Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memaknai Tujuan Hidup Melalui Perjuangan Hidup

16 Juni 2022   04:35 Diperbarui: 16 Juni 2022   04:40 1141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memaknai Tujuan Hidup Melalui Perjuangan Hidup (gambar: neurohacker.com, diolah pribadi)

Ketika kita masih kecil sewaktu duduk di sekolah dasar, seringkali para guru didik akan bertanya: "Kamu kalau sudah besar mau jadi apa? Apa cita-cita kamu?"

Lantas para murid akan menjawab berbagai macam jawaban seperti ingin menjadi guru, dokter, pengacara, penyanyi, bahkan ada yang bercita-cita sebagai presiden.

Itu sah-sah saja meskipun mereka tidak tahu apa itu profesi yang mereka impikan. Mereka semua akan memberi jawaban berdasarkan profesi orang tua, kakak tertua, atau bahkan dari apa yang mereka tonton atau dengar.

Setelah kita dewasa, kita akan merasakan apa itu tujuan hidup ini. Terutama jika kita telah menyelesaikan jenjang pendidikan yang cukup tinggi dan mulai bekerja.

Dari sini banyak yang akan menjalankan kehidupan dengan mencari pasangan. Lalu jika mereka telah siap maka kelak ingin mendapatkan momongan. Rasanya rerata manusia memilih hidup seperti ini di dunia.

Apa pun yang kita jalani dan kita jadikan tujuan hidup sudah pasti untuk mencapai kebahagiaan. Jika kebahagiaan sudah diraih maka kita akan berusaha untuk mempertahankan dan memperpanjang masa kebahagiaan. Lalu kita akan mencari dan berusaha untuk menambah kebahagiaan.

Kalau saja kebahagiaan yang diraih sesuai dengan keinginan maka hal tersebut terlihat mudah. Namun beberapa orang akan mengalami kesulitan untuk mencapai kebahagiaan yang diimpikan. Apalagi untuk melanjutkan kehidupan ini sebagai manusia akan terasa sulit jika tidak ada kondisi yang mendukung.

Ada satu hal ketika kita usahakan maka kita bisa meraih hal-hal yang mendukung ke arah pencapaian kebahagiaan. Hal itu adalah usaha keras yang penuh dengan kegigihan dan semangat tanpa lelah.

Di dalam Dhammapada Atthakatha ada satu kisah hidup yang memberikan kita inspirasi tentang bagaimana menghadapi kehidupan yang sangat tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Kisah itu adalah kisah Patacara Theri.

Patacara adalah seorang gadis cantik yang terlahir di keluarga kaya raya di kota Savatthi. Kedua orang tuanya selalu menjaga Patacara dengan ketat dari para pria. Hingga suatu hari Patacara pergi meninggalkan rumah bersama seorang pria yang dia cintai. Pria itu adalah pelayan keluarga. Mereka jatuh cinta dan mengetahui bahwa hubungan mereka pasti akan ditentang oleh orang tua Patacara karena pria tersebut adalah seorang yang miskin.

Mereka lalu lari dari rumah tersebut dan memilih untuk tinggal di suatu desa. Ketika Patacara sudah pergi meninggalkan rumah tanpa persetujuan orang tua, dia menjadi seorang yang miskin tidak seperti ketika dia tinggal bersama orang tuanya.

Dia menikah dengan pemuda tersebut dan hidup sebagai istrinya. Bisa dibayangkan betapa sulitnya Patacara hidup saat itu. Dia sudah terbiasa hidup mewah dan segala sesuatu sudah tersedia. Namun sekarang dia harus melakukan urusan rumah tangga seorang diri.

Tidak berapa lama setelah mereka menikah, Patacara mengandung. Ketika usia kandungan kira-kira sembilan bulan lebih, Patacara memutuskan ingin melahirkan di rumah orang tuanya yang sudah pasti akan memudahkan dirinya untuk melahirkan anak dan untuk melanjutkan tradisi keluarga. Tetapi suaminya tidak setuju dengan alasan jika Patacara kembali ke rumah orang tuanya, mereka tidak akan menerima suaminya dan masih banyak alasan lainnya.

Secara diam-diam Patacara pulang seorang diri. Namun suaminya mengetahui dan mengejar Patacara. Suami Patacara berhasil menghampiri Patacara dan mengajak dia untuk kembali ke rumah mereka. Patacara menolak dan terpaksa suaminya ikut. Tetapi kehamilan Patacara sudah sangat dekat jadinya dia terpaksa melahirkan bayinya di balik semak-semak. Karena anaknya sudah lahir, maka dia sudah tidak punya alasan untuk pulang ke rumah orang tuanya.

Hal demikian terjadi untuk kedua kalinya dan saat ini Patacara pergi bersama putra tertuanya. Saat ini dia benar-benar harus melahirkan anak lelakinya yang kedua. Namun keadaan tidak terlalu mendukung. Hujan yang sangat lebat tercurahkan dari langit. Maka dari itu, suaminya mencari tempat yang sesuai untuk Patacara agar bisa melahirkan dengan aman. Suaminya juga mengumpulkan ranting dan dedaunan agar Patacara, putra tunggal dan bayi yang akan lahir tidak basah oleh hujan yang sangat lebat.

Sungguh malang, seokor ular berbisa mematuk suaminya yang sedang mengumpulkan ranting dan dedaunan. Dia meninggal di tempat dengan sangat cepat. Sementara Patacara dan putra tunggalnya masih menunggu dan mengharapkan kedatangannya. Syahdan kelahiran putra kedua Patacara sudah tidak bisa menunggu lagi. Dia lahir saat itu juga.

Malam itu adalah malam yang sangat berat untuk Patacara dan kedua anaknya untuk melewati malam dengan aman dan nyaman. Hanya seorang diri dengan anaknya yang masih kecil dan seorang bayi yang baru saja lahir. Kedua anaknya terus menangis karena suara dari halilintar dan gemuruh air hujan yang lebat dan dahsyat. Patacara hanya bisa merangkul, menutupi mereka dengan kain dan pakaiannya sendiri.

Kendati demikian, mereka berhasil melewati malam itu dengan penuh penderitaan. Patacara berpikir jika suaminya telah meninggalkan mereka atau mengalami kejadian yang naas saat mengumpulkan ranting dan dedaunan.

Dan benar saja. Ketika Patacara melanjutkan perjalanan, dia melihat jenazah suaminya yang tergeletak di tanah. Betapa sedih dan kecewanya dia. Dia menangis keras. Semua harapan hidupnya terasa hambar. Lelaki yang dicintai selama ini telah meninggal dengan cara yang tragis.

Lututnya lemas, jatuh dan segera memeluk suaminya yang sudah tidak bergerak dan kaku. Dia menyesal sudah menuduh suaminya meninggalkan mereka. Dia mencoba untuk berdiri tetapi sangat sulit dan terasa badannya berat. Dia menyalahkan dirinya yang membuat suaminya meninggal secara tragis.

Setelah tidak begitu lama, dia masih memiliki harapan untuk pergi dan bertemu dengan keluarganya di Savatthi. Dia memutuskan melanjutkan perjalanan bersama kedua anaknya meskipun hujan lebat masih tercurahkan dari langit tanpa henti.

Tibalah mereka di depan sungai yang arusnya sangat deras karena hujan yang tanpa henti sejak kemarin. Patacara sangat lelah dan letih selama perjalanan tersebut, belum lagi saat dan setelah dia melahirkan anaknya. Kini dia harus menyeberangi sungai yang berarus deras dan tinggi bersama kedua anaknya.

Dia berpikir, "sangatlah tidak mungkin untuk bisa menyeberangi sungai yang arusnya deras dan tinggi bersama kedua anak ini apalagi kondisi saya masih sangat lemah".

Patacara memutuskan untuk menyeberang sungai dengan anaknya satu persatu. Dia menyuruh putra tunggalnya untuk menunggu dirinya kembali setelah menyeberangi sungai dengan bayi yang berumur satu hari.

Patacara memegang bayinya dengan kedua tangannya erat-erat dengan mengarah ke atas agar bayi tidak hanyut dan basah oleh arus sungai. Sekuat tenaga dia melawan arus. Kakinya mencoba menginjak dasar sungai. Sangat berhati-hati karena jika tidak, dia akan terbawa arus beserta si bayi.

Akhirnya dia berhasil menyeberangi sungai tersebut dengan usaha yang keras. Ada perjuangan dengan tekad dan semangat yang tangguh meskipun hatinya hancur setelah kehilangan suaminya. Dia meletakkan bayinya dengan aman agak jauh dari tepi sungai.

Sekarang dia harus balik menyeberangi sungai untuk menjemput anaknya yang pertama. Dia mengira bayinya akan aman saja karena tidak ada seorang pun di sana. Lalu dia mulai menyeberangi sungai yang mengalir deras. Sampai di pertengahan sungai, dia mendengar dan melihat seekor burung elang yang besar menghampiri si bayi. Bayi tersebut terlihat sebagai makanan yang lezat bagi elang.

Patacara berteriak dan melambaikan tangannya untuk menakuti elang tersebut. Tetapi elang tersebut tidak takut dan tidak peduli. Elang segera menangkap dan membawa bayi terbang sebagai santapannya.

Patacara menangis dan berteriak, bercampur aduk semua duka yang dialami saat itu. Bayi itu hanya bersamanya dalam waktu sehari dan sekarang harus menjadi santapan bagi burung elang. Dia terus berteriak sambil melambaikan tangan: "Bayiku, bayiku. Bawa kembali dia!"

Anak yang pertama melihat dan mendengar teriakan Patacara. Dia mengira ibunya memanggil dirinya dan langsung saja dia melangkah ke dalam sungai. Secepat arus mengalir, secepat itu pula sungai menarik putra pertamanya ke dalam arus dan hanyut terbawa di dalamnya. Patacara melihat anaknya sendiri terbawa arus. Dia tidak bisa mengejar anaknya dan hanya bisa terpaku dalam duka nestapa.

Dia tidak bisa menerima semua itu. Bagaimana mungkin dia kehilangan suami, dan kedua anaknya berturut-turut dalam hitungan hari. Dia hanya bisa merasakan kegelapan. Tidak bisa berpikir banyak. Hanya ada rasa kehilangan atas orang-orang yang dia cintai.

Hanya ada sedikit asa pada dirinya yang tersisa untuk bertemu orang tua dan saudara-saudara lelakinya di kota Savatthi. Dia hanya bisa berjalan dengan perasaan hampa. Sampailah Patacara di kota dan bertemu seorang pria dan dia menanyakan bagaimana dengan keadaan keluarganya.

Pria tersebut mengatakan bahwa keluarga tersebut semua meninggal dikarenakan badai yang merubuhkan rumah tersebut. Rumah yang rubuh telah menimpa kedua orang tua dan semua saudara lelakinya. Tidak ada yang selamat. Dan saat ini juga mereka semua dikremasi.

Semua kejadian naas yang menimpa orang-orang yang dia cintai kembali di pikirannya. Suaminya yang digigit ular berbisa, bayinya yang ditangkap burung elang, putranya yang pertama diseret oleh arus dan sekarang semua keluarganya yang tersisa meninggal karena rumah yang rubuh oleh badai yang ganas.

Pikirannya kacau, sedih, duka, lara, putus asa. Dia begitu lemah secara mental dan jasmani. Dia sudah tidak mempunyai tujuan hidup. Tak tahu ke mana dia harus pergi. Dia berlutut dan menarik bajunya hampir tidak ada pakaian di badannya.

Dia terus berjalan dan berkata seorang diri seolah-olah menceritakan kejadian naas yang dialami dalam waktu satu hari tersebut. Sampailah dia di dekat vihara Jetavana di mana Sang Buddha membabarkan Dhamma. Para pendengar melihat Patacara dan mencegah dia untuk datang lebih dekat. Tetapi Sang Buddha melihat Patacara dan berkata kepada mereka untuk membiarkan Patacara datang dan mendekat kepadaNya.

Saat Patacara mendekat di depan Sang Buddha, ada seorang yang memberikan pakaian kepada Patacara. Saat itu Sang Buddha berkata:

"Patacara, jangan takut. Mendekatlah, sadarlah, tenang dan perhatikan pikiranmu. Kamu datang kepada seorang yang dapat melindungi dan membimbingmu."

Sang Buddha lalu mengajarkan Patacara tentang kehidupan yang tanpa awal dalam samsara yang sangat panjang dan air mata yang telah menetes karena kehilangan orang tua, suami, anak dan saudara adalah lebih banyak daripada air di empat samudra.

Patacara menjadi semakin tenang dan mengerti semua itu. Apa yang dicintai adalah sebagai suatu kemelekatan. Jika yang dicintai mengalami perubahan dan bahkan kematian, maka kesedihan, ratap tangis, keputusasaan akan terjadi pada dirinya. Dia seharusnya meninggalkan apa yang sudah terjadi dan lebih mengutamakan pencapaian spritual. Saat itulah dia mengerti dan mendapatkan buah Sotapatti. Setelah itu Patacara menjadi seorang Bhikkhuni.

Pada suatu hari Patacara merenungkan semua penderitaan yang telah dia alami sambil membersihkan dan menuangkan air ke kakinya sampai tiga kali. Satu kali air langsung meresap ke dalam tanah. Kedua kalinya air lebih mengalir jauh di atas tanah dan ketiga kalinya air lebih jauh lagi mengalir sebelum meresap ke dalam tanah.

Patacara mencapai tingkat kesucian Arahanta karena saat itu beliau menembus Dhamma dan mengerti tentang tiga corak umum terhadap lima khanda ini yang menjadi objek bagi kemelekatan.

**

Dari kisah ini, kita bisa mengambil pesan moral tentang perjuangan hidup.

Terlahir sebagai manusia adalah sulit. Apalagi untuk menjalankan hidup ini secara layak dan bahagia.

Mari kita semua berjuang demi cita-cita luhur atau semua cita-cita yang bisa memberikan manfaat bagi diri sendiri dan pihak lainnya.

Selalu berjuang tanpa lelah dan penuh semangat.

**

Los Angeles, 16 Juni 2022
Penulis: Wiili Andy untuk Grup Penulis Mettasik

mettasik, dokpri, willi andy
mettasik, dokpri, willi andy

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun