Setelah lulus SMA, saya lebih berkeinginan untuk bekerja. Karena pada saat itu keadaan ekonomi keluarga kurang baik. Kendati demikian, saya tetap mengikuti UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Itu karena orangtua saya selalu berharap agar pendidikan anak-anaknya lebih tinggi dari mereka.
Hingga akhirnya kabar baik tersebut datang kepadaku. Saya lulus UMPTN. Nama saya tertera di surat kabar. Meskipun Universitas Negeri tersebut berada di Pulau Sumatera (Universitas Negeri Bengkulu), saya tetap senang.
Membayangkan menjadi seorang mahasiswa, jarak tidak membuatku menyerah. Meskipun tujuan awal saya adalah bekerja membantu ekonomi keluarga, tapi membahagiakan orangtua juga adalah tujuan mulia.
Ayah ternyata sudah menyediakan semuanya untuk saya. Tiket bis untuk berangkat ke Bengkulu, disertai bekal wejangan dan harapan agar hidupku sukses nanti. Beliau tentunya senang, anaknya akan menjadi seorang mahasiswa.
Perjalanan naik bis menuju Bengkulu merupakan awal petualanganku di dunia baru. Ayah menemaniku dan sepertinya ia terlihat lebih gembira daripada diriku. Di atas bis, kami bertemu satu keluarga yang juga mengantarkan anaknya kuliah. Bertemu mereka, ayah tak henti-hentinya berbicara. Iya, beliau senang berbincang-bincang. Bertemu siapa saja, dunia serasa sudah milik berdua.
Setibanya di Bengkulu, ayah menemaniku selama 3 hari untuk mencari tempat kos dan mengurus administrasi kampus. Setelah beliau kembali ke Tangerang, kehidupanku di tanah rantau secara resmi dimulai. Â Â
Saya beruntung mendapatkan teman-teman kos yang baik. Mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Kehadiran mereka membuatku betah, meskipun harus jauh dari kelurga.
Krisis moneter 1998 terjadi tidak lama setelah saya resmi menjadi mahasiswa. Tapi, kondisi yang memprihatinkan tersebut justru menjadi berkah bagi diriku. Banyak beasiswa yang ditawarkan, asalnya dari bantuan luar negeri. Saya termasuk salah satu yang kecipratan rezeki. Karma baikku berbuah pada waktunya.
Hidup di tanah rantau bukanlah perkara mudah. Saya harus bisa menyesuaikan diri dalam lingkup yang baru. Saya harus bisa hidup mandiri. Mencuci baju, memasak, dan menyetrika, semuanya dilakukan sendiri.
Untungnya diriku mewarisi sikap supel ayahku. Saya dengan mudah membaur dengan teman-teman kampus.
Pada saat bulan Ramadhan, saya juga ikut berpuasa. Ikut sahur, sebagai bentuk kebersamaan dan toleransi dengan teman-teman kos. Hitung-hitung, lumayan juga buat berhemat. Hehehe.
Tapi, aksi kebersamaan itu bukanlah ajang mencari perhatian. Saya senang melakukannya, karena memang saya telah menganggap teman-teman kos sebagai keluarga. Kami saling membantu dan menjaga tanpa perlu disuruh lagi.
Untuk membantu meringankan biaya kuliah, saya juga bekerja sebagai penjual koran di pasar. Â Berjualan koran saya lakukan di pagi hari, sebelum masuk kampus. Ternyata teman-teman kuliah saya juga banyak yang bekerja di sana. Ada yang membantu orangtuanya jualan sayur, dan ada juga yang menarik gerobak untuk membawa barang-barang belanjaan para pembeli. Selesai berjualan saya singgah di tempat kos teman di dekat pasar, untuk makan dan belajar bersama.
Saya senang menjadi penjual koran. Banyak pengetahuan yang saya dapatkan melalui berita. Masalah ekonomi, politik, hingga berita-berita terkini. Manfaat tersebut membuatku terpilih menjadi salah satu pengurus majalah dinding di kampus.
Menjadi penjual koran juga tidak membuatku malu. Seringkali koran yang belum laku saya jual di kampus. Sesekali ada dosen yang membutuhkannya. "Ada mahasiswa yang jualan koran di sini?" dosenku bertanya. Saya dengan sigap langsung membawa daganganku ke depan kelas. Lumayanlah, dapat cuan lagi.
Seringkali saya tertawa sendiri. Citra sebagai mahasiswa penjual koran begitu melekat di tanah rantau. Dan itu Sesuatu yang tidak mungkin terjadi jika diriku masih di Tangerang, malu rasanya. Hehehe.
Jika libur panjang tiba, tempat kos menjadi sepi. Banyak teman-teman yang mudik ke kampung halaman. Pada saat itu, saya akan mengisi waktu lebih banyak di vihara. Mengurus keperluan umat dan membantu para pengurus vihara. Terkadang saya juga menginap di vihara, tidur bersama para pengurus lainnya.
Suatu saat ada acara perlombaan vihara se-Sumatera Bagian Selatan (Lampung, Jambi, Palembang, Bengkulu). Kebetulan saat itu Bengkulu terpilih menjadi tuan rumah.
Saya pun turut terlibat, membantu panitia, menjadi seksi kebersihan. Karena saya anak kos di tanah rantau, saya bebas untuk bekerja hingga larut dan mengurus apapun yang bisa dikerjakan.
Saya dengan cepat akrab dengan sesama umat buddha di Bengkulu. Dari para sesepuh hingga anak muda seusiaku. Mungkin karena terlalu sering terlihat di vihara, saya pun terpilih menjadi Ketua Muda-Mudi Vihara.
Syahdan, pergaulanku bertambah luas. Jika dulu hanya dengan sesama perantauan, kali ini juga dengan warga lokal, khususnya teman-teman vihara.
Berkumpul di rumah pengurus vihara hingga malam hari sudah sering kulakukan. Baik hanya sekedar kongkow-kongkow, membicarakan kegiatan-kegiatan vihara, atau membaca paritta dan bermeditasi. saya bersyukur sudah dianggap sebagai keluarga sendiri. Sesekali ikut juga makan malam, bahkan menginap di sana.
Berjualan koran masih kulakukan. Meskipun terkadang rasa malu ini sudah mulai timbul, tapi saya mengambil positifnya saja -- Bengkulu sudah bukan lagi tanah rantau bagiku, saya sudah memiliki banyak keluarga di sana.
Merayakan hari raya imlek, saya dan teman-teman berkeliling rumah-rumah umat. Semuanya menyambut kami bak keluarga sendiri. Pada saat itu, perasaan rindu kampung halaman, seringkali muncul. Bagaimanakah kabar mereka di Tangerang?
Di kampus, saya adalah seorang aktivis. Bersama teman-teman kampus suka suka mengadakan seminar tentang perekonomian daerah. Belajar berorganisasi baik di kampus maupun di vihara, telah membentuk jati diriku sebagai seseorang yang aktif, toleran, dan setia kawan.
Sayangnya, tidak semuanya membuahkan hasil yang baik. Pada akhir pertengahan tahun 2000, disaat sedang menyusun skripsi, saya dan teman-teman mahasiswa ikut demo di depan gedung DPRD Prov. Bengkulu.
Terbawa euforia, saya terlibat dalam demo anarkis, sebuah mobil kami gulingkan. Akhirnya demo dibubarkan paksa oleh polisi. Ada beberapa mahasiswa yang ditangkap dan dipukuli oleh polisi, akibatnya harus masuk rumah sakit untuk dirawat, termasuk saya.
Penyesalan pun datang dengan seketika, teringat keluarga di kampung halaman, malu rasanya. Untungnya saya hanya dirawat selama 3 hari di rumah sakit. Teman-teman lain ada yang hingga berminggu-minggu.
Di rumah sakit, sekali lagi saya merasakan arti dari kesetiakawanan. Teman-teman kos yang baik hati, bergiliran datang menjengukku dan merawatku.
Gempa bumi Bengkulu berkekuatan 7,3 skala richter tahun 2000 juga menandai peristiwa penting yang kualami selama di tanah rantau. Banyak bangunan-bangunan yang rusak bahkan hancur. Termasuk beberapa bagian di kampus, dan juga rumah kosku.
Saya sempat merasakan kepanikan. Isu tsunami membuat kami harus mengungsi jauh ke atas bukit. Kampus menjadi tempat pengungsian karena lokasinya yang lebih tinggi. Sebagai mahasiswa, saya dan teman-teman pun dengan sigap menjadi volunteer. Membantu para warga yang mengungsi ke sana.
Tak terasa, empat tahun telah berlalu sejak saya berada di tanah Bengkulu. Tibalah hari yang berbahagia dalam hidupku, saya diwisuda. Saya bersyukur, di tengah kesibukanku berorganisasi, tetap masih bisa menyelesaikan kuliahku tepat waktu.
Ayah, ibu, dan adik saya datang menghadiri acara wisudaku. Betapa momen tersebut menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri bagi saya dan keluargaku. Khususnya ayahku yang memang berkeinginan anaknya berpendidikan lebih tinggi darinya.
Perjalanan keluarga ke Bengkulu tidak kusia-siakan. Sebagai "tuan rumah" yang baik, saya juga mengajak mereka berkeliling kota. Tidak lupa juga mengunjungi Vihara Buddhayana Bengkulu dan berkenalan dengan pengurus di sana.
Para pengurus vihara yang sudah menganggapku sebagai bagian dari keluarga, juga turut memperlakukan keluargaku dengan hal yang sama. Ayah, ibu, dan adik diajak berekreasi ke pantai. Sementara diriku memilih tetap berada di vihara, mengurus kegiatan lomba cerdas cermat.
Tanpa terasa, kini dua dekade telah berlalu. Saat saya mengenang kembali kehidupanku di tanah rantau, ada sesuatu yang tak bisa kulupakan.
Jauh dari keluarga ternyata tidak terlalu mengerikan, sebagaimana awal kekwahtiranku saat menginjakkan kaki di Bengkulu. Dengan semangat untuk selalu berbuat kebajikan, rajin, tekun, dan jujur, maka diri ini juga akan dipertemukan dengan teman-teman yang baik, para kalyana mitta yang baik hati.
Niat yang baik akan mempertemukan kita dengan hal yang baik pula. Menuntut ilmu, belajar mandiri, belajar berorganisasi, bergaul dengan para sahabat budiman selama di tanah rantau, semuanya tergabung dalam sebuah rangkaian besar yang bernama Berkah Utama.
Seperti yang terdapat dalam Samyuta Nikaya, bahwa kalyana mitta adalah bantuan eksternal utama untuk melaksanakan ajaran Kebenaran. Sedangkan bantuan internal utamanya adalah perhatian kewaspadaan.
Marilah kita selalu berusaha berada dalam lingkungan yang baik bersama teman-teman yang baik. Karena jika kita bergaul dengan orang-orang jahat, maka pintu kebaikan yang lainnya akan tertutup, akan sulit untuk berbuat baik.
Seperti dikatakan dalam Mangala Sutta, tidak bergaul dengan orang dungu/jahat (tebal kebodohan batinnya) dan tinggal di tempat yang sesuai adalah berkah utama. Sabbe satta bhavantu sukhitatta, semoga semua makhluk hidup berbahagia
**
Tangerang 7 Juni 2022
Penulis: Agus untuk Grup Penulis Mettasik
    Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H