Seperti kisah Sang Buddha tentang orang yang terkena panah beracun. Alih-alih mengobati lukanya, ia berusaha untuk mencari siapa yang memanahnya.
Bukan itu yang penting untuk dilakukan. Mengobati dan mencari solusi adalah pendekatan yang bijak. Di saat telah lelah mencari si 'pemanah', aku mulai memahami. Tidak ada yang dapat disalahkan dalam kehidupan ini.
Demikianlah baru aku dapat memahami secara langsung kalimat "kehidupan adalah jalannya". Kebahagiaan dan penderitaan akan membawa pada 'kebijaksanaan'.
Semua hal timbul dan tenggelam (anicca). Apapun yang terbentuk dikarenakan kondisi. Tak ada 'Aku' dalam diri tiap orang (anatta). 'Sosok' yang satu tak dapat dibandingkan dengan 'sosok' lainnya. Demikian juga tak dapat disalahkan.
Ada berbagai kondisi berbeda yang membentuk tiap 'orang'. Dengan memahami hal ini, barulah aku mulai mengerti bagaimana agar aku tidak menghakimi diriku dan juga orang lain.
Akhirnya... Aku dapat mencintai diriku apa adanya. Akupun dapat menerima lainnya.
Seringkali kita mendengarkan saran dari sang bijak, jauhilah teman-teman yang memberikan pengaruh negatif. Sebuah hubungan yang disebut dengan Toxic Relationship.
Tapi, Toxic Relationship yang aku alami bukanlah dengan siapa-siapa, melainkan dengan orang ini, alias diriku sendiri. Dengan menyadari ini, aku mengerti bahwa diri sendiri bisa menjadi sahabat terbaik dan sekaligus musuh terkejam. Tinggal mana yang harus dipilih.
"Kehidupan adalah jalannya. Hal menyenangkan dan tidak menyenangkan dapat membawa kita pada jalan tersebut. Mindfulness adalah perahu untuk menyeberangi penderitaan."
**
Jakarta, 14 Februari 2022