Pada suatu hari ibuku bercerita, tentang serunya proses kelahiranku kedunia Saat itu tanggal enam Juni tahun seribu sembilan ratus tujuh puluh dua. Di Pulau Dewata, jauh di sebuah dusun kecil di balik bukit Lesung dekat danau Tamblingan
Dalam remang cahaya lampu senter berkelip kelip oleh tiupan angin menjelang pagi yang dingin. Ibuku menanggung rasa sakit berjuta ribu, tanpa bidan, apalagi dokter. Ia hanya berdua dengan ayahku, sementara ke empat kakakku masih lelap dalam peluk subuh dibalik selimut penghangat tubuh. Berlindung dari dinginnya kabut desa kami.
Ibuku sungguh luar biasa bertaruh nyawa dengan peralatan seadanya. Kala itu gubuk kami sangat jauh dari tetangga, terlebih untuk berjumpa tenaga medis, ya mesti ke lain desa atau kota untuk mencapainya.
Itupun harus berjalan kaki naik turun bukit, menguras tenaga juga tentu butuh waktu yang lumayan lama. Janganlah bermimpi tentang kendaraan bermotor, belum banyak di sana saat itu. Paling sesekali naik kuda, itu lagi kalau punya.
Sementara barangkali aku sudah tak mau bersabar untuk melihat dunia.
Singkat cerita ibuku berjuang dengan segala upaya. Selang beberapa waktu diriku menjerit menatap dunia, mencari hangat di belaian lembut peluk ibuku. Sementara ayahku mempersiapkan air hangat untuk membersihkan tubuh mungil aku dan ibuku
Berbarengan dengan aku lahir, ayahku tergopoh menengok dari dapur menuju ruangan dimana aku disalinkan. Sesaat setelah aku dibungkus kain, ayahku harus ke kandang belakang menolong sapi dan kuda, yang beberapa saat kemudian menyusul melahirkan. Bisakah terbayang betapa repotnya ayah dan ibu saat itu.
Dari cerita mereka, kelahiranku sangat seru. Apalagi pas berdekatan dengan Hari Raya Galungan menuju Kuningan. Tak terbayang betapa lelahnya mereka berdua, untungnya ibuku adalah seorang wanita sangat hebat. Ibuku selalu belajar dari pengalamannya dan tidak pernah menyerah.
Yang membuatku terkagum-kagum, ibuku bisa juga lho membantu persalinan tetangga. Keahlian itu tidak ia dapatkan dari pendidikan formal. Beliau belajar secara singkat, semasa suasana negeri ini masih di bawah penjajahan orang luar sana katanya.
Yang aku salut, ibuku bisa membantu persalinannya sendiri. Haduhhh gak kebayang bagaimana kuat dan hebatnya. Aku saja yang sudah dibantu dokter pada saat melahirkan anak pertamaku, masih tidak berdaya. Peralatan canggih di rumah sakit, tetap saja membuatku tak bisa berbuat apa-apa.
Tapi, ibuku bisa. Ia melahirkanku dengan tenaganya sendiri, tanpa adanya bantuan dan pengobatan modern. Semua hanya alat tradisional seadanya. Konon untuk memotong tali pusarku, ia hanya menggunakan sebilah sembilu. Obat antiseptiknya adalah kunyit yang di parut. Tidak ada obat yang diminum oleh ibuku, kecuali madu hangat. Boro-boro ada betadine atau sejenisnya.
Obat luka jalan lahirnya adalah kunyit parut yang dihangatkan,
Tidak ada yang namanya jahit jahitan, semua ya sembuh alami. Ngeri ngeri, serem bukan? Sungguh ibuku memang super
Merenungi semua itu, pada setiap tanggal kelahiranku, rasanya aku tidak ingin merayakannya dengan mewah. Tidak ada jamuan makan, kue tar, atau kemewahan-kemewahan lainnya. Selain memang gak punya, hehehe.
Aku melakukan perenungan betapa menderitanya seorang ibu pada masa ia melahirkan. Namun di tengah kesulitan, ia selalu mengusahakan yang terbaik untuk membahagiakan putra-putrinya.
Aku bersyukur atas anugrah yang aku nikmati di semesta raya ini. Aku bersyukur atas kasih sayang orangtuaku yang berlimpah.
Aku berpikir seharusnya hari ulang tahun bukanlah untuk merayakan kebahagiaan diri, Namun didedikasikan untuk menghormati dan menghargai jasa kedua orangtuaku, khusunya ibu.
Seyogyanya, aku memberi hadiah untuk mereka. Itu sih yang ada dalam pikiranku. Kalau orang lain punya cara dan pendapat berbeda itu sah-sah saja, karena kita semua punya cara tersendiri untuk menghormati orangtua dan menyampaikan rasa bahagia atas apa yang kita nikmati di dunia.
Semoga hari ini saya mendapatkan pencerahan. Sebab akibat adalah hukum alam. Aku adalah bentukan karmaku, dan aku bersyukur karenanya. Hingga hari ini, di usiaku yang semakin lanjut, saya masih bisa bernafas untuk selalu menanam biji-biji kebaikan dalam hidup ini.
Terima kasih ayah, terima kasih ibu. Tanpa kalian, dunia ini mungkin tak akan kujalani. Tanpa kalian, lautan ini mungkin tak akan kuseberangi. Semoga kalian berdua selalu berbagahia, di sini, di sana, dan di mana-mana.
**
Lampung 6 Juni 2022
Penulis: Lusy Maitri Kalyana untuk Grup Penulis Mettasik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H