seorang ibu mempertaruhkan hidupnya. Begitu pula seorang ayah. Berjuang sepanjang hari untuk menunjang kesejahteraan keluarga.
Bayi yang lahir disambut dengan kebahagiaan orang tua. Namun episode baru penderitaan orang tua juga dimulai. Bayi nangis sepanjang malam. Orang tua kurang tidur sibuk menemani dan menentramkan sang anak. Belum lagi kalau anak sakit, orang tua stres dan cemas.
Dalam Khira sutta, Samyutta Nikaya Sang Buddha telah menyatakan air susu ibu yang telah kita minum sepanjang siklus samsara adalah lebih banyak dari air laut empat maha samudra.
Orang tua memainkan peranan penting dalam kehidupan anaknya. Semua kebutuhan anak mereka penuhi dengan mengorbankan kebutuhan mereka sendiri. Bahkan bersedia mengorbankan hidup mereka demi anak mereka. Cinta kasih orang tua adalah tanpa syarat, tidak mengharapkan imbalan apa pun. Cinta kasih yang satu arah.
Dalam Mata Sutta, Samyutta Nikaya, Sang Buddha mengingatkan kita sepanjang perjalanan kita dalam siklus kelahiran dan kematian tiada akhir adalah sulit menemukan seseorang yang belum pernah menjadi ayah atau ibu kita di kehidupan lampau.
Pada saat yang sama kita sudah pernah menjadi ibu atau ayah dari jutaan orang sepanjang pengembaraan siklus kelahiran dan kematian. Adalah sulit untuk bertemu seseorang yang belum pernah menjadi saudara perempuan,saudara laki-laki, anak laki-laki dan anak perempuan dalam kehidupan sebelumnya.
Dalam Sigalovada Sutta, Digha Nikaya Sang Buddha memberikan nasihat pada seorang pemuda bernama Sigala mengenai makna penghormatan ke enam arah.
Penghormatan tersebut adalah: Ibu dan Ayah (arah timur), Para guru (arah selatan), istri dan keluarga (arah barat), teman dan kolega (arah utara), Pembantu dan karyawan (arah bawah), dan petapa (arah atas).
Buddha juga menjelaskan ada lima kewajiban seorang perumah tangga terhadap ibu dan ayah mereka yaitu: merawat orang tua, melakukan kewajiban orang tua, menjaga tradisi keluarga, membuat diri menjadi pantas menerima warisan dan melakukan perbuatan baik atas nama mereka setelah mereka meninggal.
Pentingnya bakti pada para leluhur.
Dalam perjalanan samsara yang tidak berujung tak terhitung makhluk yang menjadi leluhur kita. Ada yang menjadi setan atau makhluk peta karena perbuatan tidak baik yang telah mereka dilakukan. Mereka mengharapkan ada keturunannya berbuat baik dan melimpahkan jasa pada mereka.
Ketika pada hari pertama mempersembahkan dana, Raja Bimbisara lupa melimpahkan jasa pada delapan puluh ribu makhluk peta yang menunggunya. Mereka adalah leluhur raja pada kehidupan Buddha Pussa, sembilan puluh dua putaran waktu di masa lampau. Mereka menjadi marah dan membuat suara dan penampakkan yang menakutkan.
Sang Buddha menyarankan Raja Bimbisara melakukan lagi mempersembahkan dana dan melakukan pelimpahan jasa.
Pada hari berikutnya raja mengundang Sang Buddha beserta para muridNya untuk menerima persembahan dana makanan dan minuman yang berlimpah-limpah dan mengucapkan: "Yang Mulia, semoga makanan dan minuman yang saya persembahkan ini diterima pula oleh mahluk-mahluk di alam peta."
Pada saat itu juga setelah Raja Bimbisara melimpahkan jasa kebajikan yang dilakukannya, makhluk-makhluk di alam peta yang merupakan leluhur raja segera menerima makanan dan minuman dengan penuh kebahagiaan.
Upacara pelimpahan jasa sering disebut patidana atau punnadana. Secara umum diterjemahkan sebagai persembahan kebajikan. Pelimpahan jasa tidak hanya dilakukan pada hari tertentu saja seperti peringatan kematian atau Ceng beng. Pelimpahan jasa sejatinya bisa dilakukan setiap waktu dan setiap saat.
Kebajikan yang dilakukan tidak harus berupa materi. Dana dapat dilakukan dengan memberi makan pada hewan, dana kebebasan makhluk ke alam bebas, memberikan nasihat, berbagi Dhamma dan gambar Buddha dalam grup perpesanan, donor darah, ikut bermudita citta pada kebahagiaan orang lain.
Kebajikan berikutnya adalah menjalankan aturan moral atau Pancasila Buddhis. Pada hari tertentu menjalankan aturan lebih tinggi. Kebajikan ini lebih mulia dari kebajikan berdana. Sila membuat seseorang terhindari dari alam menderita seperti alam binatang dan neraka.
Selanjutnya kebajikan yang lebih tinggi adalah menjalankan meditasi. Menjaga pikiran menjadi sadar dan bebas dari kotoran batin. Meditasi yang telah berkembang membuat seseorang dapat menjaga pikiran, ucapan dan perbuatannya.
Setiap kali melakukan kebajikan kita dapat mengucapkan atau merenungi dalam hati, "Saya membagikan bagian kebajikan ini kepada semua makhluk, biarlah mereka semua mendapatkan bagian yang sama dengan saya."
Bayangkan berapa banyak makhluk yang mendapat manfaat dari kebaikan yang telah kita lakukan. Leluhur yang ada di alam menderita dapat terangkat ke alam bahagia. Leluhur yang telah lahir di alam bahagia juga bisa ikut berbahagia.
Semua makhluk termasuk leluhur dan para dewa akan senang dengan mereka yang sering berbuat kebajikan dan suka berbagi jasa. Tanpa diminta pun mereka dengan senang hati akan membantu dan menjaga kita. Tentunya mereka dapat membantu apabila kita ada simpanan kamma baik.
Mari kita jadikan moto "Tiada Hari Tanpa Pelimpahan Jasa" dalam kehidupan kita sehari-hari.
**
**
Jakarta, 2 Juli 2022
Penulis: Joe Hoey Beng, Kompasianer Mettasik
Wiraswasta | Konsultan Finansial
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H