Untuk itu, "Aku" selalu menyamakan posisinya dengan semua orang. Si "Aku" ini tidak masalah berteman dengan siapa saja. Dari kaum bangsawan hingga rakyat jelata.
Si "Aku" ini tidak senang jika orang memperlakukannya spesial. Ia juga akan marah jika orang lain memandang enteng dirinya.
Di dalam kamus "Aku" ketiga ini, semua orang adalah sama-setara.
Mari kita renungkan; Apakah benar ada Aku?
Secara kasat mata, fakta, dan logika, Aku dan "Aku" tiada bedanya, namun...Â
Jika diri dipuji, adakah perbedaan? Apakah bunga-bunga bermekaran, apakah mendung tiba-tiba terang? Atau apakah diri benar-benar melayang? Semuanya hanya serasa, karena berada di dalam pikiran.
Jika diri dimaki, apakah ada perubahan? Akankah tercium bau busuk? Atau petir menyambar-nyambar? Semuanya hanya terasa, karena berada di dalam pikiran.
Demikian pula dengan kepemilikan, adakah "ku" yang sebenarnya" Mobil-ku, handphone-ku, sepatu-ku. Semua hanya untuk menandakan identitas, karena "ku" tidak lagi menjadi-ku setelah semuanya rusak.
Begitu pula dengan perjuangan-ku, usaha-ku, atau kesetaraan-ku. Semua ada masa kadaluarsanya.
Si "Aku" ini hanyalah buatan pikiran semata-mata. Ia sudah lama berada di sana dan mengakui atau menolak banyak hal yang tidak sesuai kebiasaan.
"Aku" sangat memabukkan, karena gerakannya yang terlalu cepat. Ia ada di dalam batin kita, dan melekat bagaikan cicak. Ia adalah Kelekatan (Pali: Upadana).
Jadi, di manakah sebenarnya Aku?
Karena secara kasat mata, fakta, dan juga logika, tiada bedanya. Maka Aku dan "Aku" sebenarnya sama saja. Sama-sama tidak ada.