Seperti tersengat kalajengking karena pekerjaan dan rekan-rekan seprofesinya dipertanyakan, ahli pembuat sabun dengan sengit menyahut, "Mosok menyalahkan kami? Sudah jelas karena mereka belum mandi dan membersihkan diri menggunakan sabun kami yang berkualitas top. Jadilah tubuh mereka kotor."
Ahli pembuat sabun memasang mimik menang. Tersenyum-senyumlah ia karena merasa bisa mengalahkan protes dari temannya. Jarang-jarang ia bisa melakukan ini terhadap temannya, si ahli agama, yang terkenal pandai dan pintar berdebat.
Tak dinyana, tiba-tiba ahli agama berkata, "Itulah kuncinya pren (red: friend atau teman). Jangan terburu-buru menyalahkan agama-agama atau kami para ahli atau pemuka agama. Ketidakbaikan dan keburukan yang masih banyak dijumpai dalam kehidupan ini, tidak mencerminkan kualitas dari agama-agama dan ahli-ahli agama."
"Kunci penyebabnya adalah karena banyak manusia yang tidak atau belum mempraktikkan ajaran agamanya dengan baik dan benar!" sambung si ahli agama.
Untuk kesekian kalinya, ahli pembuat sabun merasa kalah terhadap temannya. Wajahnya tersipu malu dan menjadi sedikit menunduk. Ia tidak berani memandang wajah temannya, si ahli agama.
Cerita ilustrasi ini mengajarkan kenyataan yang banyak terlupakan oleh sebagian orang. Bukan karena ajaran berbagai agama yang buruk atau bahkan salah. Juga bukan karena kualitas para ahli berbagai agama yang kurang. Akan tetapi karena praktik dari para pemeluk agama yang belum memadai sehingga dunia ini masih terisi dengan berbagai perbuatan buruk atau jahat.
Sebagian orang mempelajari agama hanya untuk keingintahuan dan kepuasan intelek semata. Agama hanya dijadikan kulit dan pelengkap status, tanpa dirasa perlu untuk dipraktikkan. Bahkan ada pula yang menjadikan agama sebagai tameng atas tindakan buruk yang dilakukannya. Mereka melakukan kejahatan atas nama agama.
Buddha mendorong kita untuk mempelajari Ajaran Mulia yang Beliau babarkan. Yang paling penting dan utama, Buddha mendorong kita untuk mempraktikkan apa-apa yang sudah kita pelajari. Tanpa praktik, ibarat sayur tanpa garam, tidak akan ada rasanya.
Praktik atas Ajaran Mulia sesuai yang disampaikan Buddha adalah berbentuk perbuatan (karma/kamma) nyata. Tidak hanya melalui perbuatan yang terlihat kasat mata, yakni melalui ucapan dan perbuatan badan jasmani. Tetapi juga melalui pikiran.
Jadi Buddha sesungguhnya mendorong kita untuk menjadi orang yang berintegritas. Ciri dari orang seperti ini adalah kesamaan atau konsistensi antara pikiran, ucapan, dan perbuatan badan jasmani. Tidak ada kepura-puraan dari seorang pemeluk agama Buddha yang baik dan benar. Apa yang diucapkan dan diperbuat, mencerminkan sepenuhnya apa isi pikirannya.
**