Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Anakku, Kamu Tidak Akan Pernah Sendirian

29 April 2022   06:19 Diperbarui: 29 April 2022   06:38 792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anakku, Kamu Tidak Akan Pernah Sendirian (gambar: bbc.dom, diolah pribadi)

Pertengahan tahun 2021 lalu, anak tunggalku lulus Sekolah Menengah Atas. Saya bersyukur, ia bisa lulus dengan baik dan dalam keadaan sehat.

Sebagaimana yang kita ketahui, sejak pandemi Covid melanda dunia pada awal 2020, seluruh tatanan sosial telah luluh lantak olehnya. Termasuk juga sistem pendidikan, di mana murid-murid harus terbiasa dengan proses belajar virtual.

Ini belum termasuk masalah kesehatan. Cobalah lihat, berapa banyak yang jatuh sakit hingga merenggang nyawa. Dengan demikian, tiada alasan bagiku untuk tidak bersyukur atas semua hal yang telah dijalani oleh anak semata wayangku ini.

Proses melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi pun berjalan dengan lancar. Dia diterima sebagai mahasiswa baru di sebuah universitas yang memiliki jurusan yang diminati olehnya.

Universitas yang berada bersebelahan kota dengan tempat tinggal kami berdua. Iya, kami berdua saja. Semua terjadi setelah peristiwa itu berlangsung. Sebuah pengalaman pahit yang kami alami beberapa tahun sebelumnya.

Ia tidak lagi tinggal dengan ibunya, dan praktis diriku harus menjadi orangtua tunggal baginya.

Satu per satu kebutuhan dirinya selaku calon mahasiswa bisa saya penuhi, termasuk tempat tinggalnya selama dia berkuliah di kota tetangga.

Sebelum ia resmi tidak lagi tinggal bersamaku, saya tidak lupa juga membekalinya dengan pengalaman hidup. Saya ceritakan pada dirinya, saat saya seusianya, pulang pergi kuliah dengan sepeda motor usang milik ayah saya dengan menempuh jarak sekitar 26 km.

Juga saya ceritakan bagaimana teman-teman saya yang hidup nge-kost, karena rumah mereka yang jauh dari kampus, juga tetap disiplin pulang ke rumah masing-masing di setiap akhir pekan.

Betapa bahagianya mereka, setiap kali kembali ke tempat tinggal mereka. Bagaima pun juga, itu adalah istana mereka sendiri. Tidak masalah harus menempuh waktu perjalanan 3-4 jam lamanya.

Kepada anakku pun, saya memberikan saran untuk bisa pulang ke rumah kami yang cukup sederhana ini, di setiap akhir pekan atau akhir bulan.

Saya tidak memaksakan kehendak agar anakku pulang ke rumah, namun saya menekankan akan arti sebuah keluarga bagi dirinya. Ia hanya memiliki seorang ayah yang merangkap sebagai ibu buat dirinya yang tunggal.

Saya tidak pernah bosan menyampaikan, bahwa masih ada orang yang menunggunya di rumah, bahwa masih ada orang yang menyayangi, dan mencintainya tanpa syarat, yakni ayahnya sendiri.

Saya serahkan kepadanya untuk mengatur jadwal kepulangan ke rumah. Tentunya ia juga harus menyesuaikan dengan jadwal kesibukannya sebagai mahasiswa baru.

Kepadanya saya berkata: "Nak, cukup sudah kamu mengalami kepahitan hidup, bangkitlah!"

Jalan hidupmu masih panjang, kamu juga berhak meraih kebahagiaanmu lagi, kumpulkanlah teman-teman yang baik, sahabat-sahabat sejatimu yang bisa kamu dapatkan, baik dari masa kecilmu hingga nanti kamu bekerja dan berkeluarga.

Dari kepahitan hidup yang telah kita lalui bersama ini, kamu bisa lebih selektif memilih teman dan sahabat sejatimu. Kamu bisa memulai dari diri ayahmu ini, yang juga berperan sebagai ibumu.

Bila kamu sudah bisa merasakan hal itu, kamu bisa kembangkan hal yang sama kepada isteri dan anak-anakmu, seandainya kamu berniat untuk berumah tangga.

Kamu bisa membangun persahabatan sejati dengan istrimu, dengan mertuamu, dengan iparmu bila ada. Yang bisa kamu lanjutkan dengan anak-anakmu bila kamu dikaruniai anak nanti.

Anakku ini mengalami kepahitan hidupnya saat dia masih berusia 9 tahun. Dia kehilangan orang-orang yang mencintai dan dicintai dirinya.

Seolah dirinya tidak berhak mendapatkan kebahagiaan lagi. Baginya kebahagiaan itu sudah berakhir sejak ia masih kecil. Ia tinggal dengan kesendiriannya, kesialannya dan penderitaannya semata.

Kami bersyukur bisa berkumpul kembali di akhir tahun 2019 yang lalu, setelah terpisah sekian tahun lamanya.

Bila melihat postur tubuhnya, anakku ini lebih besar dari sosokku. Dia memiliki tinggi 176 cm dengan berat badan 80 kg, namun bila dinilai secara mental dia masih seperti anak-anak yang polos pemikirannya.

Terlebih setelah dia kehilangan momen golden yearnya, masa dimana dia selayaknya mendapatkan kasih sayang, bimbingan, panutan dan ajaran yang baik dari kedua orang tuanya.

Sebagai komitmen saya kepada dirinya, saya sering berinisiatif untuk mendampingi dirinya, memberikan teladan yang baik dari diri saya terlebih dahulu untuk dirinya.

Saya sering menemaninya menghabiskan malam hari di tempat tinggalnya yang masih sepi dari hunian mahasiswa atau penghuni lainnya agar dia tidak merasa kesepian meski badanku lelah karena pekerjaan rutin sehari-hari.

Begitu juga dengan rasa lelah akibat menembus kemacetan lalu lintas sepanjang perjalanan ke tempat tinggal anakku yang memakan waktu 1-2 jam lamanya.

Sering pula saya mengajak dirinya untuk makan bersama, baik di tempat tinggalnya sebagai mahasiswa maupun di resto pilihan kami, ataupun hanya sekedar berjalan-jalan.

Saya ceritakan bagaimana saat makan bersama, saat berjalan bersama bisa menjadi momen yg indah, saat kebersamaan dengan orang yang kita cintai, sayangi.

Saya tunjukkan beberapa pengunjung yg seperti kami yang bersantap tanpa dengan keluarga yang lengkap.

Membangun kepercayaan diri, rasa syukur dan terima kasih dalam diri anakku bahwa dia tidak sendiri, dia masih memiliki orang yang dia cintai, dia sayangi yang juga mencintai dan menyayangi dirinya apa adanya tanpa syarat apapun jua. 

Meski menjadi pendamping dan sahabat sejatinya harus saya jalani seumur hidupku, saya rela. Semuanya demi anakku, harta yang Tak Ternilai harganya di sisa hidupku ini.

Membangun sebuah rasa percaya diri, rasa bahagia , menyimpan momen kenangan indah dalam diri kita untuk kita tetap tegar menjalani kehidupan ini, memanglah tidak mudah.

Tidak seperti yang kita lihat di sinetron, di film ataupun penggalan kisah inspiratif yang ada di media sosial.

Kita mesti memulai dari diri kita sendiri karena sesungguhnya diri kita sendirilah yang menjadi sutradara dan pemeran utama dalam kisah perjalanan hidup kita.

Bahagia atau tidak bahagia, kesepian ataupun kemandirian, diri kita sendirilah yang menentukannya.

Syukur bisa ada sahabat sejati yang membantu kita untuk mencapai kebahagiaan yang kita dambakan tersebut.

Sekian dan terima kasih.

**

Jakarta, 29 April 2022
Penulis: Johny Hanjaya untuk Grup Penulis Mettasik

dokpri, mettasik, johny hanjaya
dokpri, mettasik, johny hanjaya

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun