Pria tersebut mengatakan bahwa keluarga tersebut semua meninggal dikarenakan badai yang merubuhkan rumah tersebut. Rumah yang rubuh telah menimpa kedua orang tua dan semua saudara lelakinya. Tidak ada yang selamat. Dan saat ini juga mereka semua dikremasi.
Semua kejadian naas yang menimpa orang-orang yang dia cintai kembali di pikirannya. Suaminya yang digigit ular berbisa, bayinya yang ditangkap burung elang, putranya yang pertama diseret oleh arus dan sekarang semua keluarganya yang tersisa meninggal karena rumah yang rubuh oleh badai yang ganas.
Pikirannya kacau, sedih, duka, lara, putus asa. Dia begitu lemah secara mental dan jasmani. Dia sudah tidak mempunyai tujuan hidup. Tak tahu ke mana dia harus pergi. Dia berlutut dan menarik bajunya hampir tidak ada pakaian di badannya.
Dia terus berjalan dan berkata seorang diri seolah-olah menceritakan kejadian naas yang dialami dalam waktu satu hari tersebut. Sampailah dia di dekat vihara Jetavana di mana Sang Buddha membabarkan Dhamma. Para pendengar melihat Patacara dan mencegah dia untuk datang lebih dekat. Tetapi Sang Buddha melihat Patacara dan berkata kepada mereka untuk membiarkan Patacara datang dan mendekat kepadaNya.
Saat Patacara mendekat di depan Sang Buddha, ada seorang yang memberikan pakaian kepada Patacara. Saat itu Sang Buddha berkata:
"Patacara, jangan takut. Mendekatlah, sadarlah, tenang dan perhatikan pikiranmu. Kamu datang kepada seorang yang dapat melindungi dan membimbingmu."
Sang Buddha lalu mengajarkan Patacara tentang kehidupan yang tanpa awal dalam samsara yang sangat panjang dan air mata yang telah menetes karena kehilangan orang tua, suami, anak dan saudara adalah lebih banyak daripada air di empat samudra.
Patacara menjadi semakin tenang dan mengerti semua itu. Apa yang dicintai adalah sebagai suatu kemelekatan. Jika yang dicintai mengalami perubahan dan bahkan kematian, maka kesedihan, ratap tangis, keputusasaan akan terjadi pada dirinya. Dia seharusnya meninggalkan apa yang sudah terjadi dan lebih mengutamakan pencapaian spritual. Saat itulah dia mengerti dan mendapatkan buah Sotapatti. Setelah itu Patacara menjadi seorang Bhikkhuni.
Pada suatu hari Patacara merenungkan semua penderitaan yang telah dia alami sambil membersihkan dan menuangkan air ke kakinya sampai tiga kali. Satu kali air langsung meresap ke dalam tanah. Kedua kalinya air lebih mengalir jauh di atas tanah dan ketiga kalinya air lebih jauh lagi mengalir sebelum meresap ke dalam tanah.
Patacara mencapai tingkat kesucian Arahanta karena saat itu beliau menembus Dhamma dan mengerti tentang tiga corak umum terhadap lima khanda ini yang menjadi objek bagi kemelekatan.
**