Setahun terakhir ini, metaverse menjadi perbincangan yang hangat bagi penguna IT. Perusahaan-perusahaan mulai berlomba membuat metaverse, salah satunya adalah Facebook.
Langkah awal Facebook masuk ke dunia metaverse adalah dengan merubah nama perusahaan Facebook Inc menjadi Meta. Mark Zuckerberg selaku pendiri Facebook ingin menciptakan dunia baru dengan internet.
Pada tahun 1992, Neal Stephenson seorang penulis novel fiksi ilmiah berjudul snow crash telah membuat istilah metaverse dalam novelnya. Neal Stephenson menggambarkan metaverse seperti yang akan diterapkan oleh Facebook.
Lalu apakah metaverse tersebut?
Facebook mendefinisikan metaverse sebagai seperangkat ruang virtual yang Anda dapat ciptakan dan jelajahi dengan orang lain yang tidak berada di ruang fisik yang sama dengan Anda. Metaverse memungkinkan penggunanya melakukan aktivitas seperti bekerja, bermain, belajar bahkan beribadah bersama-sama yang dilakukan melalui ruang virtual.
Banyak pro dan kontra tentang metaverse ini dari sudut pandang agama. Apakah metaverse halal?
penulis mengilustrasikan terlebih dahulu tentang internet. Internet layaknya sebuah pisau, satu sisi sangat membahayakan sekali jika kita salah dalam menggunakan pisau tersebut, disisi lain pisau sangat bermanfaat sekali jika kita tau cara menggunakannya.
Begitupun metaverse, metaverse sebagai teknologi baru di dunia internet akan sangat membahayakan bagi para penggunanya jika salah dalam menggunakannya, misalnya saja metaverse digunakan sebagai ajang judi online untuk mendapatkan keuntungan yang tidak halal, maka metaverse tersebut dapat kita katakan tidak sesuai dengan ajaran Sang Buddha.
Jika digunakan sesuai dengan kebutuhan dan tidak melanggar ajaran Sang Buddha maka metaverse menjadi sebuah teknologi yang dapat membantu aktivitas pengunanya maka dapat dikatakan halal.
Saat ini implementasi metaverse sudah banyak digunakan pada film, game, konser musik, penjualan properti bahkan kegiatan keagamaan.
Dibidang keagamaan, metaverse kedepannya sangat bermanfaat bagi para penggunanya, misalnya saja pengguna dapat beribadah di tempat masing-masing serta berkumpul bersama umat-umat yang lain dalam satu ruang virtual yang sama layaknya ibadah di tempat ibadah secara langsung.
Kalau kita menilik pengunaan aplikasi meeting online seperti Zoom Meeting yang awal pandemi lalu, pengguna sudah mulai memanfaatkan aplikasi tersebut untuk beribadah secara online, penulis yakin metaverse pun akan meningkat pula dibidang keagamaan.
Untuk mewujudkan metaverse dibidang keagamaan ini, setidaknya para pengurus Vihara ataupun pemangku kepentingan umat Buddha setidaknya harus sudah mulai mempersiapkan infrastruktur yang dapat mendukung terciptanya metaverse bagi umat dalam rangka mendukung ibadah secara virtual.
Seperti yang kita ketahui bahwa implementasi metaverse ini salah satunya membutuhkan perangkat teknologi Virtual Reality (VR) dan Augmented Reality (AR) sehingga membutuhkan alat headset atau kaca mata virtual reality. Dengan perangkat yang terbilang masih mahal sepertinya hal ini akan menjadi hambatan implementasi metaverse dibidang keagamaan.
Terlaksananya metaverse dibidang keagamaan sepertinya butuh dukungan pemerintah terkait kebijakan penjualan perangkat headset virtual reality bagi dunia keagamaan serta membantu menyediakan infrastrukur lain yang dapat mendukung terlaksananya metaverse di bidang keagamaan.
**
Tangerang, 04 April 2022
Penulis: Yo Ceng Giap untuk Grup Penulis Mettasik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H