Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

"Kemelekatan" Membawa Penyesalan dan juga Kebahagiaan

13 Januari 2022   11:08 Diperbarui: 13 Januari 2022   11:31 1354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ternyata saya baru menyadari kalau diriku masih terlalu melekat pada sosok AKU yang dulu. AKU yang Powerful, AKU yang selalu bekerja dengan target tinggi dan perencanaan ke depan. Pengalaman lama bekerja di satu perusahaan swasta besar yang telah melahirkan AKU.

Saat ini saya sudah pensiun. Saatnya menjadi diriku yang harus sadar dan hidup pada SAAT INI dan SEKARANG.

Namun, pengalaman dengan anakku membuat diriku menjadi orang yang berbeda. Menjadi AKU yang dulunya pernah berjaya.

Biasanya ada saat -saat di malam hari sebelum tidur, kami duduk berbincang-bincang santai. Anakku bercerita tentang kerjaan, anak buah serta atasannya. Pada momen-momen seperti ini, diriku sudah terbiasa menjadi pendengar. Sesekali memberikan saran atas apa yang kuketahui. Tidak lebih dari itu.

Kebetulan anakku baru saja pindah ke perusahaan baru. Masih dalam tahap penjajakan, atau penyesuaian istilah anak-anak muda sekarang.

Tapi, entah kenapa, percakapan pada hari itu membuat diriku tidak lagi menjadi diriku. Ia telah berubah menjadi seperti AKU yang dulu. Penuh ambisi dan menggebu-gebu.

Padahal, anakku hanya berbicara santai dan tidak bermaksud menjadikan pembicaraan tersebut sebagai sesuatu yang serius.

Ia berkisah tentang rencana bisnis dengan seorang teman baiknya. Masih dalam rencana dan tahapan awal. Tapi, bagi diriku itu adalah "mengambang."

Sebenarnya, rencana ini telah lama saya ketahui. Anakku telah lama membicarakannya. Telah lama, tapi bagiku terlalu lama. Entahlah.

AKU pun mulai greget. Rencana tersebut sangatlah brilian. Memberikan prospek yang bagus dan kebebasan waktu. Sayangnya, AKU yang muncul adalah AKU yang menilai: Rencana sudah ada, eksekusinya terlalu lambat!

Jadilah AKU yang menilai menjadi AKU yang menuduh;

"Kamu lamban, pasrah, hanya menunggu, kurang proaktif," dan sederetan kata-kata yang dulunya sering kulontarkan kepada bawahanku. Sudah lama tidak terucap, namun kini mengalir deras.

Bagiku, itu adalah hal yang sangat rasional. AKU yang dulu adalah AKU yang kompetitif. AKU yang dulu adalah AKU yang cepat, tidak lamban.

AKU yang dulu pun muncul kembali. Dengan sikap yang DOMINAN ditambah dengan RASA CINTA yang melekat.

Kekhwatiran menggebu tentang kesempatan yang hilang plus ketakutan terhadap sikap masa bodoh anakku. Membuatku lupa satu hal yang penting: Anakku sudah dewasa!

Nada tegas menyeruak deras, tuntutan untuk bergerak cepat, dan pemaksaan kehendak sesuai dengan keinginan AKU yang dulu.

Suara keras terasa panas. Desakan demi desakan, seolah-olah yang dihadapi adalah orang yang sakit keras. Perlu tindakan yang cepat dan tegas.

Hingga saya pun tersadar. Anakku tidak meminta saran, ia hanya ingin berbagi. Sekadar sharing.

Wajah anakku berubah. Ia tidak senang. Merasa tertekan dan kurang nyaman. Barulah diriku sadar sebelum AKU bertindak lebih jauh.

Nada bicara dikembalikan senormal mungkin, tapi terlambat! Hati anakku sudah terluka. Akhirnya perbincangan pada malam hari itu ditutup dengan sekadar basa-basi. Hambar rasanya.

Hari pun sudah larut, kami kembali ke kamar masing-masing dengan membawa ribuan perasaan yang berkecamuk.

Di dalam kamar, diriku merenung dan sangat menyesal. Kata-kata telah dilontarkan, memberikan hasil yang tidak menyenangkan. Tidak sesuai dengan tekadku untuk menghilangkan AKU, yang telah aku pelajari dari hasil "retreat meditasi."

Diriku telah banyak melakukan perubahan. Mengurangi kebiasaan bergadget, melepaskan keriangan yang tidak perlu. Tapi, AKU masih saja tetap muncul tanpa diundang.

Kecewa, penyesalan, sedih, bercampur menjadi satu.

Untungnya, tidak sempat berlarut. Ternyata usaha yang kulakukan tidak berarti nihil. Diriku baru tersadar, jika kesadaran yang kulatih selama ini melalui meditasi-lah yang telah meredakan AKU. Dan cukup cepat. Tidak ada kata terlambat, karena masih ada kata "Maaf."

Bukan penyesalan diri, karena itu hanya akan menimbulkan Shankara Buruk yang baru.

Malam itu juga, saya mengirimkan pesan singkat. Meminta maaf kepadanya. Disertai sebuah tekad dalam hati, besok pagi diriku akan memeluknya erat. Kembali meminta maaf dengan hati yang tulus.

Malam itu, saya pun tertidur dengan perasaan damai dan tentram.

**

Keesokan paginya, diriku membaca sebuah balasan pesan dari anakku.

"Ma, kadang orang cerita itu gak mau dikasih wejangan, Cuma mau didengerin, terus jangan memaksa, terlihat mama dominan banget dan aku gak enak denger nya, semoga mama ngerti."

Agak terkejut, tapi akhirnya bersyukur. Dengan permintaan maafku, anakku akhirnya berani mengeluarkan uneg-unegnya. Perasaan tidak happy-nya ia keluarkan dan tidak menjadi sampah dalam pikiran.

Diriku membayangkan, bagaimana jadinya jika penyesalan diri tidak disertai permintaan maaf. Urusannya mungkin tidak lagi sepele. Ketidak bahagiaan bagiku dan anakku.

Pelukan pun kuberikan pada pagi hari itu. Meyertai kata maaf yang kedua kalinya. Kali ini keluar dari mulutku.

Aku yakin ia telah menjadi lembut. Dan berharap mamanya dapat memberikan contoh yang baik. Bahwa kata Maaf tidak memandang senioritas, posisi, atau pun jabatan.

Siapapun seharusnya bisa melihat permintaan maaf sebagai sesuatu yang sakral.

Dada terasa plong. Menyadari jika kemelekatan terhadap AKU di masa lalu masih belum benar-benar hilang. Ia bisa bermanifestasi dalam bentuk apa pun. Termasuk perasaan cinta yang mendalam.

Bila diekspresikan tanpa pemikiran yang bijak, ia hanya akan membuat orang lain terluka. Terlebih orang-orang terdekat yang kita sayangi.

"Ratiya Jayati soko, Ratiya jayati bhayam. Ratiya vippamuttlassa, natthi soko kuto bhayam"

Dari kemelekatan timbul kesedihan, dari kemelekatan timbul ketakutan; bagi orang yang telah bebas dari kemelakatan, tiada lagi kesedihan maupun ketakutan. (Dhammapada, Piya Vagga, syair 214)

**

Jakarta, 13 Januari 2022

Penulis: Tjio Jolanda S.  untuk Grup Penulis Mettasik

dokumen pribadi
dokumen pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun