Jadilah AKU yang menilai menjadi AKU yang menuduh;
"Kamu lamban, pasrah, hanya menunggu, kurang proaktif,"Â dan sederetan kata-kata yang dulunya sering kulontarkan kepada bawahanku. Sudah lama tidak terucap, namun kini mengalir deras.
Bagiku, itu adalah hal yang sangat rasional. AKU yang dulu adalah AKU yang kompetitif. AKU yang dulu adalah AKU yang cepat, tidak lamban.
AKU yang dulu pun muncul kembali. Dengan sikap yang DOMINAN ditambah dengan RASA CINTA yang melekat.
Kekhwatiran menggebu tentang kesempatan yang hilang plus ketakutan terhadap sikap masa bodoh anakku. Membuatku lupa satu hal yang penting: Anakku sudah dewasa!
Nada tegas menyeruak deras, tuntutan untuk bergerak cepat, dan pemaksaan kehendak sesuai dengan keinginan AKU yang dulu.
Suara keras terasa panas. Desakan demi desakan, seolah-olah yang dihadapi adalah orang yang sakit keras. Perlu tindakan yang cepat dan tegas.
Hingga saya pun tersadar. Anakku tidak meminta saran, ia hanya ingin berbagi. Sekadar sharing.
Wajah anakku berubah. Ia tidak senang. Merasa tertekan dan kurang nyaman. Barulah diriku sadar sebelum AKU bertindak lebih jauh.
Nada bicara dikembalikan senormal mungkin, tapi terlambat! Hati anakku sudah terluka. Akhirnya perbincangan pada malam hari itu ditutup dengan sekadar basa-basi. Hambar rasanya.
Hari pun sudah larut, kami kembali ke kamar masing-masing dengan membawa ribuan perasaan yang berkecamuk.