Bhiksu Mahayana memiliki sebuah ritual kuno. Namanya puasa berbicara. Alias diam tak bersuara. Durasinya tergantung tekad. Bisa sehari hingga tahunan.
Tujuannya? Katanya sih, mulutmu harimaumu. Meski kerap dijaga, tetap saja ada yang menyeruak.
Aku bukanlah seorang biksu yang memiliki tekad yang kuat. Jika melakukan puasa berkata bisa saja dianggap gila. Saya belum mau diarahkan ke dokter ahli jiwa.
Tapi ide puasa berkata ini cukup brilian. Melatih diri untuk menjadi orang yang lebih mawas diri. Jadinya, aku bikin yang enteng-enteng saja. Puasa berkata buruk. Alias tidak berucap kasar.
Seharusnya mudah, tapi nyatanya aku gagal pada hari ketujuh. Penyebabnya sederhana, hanya karena aku tersandung batu. Untung tidak jatuh, tetapi kata "setan" sudah terlanjur keluar. Larilah malaikat dari dalam diriku.
Untungnya ingat pesan Romo, malaikat bisa diundang kembali setelah mulutmu tidak lagi bau. Kumurlah mulutmu dan bersihkan kotoran batin.
Puasa pun aku lanjutkan. Setelah hari ke-27 saya bertemu seorang kawan. Dia memberi semangat, "sisa sehari lagi kawan."
Diriku yang periang ini lalu mengadakan pesta kecil-kecilan, minum kopi di kedai pinggir jalan. Tentunya pikiran ini sadar. Kata kasar yang biasa kujadikan candaan, kini benar-benar kukurung dalam-dalam.
Gurauan demi gurauan pun mengalir deras. Bercerita tentang seorang sahabat lucu yang lama tak kujumpa. Dirinya bukan badut, tapi keceriannya selalu membekas di dalam hati. Tidak heran jika diriku sering menjadikannya sebagai bahan olok-olokan.
Ada body shamming pula. Waduh...