Lalu candaan pun semakin deras, menyaingi aliran sungai kalideres. Kali ini tentang seorang kawan yang terkenal takut istri. "Celana dalamnya sudah digembok," ujarku penuh tawa.
Tentu saja lawan bicaraku tahu jika aku berbohong. Ia hanya menanggapi dengan terbahak-bahak.
Di akhir petang, kami berpamit. Sang sahabat mengucapkan selamat sekali lagi kepadaku. Selama hampir dua jam bersama, ia tidak menangkap kata-kata kasar yang keluar dari mulutku.
Aku pun pulang ke rumah dengan hati riang...
Sesampainya di rumah, kuceritakan pengalaman tadi siang di kedai kopi. Istriku hanya termenung. Dirinya lanjut menonton drakor kesukaannya. Tidak ada kata yang keluar dari mulutnya.
Ketika aku mengingatkannya jika ini adalah hari terakhir proses puasa sakralku, ia masih tidak bergeming.
"Hanya satu pelanggaran, gegara batu di depan rumah," kataku mengingatkannya.
"Banyak, tadi saja banyak," imbuhnya.
Sebelum aku sempat protes, ia mengingatkanku tentang empat ucapan benar dalam versi Buddhisme. Bahasa Palinya adalah samma-vaca. Merupakan bagian dari Jalan Mulia Berunsur Delapan (Ariyo atthangiko maggo).
Yakni;
Berusaha menahan diri dari ucapan bohong (musavada), memfitnah (pisunvaca), berucap kasar (pharusavaca), dan tidak bergunjing (samphappalapa).