Kami bersyukur bisa berkumpul kembali di akhir tahun 2019 yang lalu, setelah terpisah sekian tahun lamanya.
Bila melihat postur tubuhnya, anakku ini lebih besar dari sosokku. Dia memiliki tinggi 176 cm dengan berat badan 80 kg, namun bila dinilai secara mental dia masih seperti anak-anak yang polos pemikirannya.
Terlebih setelah dia kehilangan momen golden yearnya, masa dimana dia selayaknya mendapatkan kasih sayang, bimbingan, panutan dan ajaran yang baik dari kedua orang tuanya.
Sebagai komitmen saya kepada dirinya, saya sering berinisiatif untuk mendampingi dirinya, memberikan teladan yang baik dari diri saya terlebih dahulu untuk dirinya.
Saya sering menemaninya menghabiskan malam hari di tempat tinggalnya yang masih sepi dari hunian mahasiswa atau penghuni lainnya agar dia tidak merasa kesepian meski badanku lelah karena pekerjaan rutin sehari-hari.
Begitu juga dengan rasa lelah akibat menembus kemacetan lalu lintas sepanjang perjalanan ke tempat tinggal anakku yang memakan waktu 1-2 jam lamanya.
Sering pula saya mengajak dirinya untuk makan bersama, baik di tempat tinggalnya sebagai mahasiswa maupun di resto pilihan kami, ataupun hanya sekedar berjalan-jalan.
Saya ceritakan bagaimana saat makan bersama, saat berjalan bersama bisa menjadi momen yg indah, saat kebersamaan dengan orang yang kita cintai, sayangi.
Saya tunjukkan beberapa pengunjung yg seperti kami yang bersantap tanpa dengan keluarga yang lengkap.
Membangun kepercayaan diri, rasa syukur dan terima kasih dalam diri anakku bahwa dia tidak sendiri, dia masih memiliki orang yang dia cintai, dia sayangi yang juga mencintai dan menyayangi dirinya apa adanya tanpa syarat apapun jua.Â
Meski menjadi pendamping dan sahabat sejatinya harus saya jalani seumur hidupku, saya rela. Semuanya demi anakku, harta yang Tak Ternilai harganya di sisa hidupku ini.