Suatu waktu, seorang ahli agama sedang jalan berkeliling di sebuah daerah. Seorang teman baiknya ikut menemani. Kebetulan profesi teman baiknya tersebut adalah ahli pembuat sabun.
Saat keduanya tiba di pasar, mereka mendengar teriakan seorang ibu. Ternyata ibu tersebut kaget sewaktu membuka tasnya untuk mengambil dompet. Ia hendak membayar belanjaan. Nahas, dompetnya tidak bisa ia temukan di dalam tas. Sebelumnya telah ada tangan jahil yang mengambil dompetnya.
Melihat kejadian tersebut, ahli pembuat sabun mengeleng-gelengkan kepala. Wajahnya terlihat seperti orang tercenung.
Mereka kemudian melanjutkan perjalanan. Tak berapa lama, mereka melihat cukup banyak orang berkumpul. Ternyata orang-orang tersebut sedang mengerubungi dan menggebuki seorang laki-laki muda.
Anak muda tersebut ketahuan sedang berupaya membawa lari sepeda motor yang bukan miliknya. Ternyata kondisinya sedang setengah mabuk. Ia kehabisan uang untuk membeli minuman keras guna melanjutkan mabuknya. Alhasil, dia mencoba membawa lari barang yang bukan miliknya.
Nahas bagi anak muda itu karena pemilik sepeda motor tersebut memergoki kelakuannya. Teriakan "maling, maling, maling" yang keras sontak terdengar. Alhasil, banyak orang segera datang. Mereka lalu main hakim sendiri terhadap si anak muda. Tak pelak, babak belur hingga bersimbah darahlah kondisinya.
Mengetahui duduk cerita kejadian tersebut, ahli pembuat sabun kembali mengeleng-gelengkan kepalanya. Lagi-lagi ia terlihat seperti orang tercenung. Kali ini, gelengan kepalanya lebih keras dari sebelumnya.
Keduanya lalu meneruskan perjalanan. Sampailah mereka di halaman parkir sebuah restoran. Cukup banyak kendaraan terparkir di sana karena memang waktunya sedang jam makan.
Di pojok area parkir tersebut, mereka melihat seorang laki-laki dewasa sedang mengorek-gorek isi sebuah tong sampah besar. Terlihat seorang perempuan dewasa di dekatnya sedang menggendong seorang bayi.
Berdasarkan penampilan, mereka sepertinya adalah pasangan orang miskin atau pengemis beserta anaknya. Kemungkinan mereka sedang mencari sisa-sisa makanan yang masih bisa mereka santap. Tentu perut lapar nan melilit mereka bertiga perlu diisi supaya tidak terasa terlalu rewel dan menyiksa.
Kali ini ahli pembuat sabun menggeleng-gelengkan kepalanya sangat keras. Jauh lebih keras dari gelengan-gelengan sebelumnya setelah melihat dua kejadian yang awal.
Terdorong oleh rasa penasaran besar yang sudah ditahan-tahan sejak tadi, ahli agama bertanya kepada temannya tersebut, "Kenapa kamu berkali-kali menggeleng-gelengkan kepala, bahkan dengan gerakan yang begitu keras? Tidak kuatir copotkah kepalamu?"
Ahli pembuat sabun tidak langsung menanggapi pertanyaan temannya. Dia masih diam seribu bahasa untuk belasan detik lamanya.
Akhirnya, keheningan di antara keduanya dipecahkan oleh suara perlahan ahli pembuat sabun, "Apa gunanya ada banyak agama dan para ahli atau pemuka agama? Semua katanya mengajarkan tentang kebaikan, sejak dulu agama-agama muncul hingga sekarang. Â Faktanya masih ada begitu banyak tindak kejahatan, kekerasan, ketidakadilan, penderitaan, kesakitan, dan lain-lain yang buruk?"
Kembali muncul keheningan di antara mereka berdua. Ahli agama tidak menanggapi pertanyaan dan pernyataan dari temannya. Ia terlihat seperti orang tercenung. Barangkali ia sedang merenungi kata-kata ahli pembuat sabun. Kata-kata tersebut memang terkesan menghentak atas kenyataan yang banyak dijumpai dalam kehidupan ini.
Ahli pembuat sabun sejenak merasa senang dan menang. Kali ini ia merasa bisa "menyudutkan" temannya yang biasanya pintar dan tidak mudah dikalahkan.
Keduanya lalu dalam hening melanjutkan perjalanan. Sampailah mereka di sebuah tanah kosong yang cukup lapang. Kebetulan beberapa anak kecil sedang bermain bola kaki di tempat tersebut.
Dikarenakan sebelumnya sempat turun hujan, terdapat beberapa kubangan air tersebar di area tanah kosong tersebut. Anak-anak kecil yang sedang bermain itu terlihat begitu kotor, baik pakaian, kaki dan tangan, bahkan wajah dan rambut mereka.
Melihat semua hal tersebut, tiba-tiba ahli agama menggeleng-gelengkan kepalanya dengan keras. Apa yang dilakukannya mirip seperti yang dilakukan oleh ahli pembuat sabun sebelumnya.
Ahli pembuat sabun yang merasa gaya gelengan kepalanya telah ditiru, lalu bertanya, "Mengapa engkau menggeleng-gelengkan kepala seperti yang kulakukan? Pasti karena juga tidak setuju seperti diriku atas banyak kenyataan kehidupan, ya? Pasti sekarang kamu juga mempertanyakan manfaat keberadaan berbagai agama dan kalian para ahlinya."
Dengan wajah sedih yang sebetulnya sengaja dibuat-buat, ahli agama kemudian berguman. Tidak terlalu keras gumanannya tetapi cukup jelas terdengar oleh ahli pembuat sabun. "Apa gunanya para ahli pembuat sabun yang sudah membuat begitu banyak sabun sejak zaman dahulu kala? Koq anak-anak yang sedang bermain bola dan banyak orang lainnya di dunia begitu kotor fisiknya?"
Seperti tersengat kalajengking karena pekerjaan dan rekan-rekan seprofesinya dipertanyakan, ahli pembuat sabun dengan sengit menyahut, "Mosok menyalahkan kami? Sudah jelas karena mereka belum mandi dan membersihkan diri menggunakan sabun kami yang berkualitas top. Jadilah tubuh mereka kotor."
Ahli pembuat sabun memasang mimik menang. Tersenyum-senyumlah ia karena merasa bisa mengalahkan protes dari temannya. Jarang-jarang ia bisa melakukan ini terhadap temannya, si ahli agama, yang terkenal pandai dan pintar berdebat.
Tak dinyana, tiba-tiba ahli agama berkata, "Itulah kuncinya pren (red: friend atau teman). Jangan terburu-buru menyalahkan agama-agama atau kami para ahli atau pemuka agama. Ketidakbaikan dan keburukan yang masih banyak dijumpai dalam kehidupan ini, tidak mencerminkan kualitas dari agama-agama dan ahli-ahli agama."
"Kunci penyebabnya adalah karena banyak manusia yang tidak atau belum mempraktikkan ajaran agamanya dengan baik dan benar!" sambung si ahli agama.
Untuk kesekian kalinya, ahli pembuat sabun merasa kalah terhadap temannya. Wajahnya tersipu malu dan menjadi sedikit menunduk. Ia tidak berani memandang wajah temannya, si ahli agama.
Cerita ilustrasi ini mengajarkan kenyataan yang banyak terlupakan oleh sebagian orang. Bukan karena ajaran berbagai agama yang buruk atau bahkan salah. Juga bukan karena kualitas para ahli berbagai agama yang kurang. Akan tetapi karena praktik dari para pemeluk agama yang belum memadai sehingga dunia ini masih terisi dengan berbagai perbuatan buruk atau jahat.
Sebagian orang mempelajari agama hanya untuk keingintahuan dan kepuasan intelek semata. Agama hanya dijadikan kulit dan pelengkap status, tanpa dirasa perlu untuk dipraktikkan. Bahkan ada pula yang menjadikan agama sebagai tameng atas tindakan buruk yang dilakukannya. Mereka melakukan kejahatan atas nama agama.
Buddha mendorong kita untuk mempelajari Ajaran Mulia yang Beliau babarkan. Yang paling penting dan utama, Buddha mendorong kita untuk mempraktikkan apa-apa yang sudah kita pelajari. Tanpa praktik, ibarat sayur tanpa garam, tidak akan ada rasanya.
Praktik atas Ajaran Mulia sesuai yang disampaikan Buddha adalah berbentuk perbuatan (karma/kamma) nyata. Tidak hanya melalui perbuatan yang terlihat kasat mata, yakni melalui ucapan dan perbuatan badan jasmani. Tetapi juga melalui pikiran.
Jadi Buddha sesungguhnya mendorong kita untuk menjadi orang yang berintegritas. Ciri dari orang seperti ini adalah kesamaan atau konsistensi antara pikiran, ucapan, dan perbuatan badan jasmani. Tidak ada kepura-puraan dari seorang pemeluk agama Buddha yang baik dan benar. Apa yang diucapkan dan diperbuat, mencerminkan sepenuhnya apa isi pikirannya.
**
Jakarta, 02 April 2022
Penulis: Toni Yoyo untuk Grup Penulis Mettasik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H