Pagi hari, matahari memperlihatkan senyum hangat pada alam semesta. Sisi, Kelomang mengerling karena silau cahaya mengusik tidur lelapnya. Sesekali ia mengejapkan mata, mengolet untuk mencoba tidur kembali.
Seminggu berlalu, Sisi menelusuri pantai, namun tidak berhasil menemukan cangkang baru sebagai rumah berlindung. Cangkang yang dihuninya terasa sesak untuk tubuh yang semakin gempal.
Kelomang adalah hewan bercangkang yang lahir tanpa cangkang. Sehingga mereka harus rajin mencari cangkang baru sesuai dengan ukuran dan bentuk tubuhnya.
Lulu Siput berjalan santai menikmati udara segar. Angin kencang menerpa objek yang ada di sekelilingnya. Ia melihat Sisi Kelomang menyembul dari cangkang mungilnya. Lulu pun menghampiri dan menyapa Sisi.
"Selamat pagi. Apa kabar? Wah, kamu terlihat kemontokan! Perlu mencari rumah baru."
Sisi Kelomang mengernyit dahi serta menimpali. "Pagi juga, sudah seminggu ini aku berkeliling mencari dan menggali pasir di sekitar ini. Namun nihil. Ingin rasanya bisa membuat sendiri seperti dirimu."
"Ha ha ha... Sedangkan aku berharap bisa mengganti cangkangku karena sudah bosan," seloroh Lulu.
Sisi dan Lulu tertawa bersama. Ternyata ketidakpuasan dan kekecewaan hadir dalam kehidupan mereka. Meski beda kepentingan, Sisi Kelomang dan Lulu Siput tidak puas dengan kondisi yang dialaminya.
"Aku kepanasan bila sengatan matahari sangat tajam di siang hari. Dinginnya udara menusuk, ku alami ketika malam hadir. Predator mengintaiku. Demikian pula perut lunak ini yang harus dilindungi karena itu organ vitalku."
"Suatu ketika, ketidakpuasan (dukkha) menyelinap pikiranku. Mengapa aku harus terlahir tanpa cangkang?"