Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Enak Saja, Setelah Marah-marah Lalu Minta Maaf

16 Februari 2022   06:01 Diperbarui: 16 Februari 2022   06:40 1381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Enak Saja, Setelah Marah-Marah Lalu Minta Maaf (Diolah pribadi, gambar: medium.com)

Saya kira, Anda dan saya belakangan ini diperlihatkan oleh dunia yang sama, yaitu dunia yang dipenuhi dengan orang-orang yang melampiaskan amarahnya. Tidak hanya di Indonesia tapi di mana saja dan untuk urusan apa saja.

Terjadinya bisa di terminal, di supermarket, di jalan ataupun barangkali di dalam pesawat terbang. Melanda siapa saja, dari rakyat jelata hingga pejabat publik. Dan ketika itu sudah viral, permintaan maaf terasa bisa menyelesaikan.

Bahkan tanpa sadar, kita juga sering terjebak di dalamnya, meskipun tidak sedang marah-marah. Kemarahan menjadi konten yang sangat berharga untuk disebarkan. Jika menjadi viral, kita turut bangga. Sangat tidak mengenakkan dan sangat tidak sehat.

Pemicunya bisa saja karena kondisi dan situasi. Masih segar di dalam pikiran, bagaimana pilpres bisa membuat orang-orang tersulut emosinya. Perbedaan pendapat membuat saudara sendiri saling memaki.

Lalu, muncullah pandemi. Ekonomi sulit, orang tersayang sakit. Berdiam diri di dalam rumah, internet menjadi sumber informasi terkini. Tidak semuanya benar, banyak yang hoax.

Celakanya, ada segelintir manusia yang suka memancing kemarahan. Perilaku mereka disebut dengan trolling. Sebuah drama kehidupan dengan munculnya sosial media.

Tapi, trolling ini sekarang sudah terbentuk dalam kehidupan nyata. Berpindah dari dunia maya ke dalam kehidupan nyata. Menghampiri mereka yang tidak punya akun media sosial.

Semoga Anda tidak terpancing dengan situasi oleh perilaku yang tidak bertanggung jawab ini.

Anda mungkin berkata jika saya tidak mudah emosi. Tapi, sebaiknya berhati-hati. Karena emosi sangat mudah disulut. Pikiran dan perasaan kita sesungguhnya sudah mengandung bensin yang siap terbakar.

Katakanlah hal-hal sederhana seperti Panic Buying. Fenomena ini terjadi di seluruh dunia. Bahkan jika Anda tidak ikut berebut, kata-kata provokatif mungkin sangat terdengar masuk akal.

Negara jiran yang dulunya tidak pernah rusuh, sekarang mengenal kata "amok." Memiliki makna yang sama dengan kata "amuk." Hal-hal yang dulu sering terjadi di Indonesia, kini mulai dikenal di sana.

Ingin refreshing untuk meredakan amarah, apa daya pandemi mengharuskan kita untuk menjaga jarak. Tidak ada lagi acara liburan, atau hanya sekadar kumpul-kumpul di Kafe. Rasa jenuh juga bisa menjadi pemicu amarah.

Media sosial membuat amarah tidak lagi biasa-biasa saja. Bak menonton film silat, jagoan biasanya terzolimi. Bukan karena tidak mampu, tapi tidak mau saja. Seperti jargon "the best fighter is never angry."

Tapi, sekarang tidak lagi. Mereka yang mendapat peran sebagai penjahat yang merasa menang. Berani mempertontonkan amarah dan kekuasaan di hadapan orang lain.

Dari semua fenomena ini, saya kira banyakhal yang bisa kita pelajari bersama.

Kita adalah mahluk sosial yang memiliki emosi. Tapi, jangan lupa bahwa nalar yang membedakan kita dengan mahluk lainnya. Kita semua harus mengutamakan logika di atas nafsu amarah.

Ada beberapa hal yang harus diputuskan dengan cepat. Ada pula sebaliknya, hal-hal yang harus dipikirkan sebelum diungkapkan.

Masalahnya, manusia sudah terbiasa untuk hidup instan. Dari Mie dalam kemasan hingga acara pertunjukan. Merasa bertanggung jawab terhadap dunia, apa daya jari terlalu cepat berkomentar.

Jika ada pepatah yang mengatakan, tuntutlah ilmu hingga ke negeri China. Di masa sekarang, mungkin lebih cocok, tuntutlah emosi ke negeri China.

Artinya emosi kita tidak lagi berskala domestik. Ia bisa dengan mudah menyeberangi lautan. Ingatlah, kesalahan kecil bisa menjadi sangat besar.

Jika tidak ingin terjebak, pahami tahapan pengelolaan emosi. Yang pertama, hindari pemicu.

Ibarat api yang siap membakar rumput kering, emosi kita seharusnya selalu basah. Agar pemantik yang jatuh di atasnya akan lenyap seketika.

Jauhkan batin dari keadaan "kering." Bersihkan daun-daun yang berguguran agar pikiran senantiasa sejuk. Perbaiki emosi, agar kita tidak mudah eksplosif. Jangan menjadi manusia bersumbu pendek.

Yang kedua, pemicu bisa dari mana saja. Agar api tidak menyulut, segera matikan. Tenangkanlah orang-orang di sekitarmu. Baik dari pasangan, atau siapa pun yang sedang marah.

Jangan sampai reaksi kita justru turut membakarnya. Karena ledakan emosi bagaikan bom hidrogen yang bisa menghancurkan dalam waktu yang sangat cepat. Merusak lingkungan, merusak orang lain, dan menghancurkan diri kita sendiri.

Marah bisa mengantarkan seseorang untuk membenci. Dari kebencian kemudian menimbulkan dampak yang lebih mengerikan lagi, yakni: penderitaan.

Kemarahan bisa saja tidak terungkap, tapi kebencian memiliki fungsi yang lebih mengerikan. Ia akan menjadi bom waktu.

Kemarahan tidak akan membuat diri Anda besar. Anda justru tampak kecil karenanya. Belajarlah untuk menerima dan memaafkan, karena itu adalah permata yang berharga.

Mintalah maaf dengan tulus. Karena sejak zaman media sosial, permintaan maaf juga mudah dianggap drama. Demi viral dan monetisasi, atau untuk menghindari sanksi.

Permintaan maaf yang tulus tidak perlu diekspos. Cukup dari hati terdalam dan kepada orang yang dituju. Tiada lagi dendam atau kebencian. Sembari bertekad untuk tidak lagi mengulangi.

Pengertian itu penting. Bukan seperti menghafal pelajaran sekolah seperti yang dulu sering dilakukan. Mengingat belum tentu mengerti. Memaafkan belum tentu dari hati.

Nalar tidak akan berarti lagi jika diri mudah tersulut emosi. Nalar bisa memberikan solusi, tapi kemarahan itu menyakitkan.

Kata orang manusia adalah mahluk pemaaf. Agar terhindar dari konflik, permintaan maaf pantas diungkapkan. Tapi, lebih baik lagi jika kita tidak mengutang kata maaf. Caranya adalah dengan menjaga perasaan agar tidak mudah terbakar api amarah.

Semoga bermanfaat.

**

Jakarta, 16 Februari 2022

Penulis: Firman Lie untuk Grup Penulis Mettasik

dokumen pribadi
dokumen pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun