Suatu hari seorang mahasiswi datang ditemani orang tuanya, seorang bapak berusia sekitar setengah abad. Sang mahasiswi bercerita sambil menangis dan mengadukan perilaku seorang dosennya kepada saya.
Sang mahasiswi tidak menerima perlakuan dosennya, yang katanya telah bertindak kasar. Ceritanya, sang dosen menerima tugas sembari marah-marah. Ditambah juga dengan nada bentakan yang keras.
Menanggapi kasus ini, tentunya saya tidak boleh gegabah. Saya harus mampu menyikapinya dengan bijak. Ada dua hal yang kemudian terlintas di dalam benakku.
Yang pertama adalah meluruskan kesalahpahaman yang terjadi terkait aduan, sekaligus menetralisir hubungan sang mahasiswi dengan dosennya
Yang kedua adalah membantu sang mahasiswi untuk melihat dunia yang lebih luas. Dunia yang mungkin belum ia sadari: Dunia Tanpa Aku.
Seyogyanya para mahasiswa tidak hanya dibekali dengan pengetahuan akademik semata. Sebisanya, sebuah institusi pendidikan diharapkan juga mampu untuk mengajarkan hal-hal yang tidak tertera pada buku teks.
Termasuk apa yang akan saya sampaikan kepada sang mahasiswi, terkait "Konsep Tanpa Aku."
Saya berharap agar konsep ini dapat membantunya untuk menghadapi masa depan dengan lebih tenang. Bisa mengendalikan stres, memiliki emosi yang lebih terkendali, dan berhati luas. Sebabnya, kehidupan tidak seindah yang mungkin sedang ia bayangkan.
Saya lantas menanyakan alasan perilaku kasar sang dosen. Menurut mahasiswi tersebut, itu akibat ia terlambat mengumpulkan tugasnya.
"Terus?" Saya menanyakannya kembali sembari menatap matanya. Berharap kejujuran.
Sang mahasiswi tampak canggung, dan menjawab perlahan, "saya sudah menjelaskan alasannya kok, pak. bla, bla, bla..."