Apa yang muncul dalam pikiran kita sewaktu dihadapkan dengan kata "MEMBACA"? Kemungkinan akan timbul rasa segan atau malas, apalagi jika bacaannya cukup panjang.
Terlebih jika disertai kata "harus dibaca" karena isinya bagus, namun sayangnya kurang menarik bagi kita. Berbeda seandainya yang harus dibaca itu menarik atau memang "ingin dibaca".
Lalu apa yang terpikirkan sewaktu kita dihadapkan dengan kata "MENULIS"? Secara umum, kebanyakan orang lebih suka membaca dibandingkan dengan menulis. Jangankan untuk menulis, untuk membaca pun banyak orang yang enggan.
Padahal sejak kecil, kita sudah diajari dan mempraktikkan calistung. Ini merupakan kegiatan belajar berkaitan dengan membaca, menulis, dan berhitung.
Calistung adalah kemampuan dasar yang harus dikuasai anak yang telah menginjak tingkat sekolah dasar (SD). Seiring berjalannya waktu, aktivitas membaca apalagi menulis semakin menjauh dan meredup dari diri kita.
Sewaktu "membaca", kita sebenarnya bertindak sebagai "penikmat gagasan". Adapun, di kala "menulis", kita sesungguhnya berlaku sebagai "pencipta gagasan".
Tidak ada salahnya menjadi penikmat gagasan orang lain. Apalagi jika gagasan orang lain yang dibaca itu bisa meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kita.
Namun, akan jauh lebih bernilai seandainya kita bisa menciptakan gagasan bagus yang disajikan dalam bentuk tulisan, yang bermanfaat bagi orang-orang lain.
Ada orang-orang yang terampil, tidak hanya berbicara secara lisan di muka umum (public speaking), tetapi juga melalui tulisan yang dipublikasikan (public writing).
Akan tetapi, ada orang-orang yang hanya terampil di salah satunya saja. Kita seharusnya menggunakan saluran atau sarana yang kita kuasai supaya bisa memberi manfaat bagi orang-orang lain.
Tulisan merupakan bentuk luaran (ouput) diri seorang manusia. Untuk mampu menghasilkan luaran-luaran yang bagus, kita perlu memperbanyak masukan (input) ke dalam diri. Selanjutnya kita perlu melakukan proses-proses yang konstruktif di dalam diri untuk mengolah berbagai input yang sudah masuk.
Salah satu cara memasukkan input yang bermanfaat supaya kita bisa menghasilkan tulisan-tulisan yang baik adalah dengan membaca. Tentu saja bacaan yang kita konsumsi sebaiknya tidak hanya bagus secara isi, tetapi juga membuat kita dapat belajar akan berbagai gaya penulisan.
Steven Covey dalam karya bukunya yang fenomenal "7 Kebiasaan Manusia Yang Sangat Efektif" (7 Habits of Highly Effective People), mengatakan ada 7 kebiasaan yang harus dikembangkan dan dimiliki oleh seorang manusia.
Ketujuh kebiasaan tersebut akan memungkinkan orang yang menguasainya, meraih berbagai tujuan atau sasaran dalam kehidupannya.
Tiga kebiasaan pertama berkenaan dengan penguasaan diri sendiri. Tiga kebiasaan berikutnya berkaitan dengan penguasaan orang-orang lain (publik).
Adapun kebiasaan ketujuh berkaitan dengan cara mengasah "ketajaman" diri. Kebiasaan ketujuh ini memungkinkan keenam kebiasaan lainnya menjadi lebih tajam dan kuat sehingga bisa berdampak besar bagi orang yang mempraktikkannya.
Kebiasaan ketujuh menurut Steven Covey tersebut adalah "Mengasah Gergaji" (sharpen the saw). Tentu saja "gergaji" yang dimaksud bukanlah alat bertukang untuk memotong, melainkan berbagai aspek diri dari seorang manusia.
"Gergaji" diri yang harus secara rutin dan terus-menerus diasah tersebut, meliputi aspek fisik, mental, sosial emosional, dan spiritual. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengasah dan mempertajam ke semua aspek itu.
Dua dari berbagai cara yang dapat dilakukan untuk mengasah dan mempertajam aspek mental seorang manusia adalah membaca dan menulis yang baik-baik atau bagus.
Keduanya dapat mengasah dan mempertajam kemampuan dan kepekaan diri karena memberi nutrisi batin kepada diri.
Salah satu teori motivasi mula dalam pengetahuan perilaku manusia, khususnya berkaitan dengan dorongan untuk melakukan sesuatu adalah "Hirarki Kebutuhan".
Teori ini dikemukakan oleh Abraham Maslow. Kebutuhan yang lebih tinggi, posisinya akan semakin di atas pada hirarki ala Maslow yang berbentuk piramida.
Level paling bawah dari piramida Hirarki Kebutuhan Maslow adalah kebutuhan fisik. Level kedua adalah kebutuhan akan keamanan, baik fisik maupun psikologis.
Level berikutnya adalah kebutuhan sosial, yakni penerimaan diri oleh orang-orang lain. Level keempat adalah harga diri atau kebanggaan diri. Level paling tinggi alias yang teratas adalah aktualisasi diri.
Apa perbedaan antara level keempat (harga diri atau kebanggaan diri) dengan level kelima (aktualisasi diri) dalam Hirarki Kebutuhan Maslow?
Harga diri atau kebanggaan diri dibangun melalui pencapaian-pencapaian yang kita raih. Dalam konteks ini, pencapaian yang dimaksud tidak harus yang besar, apalagi yang menjulang.
Juga tidak perlu pencapaian yang diraih dengan mengalahkan orang-orang lain. Bukan pula pencapaian yang hanya bisa diraih sedikit orang. Orang-orang lain juga banyak yang bisa meraih hal serupa.
Sewaktu kita naik kelas, lulus sekolah, menyelesaikan kuliah, mencapai target pekerjaan, dari sebelumnya tidak bisa menjadi bisa dalam sesuatu hal, dan banyak lagi contoh lainnya, harga diri atau kebanggaan diri kita akan meningkat. Alhasil, level kepercayaan diri kita pun akan meningkat.
Adapun aktualisasi diri kita dibentuk melalui pencapaian yang tidak terlalu banyak orang yang bisa meraihnya. Perlu pengeluaran potensi diri dan upaya ekstra kita untuk merealisasikan pencapaian tersebut.
Tidak mudah, namun pencapaian tersebut dapat menumbuhkan rasa akan diri kita yang penuh dan bermakna (self-fulfillment).
Pemenuhan harga diri atau kebanggaan diri, ganjarannya adalah perasaan senang, gembira, suka cita dan sejenisnya. Â Adapun pemenuhan aktualisasi diri berpotensi memberikan ganjaran kepuasan, bahkan kebahagiaan di dalam diri.
Karya tulisan, apalagi berupa buku, merupakan salah satu penyumbang bagi level kelima (aktualisasi diri) dalam piramida Hirarki Kebutuhan Maslow.
Karenanya, tunggu apalagi untuk memulai menulis. Kepuasan dan kebahagiaan itu harus diupayakan oleh diri sendiri, bukan menunggu untuk diberikan oleh orang atau makhluk lain.
Karya tulisan, semisal dalam bentuk buku, juga dapat meningkatkan citra merek (brand image) diri kita.
Imajinasikan bagaimana senang dan bangganya kita sewaktu berkenalan dengan orang baru. Alih-alih memberikan kartu nama untuk ditukarkan dengan kartu nama orang baru tersebut, kita memberikannya sebuah buku karya kita. Selain pasti kaget, orang baru tersebut kemungkinan akan melihat kita dengan pandangan yang lebih baik atau tinggi.
Jangan pernah kuatir tidak punya atau kehabisan ide atau gagasan untuk membuat tulisan. Ide tulisan bisa datang dari mana-mana.
Salah satu caranya adalah menggunakan panca indra kita secara kreatif untuk mencerap hal-hal dari luar diri. Lalu jadikan sebagai ide atau gagasan guna memulai goresan tulisan kita.
Lanjutkan dengan menggunakan daya pikir kita untuk mengelaborasikan ide atau gagasan tersebut sehingga susunan dan tampilannya bisa mengkomunikasikan apa yang ingin kita sampaikan kepada pembaca.
Bagaimana caranya melawan keengganan, kekuatiran, ketakutan, dan kecemasan untuk memulai menulis atau untuk lebih produktif dalam menulis?
Ingatlah akan cara kerja hukum Inersia (kelembaman) dalam ilmu fisika. Begitu kita sudah memulai menulis, meski awalnya bisa jadi sulit dan berat, semakin lama akan semakin bergulir dan ringan karena kita sudah mulai mendapatkan momentum (timing)-nya.
Setelah kita melakukan tindakan menulis pertama, tindakan menulis selanjutnya akan lebih mudah. Semakin banyak tindakan menulis yang kita lakukan, tindakan-tindakan menulis selanjutnya akan semakin bertambah mudah.
Artinya, tindakan menulis awal memicu tindakan menulis berikutnya. Tanpa memulai tindakan menulis, akan sulit untuk melakukan tindakan-tindakan menulis selanjutnya. Tidak ada waktu yang lebih tepat untuk memulai menulis selain saat ini, sekarang ini.
Pramoedya Ananta Toer mengatakan, "Orang boleh pandai setinggi langit. Tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian."
Sepandai dan sepintar apapun seseorang, jika tidak ada karya yang ditinggalkan, yang bisa mewakili dirinya setelah meninggal dunia, sangatlah disayangkan.
Tulisan adalah karya yang tak lekang oleh waktu. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tulisan dapat disimpan dan diteruskan dalam jangka waktu lama, meski penulisnya telah tiada.
Namun sering timbul pertanyaan di dalam diri kita, "Saya merasa tidak punya bakat atau potensi diri untuk menulis, bagaimana dong?" Ini sering timbul di benak orang-orang yang ragu untuk (memulai) menulis.
Meskipun selama ini belum ada tanda-tanda bakat menulis, jangan terburu-buru untuk menarik kesimpulan bahwa diri kita tidak punya bakat atau potensi diri guna menghasilkan karya tulisan.
Seringkali bakat atau potensi diri perlu diberikan kondisi yang sesuai untuk memungkinkannya muncul. Kondisi tersebut di antaranya adalah belajar cara-cara menulis yang baik.
Tentu saja kemudian harus dilanjutkan dengan mempraktikkan apa-apa yang sudah dipelajari. Lalu lihatlah perkembangan hasil yang diperoleh. Sangat mungkin tulisan kita akan semakin membaik dan menarik untuk dibaca.
Seandainya, setelah mengupayakan berbagai kondisi yang sesuai dan berupaya cukup keras, ternyata tulisan yang kita hasilkan belum cukup baik, barulah boleh diambil kesimpulan bahwa diri kita kurang atau bahkan tidak memiliki bakat atau potensi diri untuk menulis.
Jika demikian halnya, silakan berhenti untuk mencoba menulis karena hasil dan upaya menjadi tidak berimbang. Lebih baik melakukan hal lain yang lebih sesuai dengan bakat atau potensi diri kita.
**
Jakarta, 28 Maret 2022
Penulis: Toni Yoyo untuk Grup Penulis Mettasik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H