Negara jiran yang dulunya tidak pernah rusuh, sekarang mengenal kata "amok." Memiliki makna yang sama dengan kata "amuk." Hal-hal yang dulu sering terjadi di Indonesia, kini mulai dikenal di sana.
Ingin refreshing untuk meredakan amarah, apa daya pandemi mengharuskan kita untuk menjaga jarak. Tidak ada lagi acara liburan, atau hanya sekadar kumpul-kumpul di Kafe. Rasa jenuh juga bisa menjadi pemicu amarah.
Media sosial membuat amarah tidak lagi biasa-biasa saja. Bak menonton film silat, jagoan biasanya terzolimi. Bukan karena tidak mampu, tapi tidak mau saja. Seperti jargon "the best fighter is never angry."
Tapi, sekarang tidak lagi. Mereka yang mendapat peran sebagai penjahat yang merasa menang. Berani mempertontonkan amarah dan kekuasaan di hadapan orang lain.
Dari semua fenomena ini, saya kira banyakhal yang bisa kita pelajari bersama.
Kita adalah mahluk sosial yang memiliki emosi. Tapi, jangan lupa bahwa nalar yang membedakan kita dengan mahluk lainnya. Kita semua harus mengutamakan logika di atas nafsu amarah.
Ada beberapa hal yang harus diputuskan dengan cepat. Ada pula sebaliknya, hal-hal yang harus dipikirkan sebelum diungkapkan.
Masalahnya, manusia sudah terbiasa untuk hidup instan. Dari Mie dalam kemasan hingga acara pertunjukan. Merasa bertanggung jawab terhadap dunia, apa daya jari terlalu cepat berkomentar.
Jika ada pepatah yang mengatakan, tuntutlah ilmu hingga ke negeri China. Di masa sekarang, mungkin lebih cocok, tuntutlah emosi ke negeri China.
Artinya emosi kita tidak lagi berskala domestik. Ia bisa dengan mudah menyeberangi lautan. Ingatlah, kesalahan kecil bisa menjadi sangat besar.
Jika tidak ingin terjebak, pahami tahapan pengelolaan emosi. Yang pertama, hindari pemicu.