Saya mendengarkannya dengan seksama. Tidak melibatkan diriku dalam keberpihakan, tidak merasakan, tidak terlibat dalam luapan cacian dari sang sahabat. (anatta).
Semuanya terdengar sebagai informasi, dan bukan makian. Batinku telah berhasil mencapai tahap keseimbangan (upekkha). Melihat apa adanya dan sebagaimana adanya.
"Orang yg menyerang adalah guru yang sedang menyamar", seperti inilah kira-kira yang saya pikirkan.
Setelah dia puas dengan makian dan segala curahan hati tentang masalah-masalah pribadinya, tibalah giliran saya untuk berbicara.
Di seberang sana, ia mungkin sudah siap dengan pertahanan setelah selesai menyerang. Namun, saya berbicara sabar, menasehatinya tentang "karma dan kemelekatan." Mumpung ada kesempatan.
Anehnya, sahabat saya ini tidak membantah sama sekali. Ia tetap diam dan tidak segarang yang aku pikirkan akan terjadi. Sayangnya, saat itu hanya melalui telepon sehingga saya tidak bisa melihat raut wajah dan bahasa tubuhnya.
Tapi, saya tetap mengharapkan yang terbaik. Semoga "celotehan" saya ini dapat ditangkap oleh pikirannya dan masuk ke dalam batinnya. Harapan yang tulus tentunya saya panjatkan.
Namun, memang batin tidak mudah berubah. Perlu waktu dan proses, sebagaimana ia melanjutkan memproses kasusku ke Polres setempat. Baginya itu adalah sebuah "Keharusan".
Saya "harus" dihukum, saya "harus" tobat, saya "harus" menderita, dan "harus-harus" lainnya.
Saya menjalaninya dengan tenang. Tidak ada perlawanan. Tapi, laporan sahabat saya memang tidak memiliki alibi yang kuat untuk membuatku "harus" yang sesuai versinya.
Akhirnya, mediasi pun tercapai. Secara damai. Dan kasus ditutup tanpa "keharusan" yang berarti. Namun, rasa kasihanku masih berlanjut, memikirkan kenyataan bagaimana sebuah batin dapat begitu menderita hanya karena ingin mempertahankan egonya saja.