Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dari 100 Kekhwatiran, Berapa Banyak yang Kejadian?

8 Februari 2022   05:17 Diperbarui: 8 Februari 2022   05:30 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dari 100 Kekhwatiran, Berapa Banyak yang Kejadian? (incmagazine.com)

Pandemi covid 19 mengejutkan seisi dunia. Segala aktivitas mendadak harus berhenti, bagai rem yang diinjak kuat-kuat.

Tidak terkecuali proses mengajar dan belajar di sekolah. Cara belajar yang sudah berjalan lintas generasi tidak bisa diteruskan lagi karena risakan Covid.

Saat itu terjadi, kekhwatiran pun datang melanda. Apakah anak-anak bisa mengikuti? Bagaimana ujiannya nanti? Apakah nilainya akan berkurang?

Beruntung, kemajuan teknologi masih memungkinkan guru dan murid bisa bertemu. Walau hanya di dunia maya. Sudah pasti awalnya serba canggung. Ada rasa aneh dan terasing dengan cara pembelajaran baru ini.

Tidak ada kehadiran fisik antara guru dan muridnya. Bila sambungan internet terputus, kelas pun bisa bubar seketika tanpa kabar.

Seiring berjalannya waktu, murid sudah mulai beradaptasi dan menerima cara pembelajaran ini. Ternyata banyak juga ditemukan sisi positifnya. Misalnya waktu berkumpul dengan keluarga bisa lebih banyak, walaupun tugas yang diberikan semakin banyak.

Bangun kesiangan? No worry. Hanya butuh waktu lima menit untuk ganti seragam. Tanpa mandi pagi pun murid siap bertemu dengan guru dan teman.

Di sisi lain, kehadiran secara virtual membawa dampak negatif. Dimana lama kelamaan timbul rasa kangen yang membuncah di hati. Lebih dari tiga puluh bulan purnama murid tidak pernah bertemu langsung guru dan teman.

Selalu memantau berita menunggu kapan dapat kembali ke sekolah. Akhirnya, hari yang ditunggu pun tiba. Setelah program vaksin dilakukan, murid dapat kembali ke sekolah.

Tapi, kekhwatiran kembali melanda. Apakah masih aman jika sudah divaksin? Bagaimana dengan varian Omicron? Apakah anak-anak bisa bangun pagi?

**

Suara musik tempo cepat dan energik dari handphone berkumandang memecah kesunyian pagi. Masih pukul lima, alarm yang diset sebelumnya memanggil-manggil.

Tidak sedikit pun anak saya terusik dalam tidurnya yang damai. "Nanda, bangun. Hari ini sekolah tatap muka. Nanda, bangun, sudah siang," panggil saya berkali-kali sambil menepuk tangannya. Butuh perjuangan cukup lama sampai si sulung bisa bangun dari tempat tidurnya.

Inilah momen baru, si sulung kembali ke rutinitas semula sebelum pandemi. Bangun harus lebih awal satu jam dari biasanya. Mandi dan sarapan sebelum pergi ke sekolah. Berangkat lebih awal untuk mengantisipasi kemacetan yang mungkin terjadi.

Pagi itu si sulung berangkat ke sekolah dengan antusias bercampur rasa kantuk. Usai sudah penantian. Sekarang bisa bertemu kembali dengan guru-guru dan teman-temannya.

Perjalanan pagi relatif lancar karena belum banyak yang beraktivitas. Kami pun tiba di sekolah yang terletak di daerah Menteng. Terlihat anak-anak bermasker sudah berbaris tertib di dekat pintu sekolah.

Mengikuti prokes, semua yang akan masuk kelas harus melakukan scan pada aplikasi Peduli Lindungi. Si sulung antri menunggu giliran. Tidak lama kemudian masuk ke dalam pintu sekolah dan akhirnya menghilang dari pandangan saya diantara teman-temannya. Pembelajaran tatap muka babak baru pun segera dimulai.

Tapi, kekhwatiran masih mendera...

Pandemi covid 19 mengejutkan seisi dunia. Segala aktivitas mendadak harus berhenti bagai rem yang diinjak kuat-kuat.

Saya kembali mengenang kejadian dua tahun lalu. Kemarahan dan kekhwatiran memang terjadi. Takut ada apa-apanya. Takut terkena penyakit, khwatir tentang dunia usaha.

Lantas pikiran negatif pun merasuki. Berkembang biak menjadi ketakutan yang terasa masuk akal. Susah ditolak, sebab dengan semua perkembangan yang ada, skenario terburuk pun bisa kejadian.

Sekarang sudah tidak ada lagi. Vaksin dan new normal telah mampu membuat manusia beradaptasi. Apa yang dulu ditakutkan sekarang sudah menjadi hal yang sering dilakukan.

Apakah dengan demikian kekhwatiran dan ketakutan saya hilang seketika? Tidak sobat, tetap saja fenomena itu akan muncul tenggelam.

Bukan karena Omicron dan segala keturunannya. Tapi, atas semua hal yang terpikirkan. Tentang pekerjaan, tentang keluarga, tentang teman, tentang semua-semuanya.

Melihat fenomena ini, saya jadi teringat dengan sebuah Dhammadesana dari YM. Bhikkhu Uttama Mahathera. Beliau berkata begini;

"Dari seratus kekhwatiran, mungkin yang jadi kenyataannya hanya satu. Kalaupun itu benar terjadi, maka pengalaman Anda pasti mampu menanganinya."

Benar juga. Apa yang kita khwatirkan adalah masa depan. Padahal hidup kita berada di zaman sekarang. Kita bukanlah ahli ramal yang bisa memastikannya. Lagipula, tidak ada ahli ramal yang benar-benar kondang. Semuanya hanya berdasarkan prediksi yang belum tentu terjadi.

Jadi, untuk apa kita khwatir. Tenangkan pikiran dan berfokus pada keadaan saat ini. Karena apa yang kita lakukan sekarang adalah penyebab dari apa yang akan terjadi nanti.

Seyogyanya, kekhwatiran hanyalah sampah batin. Jika hal tersebut muncul, maka ambillah sapu dan segera bersihkan.

Niscaya atap pikiran kita, lantai perasaan kita, dan rumah batin kita akan bersih dari segala noda kegelapan yang menghantui.

Semoga bermanfaat

Semoga Seluruh Mahluk Hidup Berbahagia.

**

Jakarta, 08 Februari 2022

Penulis: Joe Hoey Beng untuk Grup Penulis Mettasik

dokumen pribadi
dokumen pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun