Sering dalam berdiskusi dengan generasi muda, khususnya mahasiswa, saya bertanya: "Anda mau jadi apa ke depannya? 5-10 tahun dari sekarang mau jadi apa? Atau apa cita-cita ke depannya?" Atau pertanyaan sejenis itu, yang pada prinsipnya ingin mengetahui apakah lawan bicara sudah punya wacana masa depannya atau belum.
Beberapa kali saya sempat diberi jawaban yg mengagetkan: "untuk apa merisaukan masa depan pak? Hiduplah saat ini, supaya bisa bahagia dong." Demikian jawaban yang pernah saya terima. Hiduplah saat ini: buddhistik banget. Jawaban yang diberikan kelihatan benar, namun ada yang tersembunyi yang perlu diluruskan.
Kita telah sering mendengar dari berbagai tulisan, percakapan, maupun ceramah yang pada intinya memberi pesan bahwa masa lalu adalah sesuatu yang sudah tidak bisa diubah, jadi untuk apa disesali? Lalu bagai mana dengan masa depan? Masa depan belum sampai kita tidak bisa memastikan, jadi untuk apa kita risaukan?
Sekilas terlihat bahwa ungkapan pada paragraf di atas sangat tepat, terutama menyangkut masa lalu yang tentunya waktunya sudah lewat, peristiwanya pun sudah terjadi, lalu untuk apa disesali. Yang diperlukan adalah menjadikan masa lalu sebagai pengalaman dan pembelajaran sehingga kita tidak mengulang kesalahan yang sama ke depannya, selain tentunya menyadari bahwa inipun akan / sudah berlalu.
Mahasiswa yang menjawab pertanyaan saya tentang masa depan saya ajak berdiskusi.
 "Tahukan kamu bahwa visi atau cita-cita umat Buddha adalah mencapai Nibbana/Nirwana?"Â
"Ya pak," jawabnya.
"Nah memiliki cita-cita tidak berarti kita merisaukan, tapi kita tahu apa yang mau kita capai ke depannya. Demikian juga dalam hidup ini."
"O gitu ya pak? Trus kan disuruh hiduplah saat ini. Bagaimana dong maknanya?"
"Begini, kata saya. Apakah saat anda makan, anda menyadari makanan masuk mulut? Makanan dikunyah berapa kali dan makanan ditelan?"
"Ya seringnya tidak pak." Jawabnya.
"Nah disitulah contoh anda tidak hidup saat ini." Kata saya.
"Loh koq??" Tanya dia agak heran
"Ya, karena anda makan sekedar autopilot dari fungsi makan itu sendiri. Intinya anda tidak menyadari yang anda makan."
Lalu saya melanjutkan lagi;
"Hidup saat ini juga bisa untuk merencanakan masa depan. Jadi pada saat kita membuat perencanaan, kita menyadari sepenuhnya bahwa kita sedang membuat perencanaan. Jadi kita tidak merisaukan masa depan itu sendiri, tapi merencanakan."
Pada intinya saya ingin mengingatkan bahwa perencanaan itu penting. Ada pepatah mengatakan "bila anda gagal merencanakan, bisa jadi anda merencanakan kegagalan." Bisa dibayangkan bila entitas terkecil masyarakat yaitu kita sebagai individu tidak memiliki cita-cita (bisa juga disebut visi) lalu sekumpulan entitas, yaitu masyarakat, lalu sekumpulan masyarakat, dan seterusnya sehingga level negara tanpa visi apa jadinya masa depan kita sebagai bangsa?
Kadang ada saja orang yang berusaha mencari pembenaran kelakuannya dalam menghadapi hidup. Agar tidak perlu dimintai pertanggung jawaban atas hidupnya, ada kalanya orang berlindung dibawah "nasib". Nasib saya sudah begitu mau apa lagi? Bila diminta membuat perencanaan, jawabannya balik lagi: Hiduplah saat ini, jangan sesalkan masa lalu dan jangan risaukan masa depan...
"O...jadi begitu ya pak merencanakan bukan berarti merisaukan. Seperti ajaran yg pernah saya dengar bahwa mencapai Nirwana juga merupakan tujuan, dan untuk mencapainya diberi petunjuk perencanaan yang dapat diikuti. Sekarang saya mengerti."
Hiduplah saat ini.
**
Jakarta 07 Mei 2022
Penulis: Idris Gautama So, untuk Grup Penulis Mettasik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H