Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lihatlah, Betapa Mudahnya Kita Tertipu

27 Februari 2022   06:41 Diperbarui: 27 Februari 2022   06:59 1380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lihatlah, Betapa Mudahnya Kita Tertipu (diolah pribadi, gambar: hbr.org)

Suatu hari saya berkunjung ke sebuah toko furniture di daerah selatan Jakarta. Pemilik toko furniture ini termasuk pesohor di kalangan salesman furniture. Setelah beberapa saat mengobrol dengannya, saya disodorkan satu sisir pisang kepok, "ini buat kamu bawa pulang."

Pisang kepok tersebut kulitnya kehitaman, ada putih-putih seperti berjamur, dan agak bonyok. Dalam hati saya bergumam, "pisang jelek ini kok dikasih ke saya?"

Tapi saya tidak menolak, lagipula ada pepatah jangan menolak rezeki. Pisang kepok pun saya terima, dan saya gantung di motor.

Namun, sebelum saya sempat pergi, sang pemilik toko memanggil saya kembali. "Rusli tunggu, ini kamu bawa satu sisir lagi." Lagi-lagi saya perhatikan, pisang kepok kedua ini tiada bedanya dengan yang pertama. Seperti pisang busuk, kulitnya sudah mulai menghitam semua.

Tetap saja, pisang kepo tersebut saya bawa pulang, tidak lupa juga berterima kasih. Meski di dalam hati, masih juga sedikit mengomel, "pisang busuk kok dikasih sampai dua sisir?"

Sesampainya di rumah saya langsung berikan kepada istri saya. "Ma, ini dikasih pisang kepok sama toko furniture. Pisangnya sudah jelek semua, kulitnya hitam."

Istri saya lalu berkata, "Pisang kepok yang kulitnya hitam belum tentu dalamnya jelek."

Ternyata benar, setelah dikupas isinya masih bagus-bagus. Spontan saya mengambil satu dan langsung mencicipinya. Pada gigitan pertama, wajah saya langsung berubah. Pisang kepok itu rasanya manis dan legit.

Baca juga: Sampah yang Tidak Kasat Mata

PERSEPSI PIKIRAN saya atas pisang kepok yang kulitnya hitam pasti pisang busuk ternyata SALAH BESAR.

Peristiwa serupa terjadi lagi, ketika saya sedang mengobrol bertiga di sebuah toko furniture. Nampak dari kejauhan seorang nenek menuju toko tempat kami berada.

Nenek itu berjalan tertatih-tatih dengan pakaiannya yang lusuh. Ia pun masuk ke dalam toko dan bertanya, "Mami ada?"

Dengan cepat si pemilik toko menjawab "Nggak ada, lagi pergi."

Sesaat kemudian, si Nenek langsung mengambil dompet kecil dan mengeluarkan uang 300 ribu. Tidak lupa juga secarik kertas dengan tulisan tangannya "Ini titip buat Mami, bilang dari saya."

Pada kertas tertera: "sumbangan untuk [...]," beserta nama nenek tersebut.

Baca juga: Banjir yang Tidak Ada Musimnya

Setelah si nenek itu pergi, si pemilik toko langsung bertanya kepada saya dan teman. "Waktu pertama kali lihat Nenek itu, apa yang ada di pikiran kalian?".

Saya menjawab "Kirain mau minta-minta uang." Teman saya menjawab mirip, "kirain pengemis."

Begitu pula dengan si pemilik toko, pikirannya pun sama. Ia telah berbohong, karena mengira nenek tersebut hanya mencari masalah. Maminya tidak keluar, berada di lantai atas.

Si pemilik toko lebih kaget lagi ketika mendengar informasi dari maminya yang merupakan koordinator sumbangan untuk yayasannya. "Teman mami itu yang paling rutin menyumbang."

Si pemilik toko juga rajin menyumbang, tapi jumlahnya tidak sebesar si nenek. Betapa malunya dirinya.

Baca juga: Kepo dengan Masalah Orang Lain, Tidak Masalah

Apakah Anda pernah mengalami kejadian seperti yang saya alami? Tertipu oleh persepsi pikiran sendiri?

Pengalaman saya ini mungkin biasa-biasa saja. Tapi persepsi pikiran yang salah bisa menimbulkan kerugian bagi diri sendiri dan orang lain. Berhati-hatilah dengannya.

Lihatlah, bagiamana dengan melihat, mencium, merasa, menyentuh, mendengar sisi luar saja, persepsi pikiran kita bisa sangat menipu.

Tidak semua orang yang berpakain lusuh itu orang tidak mampu. Tidak selalu orang yang berbicara keras itu jahat.

Begitupun sebaliknya, tidak semua orang berpenampilan mentereng itu kaya. Apalagi sekarang zaman flexing, sebagian besar orang yang mau menipu itu penampilannya bagai Crazy Rich.

Akan tetapi, bukan berarti kita harus selalu curiga terhadap semua orang. Kita perlu lebih waspada, dan tidak mudah tertipu oleh persepsi pikiran kita sendiri.

Kebanyakan orang yang tertipu pasti menyalahkan orang lain atau pihak luar, padahal sesungguhnya ada andil yang besar dari persepsi pikirannya sendiri.

Contohnya, ketika saya ditawarkan investasi dengan keuntungan yang besar. Persepsi pikiran akan mengarahkan kepada cuan yang besar. Namun, jika pada kenyataannya investasi itu bodong atau penipuan, menyesallah saya.

Baca juga: Analogi Ember Bocor, Manusia Lebih dari Sekadar Kebocoran

Belum lama diberitakan tentang penipuan paket minyak goreng. Hal pertama yang dibentuk oleh pikiran adalah harga minyak goreng yang langka dan meroket.

Selanjutnya, persepsi akan mengarahkan para korban dengan bayang-bayang keuntungan. "Bisa hemat atau sekalian saja dijual," demikian kata persepsi pikiran.

Sayangnya bukan itu yang terjadi. Menyesal kemudian tiada gunanya.

Bagaimana kita bisa mengetahui bahwa persepsi pikiran kita sedang menipu? Jawabannya adalah Kesadaran.

Kesadaran dapat tercipta melalui praktik meditasi yang benar dalam keseharian, dilandasi sila (moralitas), perilaku yang baik dalam berpikir, berucap, dan bertindak.

Seseorang yang telah memiliki kesadaran melalui praktik meditasi benar di dalam dirinya akan menunjukkan sifat yang tenang. Mereka tidak lagi termotivasi oleh keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kebodohan batin (moha).

Dengan demikian, kesadaran yang muncul akan menjaga pikiran. Pada saat yang sama juga mengembangkan kebijaksanaan. Mampu merespon fenomena-fenomena batin yang masuk melalui pintu-pintu Indria kita.

Baca juga: Enam Pintu Indria yang Akan Menentukan Sikapmu

Mengutip perbincangan Bhante Sri Pannavaro dengan Sujiwo Tejo dalam channel youtube mbah jiwo:

"Hadirnya kesadaran juga akan merespon segala sesuatu ke dalam diri terlebih dahulu baru kemudian bereaksi ke luar diri dengan lebih bijak".

Sehingga ketika ada penawaran menggiurkan, seyogyanya kita bisa merespon ke dalam terlebih dahulu. "Apakah ini benar saya butuhkan?, Apakah ini bijaksana? Apakah saya sedang serakah?"

Kenali juga fenomena Tiga Corak Utama, yaitu: segala sesuatu yang terkondisi, pasti mengalami perubahan (anicca), ketidakpuasan (dukkha), dan tidak ada inti diri (anatta).

Jika sudah mampu mengenali fenomena-fenomena batin yang terjadi, maka pada tingkat kesadaran yang lebih tinggi, kita akan mampu menerima semua kenyataan yang terjadi sebagaimana adanya.

Tidak menolak rasa sedih, tidak juga melekat pada rasa senang. Karena pada akhirnya, semua hanya sementara. Muncul-lenyap, demikianlah adanya.

Semoga kita semua menjadi mawas diri agar tidak tertipu oleh persepsi pikiran kita sendiri. Semoga kita bisa terhindar dari kerugian atau keburukan bagi diri sendiri dan juga makhluk lain.

Semoga semoga makhluk berbahagia.

**

Jakarta, 27 Februari 2022

Penulis: Rusli Widjaya untuk Grup Penulis Mettasik

dokumen pribadi, mettasik, rusli widjaya
dokumen pribadi, mettasik, rusli widjaya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun