"Bintang bisa menjadi cahaya di malam hari untuk para nelayang yang mencari ikan. Juga petunjuk untuk pulang mencapai tujuan bagi para penjelajah benua," Boy melanjutkan ucapannya.
Meskipun sendirian, tapi tidak selamanya. Kadang ia sendiri di tengah kegelapan, kadang juga ia hadir dengan teman-temannya. Berkelap-kelip bersama bintang lainnya, saling menyapa dan bersenda gurau.
Si ibu guru terdiam, ia tahu sesuatu tentang si Boy. Tanpa sadar, ia pun meneteskan air matanya.
"Kata ayah ibu, nantinya saya juga tidak akan sendiri. Kelak, ayah dan ibu akan menyusul ke sana."
"Mereka juga akan menjadi bintang di langit. Bersama-sama saya membimbing orang lain yang butuh bantuan, tanpa mengharap balasan apa pun." Boy mengakhiri ceritanya.
"Nak, pemikiranmu sungguh luar biasa." Sang ibu guru langsung memeluk Boy, ia tidak sanggup lagi berkata apa-apa.
"Bu guru, aku ingin jadi bintang di langit seperti Boy," sahut murid-murid lainnya. Suasana kembali riuh setelah sempat hening sejenak.
"Baik, anak-anak, cukup pelajaran pada hari ini ya." Kelas bubar, dan murid-murid pun berbaris tertib meninggalkan ruangan kelas.
Si ibu guru tetap berada di mejanya, merapikan barangnya dengan seribu perasaan berkecamuk menjadi satu. Ia tak kuasa menahan tangisnya, mendengarkan jawaban si Boy. Anak berusia 9 tahun yang menderita leukimia.
Memang benar, Boy akan menjadi bintang di langit. Menjadi sosok yang akan selalu dikenang bagi mereka yang mengasihinya. Berbagi kasih sayang kepada semua orang, menjadi cinta bagi dirinya sendiri, tanpa harus berkorban.
Bagi anak seusianya, Boy memang belum siap untuk menghadapi kenyataan, bahwa hidup itu singkat. Namun, bu guru sadar, kehidupan itu memang tidak abadi, demikian pula dengan segala isinya yang kita anggap kekal. Â Â