Disamping jenis kanker yang saya derita juga tidak begitu responsif terhadap kemoterapi, maka kemungkinan besar tindakan kemoterapi hanya akan membuat kondisi saya semakin memburuk.
Seketika itu, hanya ada satu kalimat di dalam pikiran, "SAYA AKAN MATI DALAM WAKTU DEKAT !"
Sejak divonis kanker stadium lanjut, aktivitas seharian saya pun berubah. Dunia perkantoran saya tinggalkan, tidak ada lagi minat untuk hang out dengan teman-teman.
Kondisi saya lemah dan cepat lelah. Tak banyak lagi kegiatan yang bisa saya ikuti. Dunia sosial pun berubah. Saya lebih banyak mengenal teman baru sesama penderita kanker. Mereka jadi keluarga baru buat saya.
Mereka datang dari berbagai macam golongan, suku, dan agama. Ada yang berprofesi sebagai profesor, guru, pengusaha, karyawan, bahkan tentara. Kami saling berbagi pengalaman dan saling menyemangati. Berbagai pengobatan harus kami jalani, baik itu pengobatan medis atau alternatif.
Disitulah kami bertemu, di Titik Nol.
Ya, di Titik Nol ini kami sama-sama berjuang.
Di Titik Nol ini kami bersyukur karena diberi kesempatan untuk melihat dunia dari sisi yang berbeda.
Di Titik Nol ini pula, Kami baru paham pentingnya sebuah perjuangan.
Perjuangan dimulai ketika pertama kali dokter menyatakan,"Anda terdiagnosa penyakit kanker". Belum lagi jika ditambah dengan embel-embel vonis sisa umur yang bisa dihitung dengan jari.
Berbagai cara pengobatan ditawarkan. Kemoterapi, radiasi, operasi pengangkatan jaringan, meditasi, atau pengobatan alternatif lainnya. Tak jarang kami harus mengambil keputusan diantara pilihan-pilihan yang sulit.