Sati adalah kata dalam bahasa Pali yang tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Untuk menjelaskan sati, dapat diumpamakan seperti menyapih seekor anak sapi (agar anak sapi tidak menyusui induknya), padahal induk sapi ada di sekitarnya. Anak sapi pasti akan menghampiri induknya untuk menyusui.
Untuk itu anak sapi diikat di sebuah tiang yang kuat, dengan tali yang tidak terlalu panjang. Jika anak sapi meninggalkan tiang tersebut ia akan tertahan oleh tali. Tetapi anak sapi itu akan terus menerus berusaha menghampiri ibunya, tetapi tetap tidak bisa. Akhirnya lama kelamaan ia lelah dan diam di sekitar tiang.
Dalam meditasi anak sapi adalah pikiran, tiang adalah objek meditasi (dalam contoh adalah nafas masuk dan keluar), tali adalah usaha terus menerus untuk mengembalikan pikiran ke objek meditasi. Kondisi anak sapi yang diam di sekitar tiang, adalah sati.
Ketika sati sudah hadir, maka aktivitas pikiran lainnya, seperti malas, lambat, gelisah, khawatir, benci, serakah, sombong secara perlahan berkurang, hal ini karena dalam pikiran hanya ada satu aktivitas dalam setiap saat, jika ada sati, maka yang lain tidak dapat hadir.
Ketika sati terus meningkat, sangat kuat lalu menyatu, maka semua aktivitas batin lainnya tidak dapat muncul sama sekali, kondisi ini disebut sebagai samadhi, biasa dikenal dengan nama jhana. Dalam kondisi demikian tercapai kedamaian dan ketenangan yang kuat.
Tetapi ketika keluar dari kondisi demikian, aktivitas lainnya tetap akan muncul, ketenangan dan kedamaian juga sirna. Keserakahan, iri, dengki, sombong dan lainnya akan muncul kembali.
Semua aktivitas pikiran ini muncul kembali karena pikiran memandang semua aktivitas tersebut adalah sesuatu yang indah, sesuatu yang dapat dipertahankan, sesuatu yang menyenangkan, dianggap milikku, dianggap sebagai diriku, dianggap sebagai aku, menganggapnya sesuatu yang tidak berbahaya.
Akibatnya pikiran mengejar kesana kemari dengan penuh gairah, yang disebut sebagai tanha, kegandrungan. Seperti anak kecil yang akan mengejar seseorang yang akan memberinya hadiah, padahal bukanlah hadiah hanyalah racun, tapi anak kecil itu terus menerus berlarian dengan riangnya mengejar.
Untuk itu pikiran harus dilatih untuk mengenali semua aktivitas batin dengan mengenalinya sebagaimana apa adanya, mengetahui dengan jelas bahwa semua aktivitas yang muncul tidak akan bertahan lama, muncul sejenak lalu lenyap, tidaklah kekal (anicca).
Segala yang tidak kekal tidak mungkin merupakan kebahagiaan, tetapi hanyalah ketidakpuasan (dukkha), silahkan simak penjelasan mengenai hal ini di sini: Kisah Bakmi yang Mengajari tentang Kehidupan.
Semua aktivitas yang tidak kekal, yang mengecewakan, kemunculan dan lenyapnya tidak mungkin dikendalikan, maka tidak dapat dianggap sebagai milikku, diriku, aku (anatta).