Badan bisa besar, suara bisa berat, gaya bisa bengal, tapi setiap pria pasti punya kelemahan. Begitu pula diriku yang perkasa.
Jika Anda berpikir bahwa kelemahanku adalah istriku, maka Anda salah. Adalah sesosok mahluk imut dengan tubuh mulus mengkilap yang telah menaklukkanku. Membuatku mampu melupakan dosa, dan ia adalah kecoa.
Ah, kecoa ini memang binatang menjijikkan. Warnanya coklat mengkilap, kakinya banyak dan berbulu. Bisa terbang pula.
Sebagai seorang Buddhis, tentu saya paham jika membunuh mahluk hidup adalah salah satu pelanggaran sila. Tapi, terhadap kecoa, saya tidak pernah khwatir melanggar sila ini. Sebabnya, diriku sudah duluan lari terbirit-birit sebelum sempat menghafal penerapan Pancasila Buddhis.
Lain lagi dengan semut. Serangga ini tidaklah menjijikkan, mereka hanya menjengkelkan. Tidak tahu diri. Sudah tahu badannya kecil masih macam-macam pula.
Mereka paling sering menyapaku di pagi hari. Pada saat aku duduk di teras rumah, sambil minum kopi.
Tentunya, bukanlah diriku yang menarik minat mereka. Wajahku tidak semanis gula. Iya, semut-semut ini hanya tertarik dengan kopiku yang segar.
Kurang ajar bukan? Makanya saya tidak pernah segan-segan melenyapkan mereka.
Cara terpraktis adalah dengan melap kain basah. Sekali usap, meja bersih dari sosok hitam kecil yang memenuhi permukaan. Begitu menghibur hatiku yang terbakar api cemburu. Mampus Lu!
Ketika melihat semut, nafsu membunuhku begitu membara, sehingga saya memang harus berhati-hati mengembara. Tapi kemudian aku menyadari jika itu salah.