Berdasarkan standar World Health Organization (WHO), jumlah kebutuhan minimal darah per tahun di suatu negara adalah sekitar 2% dari jumlah penduduknya. Menggunakan standar ini, perkiraan kebutuhan darah di Indonesia setiap tahunnya lebih dari 5 juta kantong darah.
Dari data yang ada, Palang Merah Indonesia (PMI) baru bisa menyediakan sekitar 4 juta lebih kantong darah setiap tahunnya. Berarti ada kekurangan pasokan darah sekitar 1 juta lebih kantong atau sekitar 20% setiap tahunnya.
Fakta ini harus menjadi perhatian besar dari semua pihak. Darah diperlukan terutama untuk ditransfusikan kepada orang yang membutuhkan karena berbagai sebab. Jika dirata-ratakan di Indonesia, setiap delapan detik, ada satu orang yang membutuhkan transfusi darah.
Hari Rabu tanggal 27 April 2022, saya melaksanakan "ritual" rutin yang telah dimulai sejak tahun 2005, yakni berdonor darah. Kesempatan ini adalah yang ke-67 kalinya saya berdonor darah secara sukarela.
Banyak hal di dunia ini yang memiliki pro dan kontranya masing-masing. Demikian juga donor darah tidak terlepas dari pro dan kontra.
Banyak orang yang memuji bahkan menyanjung perbuatan berdonor darah. Namun ada juga yang menganggap donor darah tidak sebaik seperti yang dikomunikasikan oleh berbagai pihak yang mendukungnya.
Berdasarkan berbagai referensi, donor darah sangat bermanfaat secara medis maupun psikologis bagi mereka yang memenuhi persyaratan. Berbagai manfaat berdonor darah, seperti misalnya yang tertera di poster PMI, di antaranya merangsang pembentukan sel darah baru, menurunkan risiko serangan jantung, menurunkan risiko kanker (paru, hati, dan lain-lain), pemeriksaan kesehatan gratis (tekanan darah, HB, HIV, Hepatitis, dan lain-lain), membantu menurunkan berat badan, mendapatkan kesehatan psikologis, dan lain-lain.
Bagaimana donor darah jika ditinjau berdasarkan ajaran Buddha?
"Karma" (Sansekerta) atau "kamma" (Pali) artinya adalah "perbuatan". Sesuai hukum Karma, ada karma (perbuatan) baik dan karma (perbuatan) buruk. Terdapat dua cara dalam membedakan keduanya.
Cara pertama adalah berdasarkan niat atau kehendak yang mendasari perbuatan itu dilakukan. Jika niat atau kehendaknya baik, perbuatan yang dilakukan termasuk ke dalam karma baik. Demikian sebaliknya, jika niat atau kehendaknya buruk, perbuatan yang dilakukan termasuk ke dalam karma buruk.
Cara kedua adalah berdasarkan apa yang menjadi akar dari perbuatan (karma) yang dilakukan. Jika akarnya adalah bukan keserakahan (alobha) dan/atau bukan kebencian (adosa) dan/atau bukan ketidaktahuan (amoha), perbuatan yang dilakukan termasuk ke dalam karma baik. Demikian sebaliknya, jika akarnya adalah keserakahan (lobha) dan/atau kebencian (dosa) dan/atau ketidaktahuan (moha), perbuatan yang dilakukan termasuk ke dalam karma buruk.
Apabila niat atau kehendak kita untuk berdonor darah adalah baik, semisal untuk membantu orang lain yang membutuhkan darah, berarti perbuatan berdonor darah adalah karma baik. Demikianlah dengan diri saya.
Saya berdonor darah adalah dengan didasarkan oleh niat atau kehendak yang baik, yakni membantu orang lain yang membutuhkan darah. Apalagi saya mengetahui bahwa PMI kekurangan cukup banyak pasokan darah setiap tahunnya.
Kalaupun seandainya saya mendapatkan berbagai manfaat medis dan psikologis seperti yang tertera di dalam poster PMI, itu semua adalah manfaat sampingan yang bukan menjadi niat, kehendak, atau tujuan utama saya dalam berdonor darah.
Akar dari perbuatan saya untuk rutin berdonor darah juga bukan keserakahan, semisal supaya bisa mendapatkan hal-hal baik yang lebih banyak. Akarnya juga bukan kebencian terhadap diri sendiri, orang(-orang) lain, maupun makhluk lain. Pun akarnya bukan ketidaktahuan karena saya berdonor darah berdasarkan pengetahuan yang memadai, baik pengetahuan umum/populer maupun agama Buddha.
Sesuai ajaran Buddha, dana atau pemberian ada tiga jenis. Pada hakikatnya, dana adalah praktik melepas. Dalam kehidupan ini, banyak yang harus dilepas karena berlakunya konsep "ketidakkekalan" (anicca). Sewaktu meninggalkan dunia ini pun, semuanya harus dilepas kecuali karma-karma (perbuatan-perbuatan) yang sudah dilakukan.
Jenis yang pertama adalah dana secara fisik, semisal berupa barang atau tenaga. Dana jenis ini merupakan dana yang paling dasar karena relatif lebih mudah untuk dilakukan. Secara umum, dampak dari dana jenis pertama ini relatif pendek waktunya, bisa hitungan jam, hari, bulan, atau tahun. Durasi dampak dari dana jenis ini kurang dari satu kehidupan.
Jenis yang kedua adalah dana kehidupan. Bentuknya adalah yang bisa memperpanjang kehidupan makhluk lain. Berarti, dampak dari dana jenis ini adalah setara dengan durasi satu kehidupan.
Dana yang umum dikaitkan dengan jenis yang kedua ini adalah "fangshen". Bentuknya adalah melepas binatang, yang kehidupannya seharusnya sudah akan berakhir, menjadi dapat diperpanjang kehidupannya.
Semisal ikan atau belut ataupun binatang-binatang lainnya yang dijual atau siap dibunuh. Binatang-binatang tersebut dibeli dan lalu dilepaskan ke habitat yang tepat sehingga mereka bisa hidup lebih lama secara normal.
Adapun jenis ketiga yang tertinggi adalah ber-dana ajaran kebaikan atau ajaran mulia (Buddha Dhamma). Dampak dana jenis ini durasinya melampaui satu kehidupan. Artinya, manfaat bagi penerima dari dana ini tidak hanya diperoleh dalam kehidupan tersebut tetapi juga di kehidupan-kehidupan selanjutnya.
Jika ditilik lebih dalam, berdonor darah juga sebenarnya dapat termasuk ke dalam fangshen. Tentu saja berdonor darah tidak dilakukan kepada binatang, melainkan kepada sesama manusia. Jika darah yang didonorkan memenuhi persyaratan, darah tersebut dapat ditransfusikan kepada orang yang memerlukan sehingga nyawanya dapat terselamatkan.
Derajat manusia lebih tinggi daripada binatang, meski ada binatang yang lebih bisa membalas budi dibanding manusia. Oleh karenanya, berdonor darah dapat dikatakan "fangshen tingkat tinggi" karena yang terselamatkan adalah nyawa manusia.
Di masa normal sekalipun, PMI masih sering kekurangan pasokan darah untuk memenuhi kebutuhan darah rutin. Apalagi di masa pandemi Covid-19. Seringkali dibutuhkan pasokan darah lebih banyak dibanding masa normal. Padahal, pendonor darah di masa pandemi relatif lebih sedikit daripada di masa normal.
Ditambah dengan periode berpuasa umat Islam, yang mana umumnya pendonor darah menurun jumlahnya. Alhasil, di bulan Ramadhan, defisit atau kekurangan pasokan darah yang harus dihadapi oleh PMI menjadi semakin besar.
Tak jarang ditemui para pendonor darah pengganti di PMI. Mereka biasanya diupayakan oleh pihak yang telah mengambil darah di PMI, di saat stok darah terbatas. Sebagai konsekuensinya, pengambil darah tersebut harus menyediakan pendonor darah pengganti untuk menggantikan darah yang sudah diambil.
Oleh karenanya, jangan sungkan, ragu, cemas, kuatir, atau takut untuk melakukan donor darah jika kita memenuhi persyaratan secara medis. Berdonor darah adalah tindakan untuk kemanusiaan. Ini adalah tentang menyelamatkan nyawa sesama manusia.
Bayangkan kalau anggota keluarga atau teman-teman kita yang hidup atau matinya, salah satunya ditentukan oleh pemenuhan kebutuhan darahnya. Lalu kita dihadapkan kepada kemungkinan tidak mendapatkan darah yang dibutuhkan.
Ketidakmampuan mendapatkan darah inilah yang dihadapi oleh banyak orang, sebelumnya dan saat ini karena PMI sering mengalami kekurangan pasokan darah. Di masa depan, hal ini akan terus berulang jika pendonor darah rutin tidak bertambah signifikan jumlahnya.
Oleh karena itu, tunggu apalagi? Ambil tindakan sekarang untuk berdonor darah!
Bagi yang belum pernah berdonor darah, segera periksakan diri Anda ke PMI terdekat. Jika memenuhi persyaratan secara medis, berdonor darahlah. Lalu lakukan donor darah secara rutin meskipun kita tidak pernah tahu siapa yang terselamatkan oleh darah yang kita donorkan.
Bagi yang sudah pernah berdonor darah namun belum melakukannya secara rutin, singkirkan berbagai alasan yang menghalangi. Kebutuhan darah PMI sudah mendesak dan tidak bisa ditunda. Segera aktifkan kembali aktivitas berdonor darah Anda sehingga terbentuk menjadi kebiasaan dalam kehidupan ini.
Ingatlah, amal kebaikan (karma baik) yang sudah kita lakukan, kita pulalah yang akan menerima pahala (buah karma baik)-nya, bukan orang lain. Hukum karma tidak akan keliru atau meleset. Karma tidak akan mengingkari diri kita yang sudah melakukannya.
**
Tangerang, 12 Mei 2022
Penulis: Toni Yoyo untuk Grup Penulis Mettasik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H