Rasanya sudah saatnya untuk berdamai dengan kebencian. Semut yang tidak kusenangi tidak seharusnya menjadi korban lagi.
Akhirnya aku mengembangkan metta, alias cinta kasih tanpa pamrih. Semut-semut kecil jalanan bukanlah jahanam. Mereka juga berhak hidup untuk mencari makan.
Syahdan, aku mulai memikirkan berbagai cara agar mereka tidak lagi merebut kopiku. Manusia memang harus lebih cerdas untuk bersaing dengan alam.
Kapur semut, digosok di sekitar kopi. Para semut ini tidak akan mendekati. Biarlah mereka pergi mencari makan di tempat lain.
Tapi, pernah juga sekali dua kali saya lupa menaruh gelas kopi pada tempat aman. Lalu gelas kopi dengan cepat akan dikerubuti kawanan kecil ini.
Tidak perlu emosi, kuangkat saja gelas itu dan menjemurnya di terik matahari. Semut hitam ini tidak senang berpanas ria, kulitnya sudah cukup legam, dan mereka akan kabur dengan sendirinya.
Jelek-jelek begini, tapi wajahku bisa juga semanis gula. Apalagi jika di pagi hari aku senyum-senyum sendiri. Terkadang ada satu dua semut yang nekat berkenalan denganku. Tanpa rasa takut, mereka berjalan-jalan menyusuri kulitku.
Geli rasanya, tapi tidak perlulah membenci. Cukup selesaikan dengan metta. Sekali tiup terbanglah mereka ke tempat lain. Aman bagiku, aman pula bagi mereka.
Kebiasaan ini terus kulakukan. Setiap pagi menjelang petang. Para semut kini tidak lagi kubenci. Karena memang diriku menyadari, tidak ada fenomena alam yang perlu diratapi.
Begitu sayangnya aku dengan semut, sehingga diriku melupakan kecoa. Si mahluk jijik berbulu ini sudah lama tidak muncul untuk menguji kenjantananku.
Hingga suatu hari, pada saat saya sedang membesihkan laci. Si kecoa muncul dengan gerakannya yang penuh intimidasi. Berjalan cepat di hadapanku, hanya berjarak beberapa senti dari tanganku.