Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Hubungan yang Paling Toksik, Adalah dengan Sosok Ini

14 Februari 2022   18:46 Diperbarui: 14 Februari 2022   18:50 1542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hubungan Toksik yang Paling Berbahaya, Adalah Dengan Orang Ini (diolah pribadi, gambar: flo.health)

"Kuputuskan Saja Tali Cintanya...."

Kutipan di atas berasal dari salah satu lirik lagu yang dibawakan oleh January Christy. Tali cinta yang kumaksud adalah tali 'cinta' yang selama 45 tahun membelenggu kehidupanku.  

Tak ada yang mengetahui hal ini. Sejak kecil aku telah mempunyai kecemasan sosial dan anxiety secara umum.

Aku khawatir sekali orang menilaiku. Aku terjebak dan menggantungkan nilai diriku pada rasa suka dan penilaian orang. Dengan demikian aku selalu merasa diriku tidak cukup.

Kesemua ini sangat mempengaruhi interaksi sosialku dengan sekitar. Akhirnya aku selalu merasa takut dan sendiri.

Konflik tajam selalu menghantuiku. Di satu sisi aku selalu berusaha keras untuk mencapai prestasi. Aku selalu meyakinkan diriku bahwa aku memiliki kemampuan. Dan itu bisa kubuktikan.

Menjadi aktivis organisasi Buddhis, menjadi MC, membuat naskah drama sekaligus pemerannya, menyusun naskah dialog pada sebuah acara televisi, hingga membantu kegiatan majalah dinding.

Tapi, tetap saja. Kecemasan menghantuiku. Kegelisahan justru semakin dalam dan bertambah besar. Membuatku beberapa kali menyendiri, menangis, saat orang lain memuji keberhasilanku.

Sekilas gambaran di atas adalah tentang si "anak kecil" yang berada dalam diriku. Ia terus bersamaku setiap saat bahkan sampai aku bekerja sekalipun.

Alhasil aku tak pernah merasa yakin dengan kemampuanku. Akupun selalu menghukum diriku sendiri dengan kritik-kritik tajam setiap kali melakukan apapun.

Fenomena tersebut bak bola salju yang perlahan bergulir. Berusaha tampil bagus, dan juga takut membuat kesalahan. Saling tarik menarik tanpa henti. Tidak efektif dan tidak produktif.

Tentu saja itu hanya terjadi di dalam diriku. Kusimpan rapat-rapat hal ini. Pikiran-pikiran yang begitu banyak membuatku seperti tidak hidup di saat ini.

Aku sadar bahwa itu semua adalah aspek psikologis yang terbentuk dari pengalaman. Lalu berlanjut dalam bentuk memori yang mempengaruhi perilaku, dan bersambung dengan pola pikir selanjutnya. Sesuatu yang berubah menjadi "monster anxiety".

Terlalu panjang untuk diceritakan. Suatu saat aku sangat kelelahan mempertahankan pola pikir demikian.

Seperti rumah kaca yang telah retak dan siap pecah. Sosok diriku sebagai perempuan yang kuat, lemah lembut, sabar dan selalu tersenyum tak dapat lagi kupertahankan.

Aku merasa diriku tidaklah seperti itu. Aku merasa seperti sosok bertopeng. Aku merasa, aku bukanlah orang yang baik. Aku merasa di dalam diriku penuh dengan 'kekotoran batin'.

Aku tak memberi apresiasi sedikitpun pada diriku, meski aku sudah melakukan hal-hal lain yang bermanfaat. Aku orang yang paling kejam terhadap diriku sendiri. Tak satupun kuhargai dari semua yang pernah kulakukan.

Di saat aku sudah sangat lelah, aku mulai mencari berbagai kegiatan untuk mencari jati diriku. Mulailah aku melakukan perjalanan pencarian diriku. Pergi mengikuti beberapa kegiatan retreat meditasi, meski aku bukanlah meditator yang baik.

Banyak Guru Meditasi yang mengajarkan "kehidupan adalah jalannya". Sesungguhnya hal menyenangkan maupun hal yang tidak menyenangkan dapat membawa kita pada jalan kebijaksanaan.

Penderitaan pun demikian. Melalui pendekatan mindfulness dapat membantu kita mengubah penderitaan kita menjadi jalan kebijaksanaan.         

Awalnya, aku belum memahami maksud ini. Aku selalu menjalani kehidupan dengan mencari penyebab penderitaan. Aku belum memahami apa itu "jalan kebijaksanaan."

Namun, aku tetap menjalankan yang terbaik, sebagaimana diriku yang ingin selalu tampil tidak mengecewakan.

Aku menerima pikiranku, aku mengamati "monster anxietyku" tanpa melibatkan diriku di dalamnya.

Muncul, tenggelam, dan muncul lagi dengan sangat kuat. Aku memperhatikannya dengan seksama. Begitu kuat mempengaruhi perasaan, membuat fisikku terasa benar-benar lelah.

Antara ada dan tiada, fenomena itu terus berkecamuk. Aku selalu menarik diriku larut terbawa arus batin. Semakin aku memberontak, semakin kuat terasa.

Lalu seberkas pikiran tentang kesadaran datang menyelamatkanku. Seketika aku merasakan perpindahan pikiran dan perasaan. Gerakan yang sangat cepat dari bentuk emosi yang sangat kuat menjadi kesadaran.

Monster Anxiety hanyalah bentuk pikiran dan perasaan, bukanlah diriku. Dan mereka biasa diamati.

Rasa takut atau kecemasan sesungguhnya tidak nyata. Hanya bentukan kondisi pikiran yang salah. Mengambil kesimpulan di saat kognitifku masih belum bisa mencerna dengan baik.

Aku lantas mengingat sebuah kalimat sederhana dari sabda Sang Buddha kepada Angulimala;

"Aku sudah berhenti... Engkau yang belum berhenti".

Aku pun terhenyak. Aku baru sadar jika selama ini aku selalu ingin mencari penyebab dari semua penderitaan. Pencarian yang tiada habisnya.

Aku merasa seperti seorang dewasa yang mulai menyadari bahwa badut itu bukanlah monster yang ditakutinya ketika masih kecil. 

Seperti kisah Sang Buddha tentang orang yang terkena panah beracun. Alih-alih mengobati lukanya, ia berusaha untuk mencari siapa yang memanahnya.

Bukan itu yang penting untuk dilakukan. Mengobati dan mencari solusi adalah pendekatan yang bijak. Di saat telah lelah mencari si 'pemanah', aku mulai memahami. Tidak ada yang dapat disalahkan dalam kehidupan ini.

Demikianlah baru aku dapat memahami secara langsung kalimat "kehidupan adalah jalannya". Kebahagiaan dan penderitaan akan membawa pada 'kebijaksanaan'.

Semua hal timbul dan tenggelam (anicca). Apapun yang terbentuk dikarenakan kondisi. Tak ada 'Aku' dalam diri tiap orang (anatta). 'Sosok' yang satu tak dapat dibandingkan dengan 'sosok' lainnya. Demikian juga tak dapat disalahkan.

Ada berbagai kondisi berbeda yang membentuk tiap 'orang'. Dengan memahami hal ini, barulah aku mulai mengerti bagaimana agar aku tidak menghakimi diriku dan juga orang lain.

Akhirnya... Aku dapat mencintai diriku apa adanya. Akupun dapat menerima lainnya.

Seringkali kita mendengarkan saran dari sang bijak, jauhilah teman-teman yang memberikan pengaruh negatif. Sebuah hubungan yang disebut dengan Toxic Relationship.

Tapi, Toxic Relationship yang aku alami bukanlah dengan siapa-siapa, melainkan dengan orang ini, alias diriku sendiri. Dengan menyadari ini, aku mengerti bahwa diri sendiri bisa menjadi sahabat terbaik dan sekaligus musuh terkejam. Tinggal mana yang harus dipilih.

"Kehidupan adalah jalannya. Hal menyenangkan dan tidak menyenangkan dapat membawa kita pada jalan tersebut. Mindfulness adalah perahu untuk menyeberangi penderitaan."

**

Jakarta, 14 Februari 2022

Penulis: W Rny untuk Grup Penulis Mettasik

dokumen pribadi
dokumen pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun