Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pikiran Hanya Ada Dua, Baik dan Buruk Saja, Benarkah?

17 Desember 2021   04:42 Diperbarui: 17 Desember 2021   05:04 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pikiran itu memang aneh. Terkadang kita merasa bahagia, hidup ini menyenangkan. Terkadang juga kita merasa lelah, penuh perjuangan. Semua itu datang silih berganti tergantung pada keadaan. 

Kita inginnya selalu berpikir yang baik-baik saja, tidak ingin yang buruk-buruk agar hidup ini bahagia. Tapi sulit, perlu perjuangan yang keras.

Kadang, kita ingin merasakan kedamaian, tapi masalah yang datang silih berganti, tidak mau berdamai.

Mungkin karena memang otak ini tidak didesain untuk beristirahat, sehingga diri selalu merasa berkecamuk di tengah ombak pikiran.

**

Begitu pula dengan penulis. Disaat bangun tidur, yang kuingat pertama kali adalah ini hari apa? Kegiatan apa yang harus dilakukan? Apakah bekerja atau sekarang hari libur?

Pada saat itulah, pikiran sudah mulai bekerja, bermacam-macam rupanya. Meskipun penulis selalu mengingat satu perpatah;

"Awalilah pagi harimu dengan pikiran yang indah, niscaya harimu akan jadi indah juga."

Artinya, hindari yang buruk karena nanti sepanjang hari bisa marah atau murung saja.

Jadi, kalau mau dibuat simpel, pikiran itu sebenarnya hanya dua jenis. Baik dan Buruk. Sayangnya, pikiran itu terlalu kompleks untuk disederhanakan. Kita pun terkadang tidak tahu yang mana yang baik dan buruk. Semuanya berbaur bak es campur.

**

Aktivitas yang penulis laksanakan setiap hari sangatlah padat, bahkan waktu terasa kurang. Andaikan bisa, rasanya 24 jam ingin ditambah, walaupun itu tidak mungkin terjadi.

Pagi hari menjelang, interaksi pertama dilakukan bersama dengan anggota keluarga. Sarapan pagi dan bersiap-siap untuk melakukan aktivitas keseharian.

Jika tidak terlalu terburu-buru, canda tawa kadang terselingi. Tapi, kadang juga pembicaraan mengarah ke hal yang lebih serius. Apakah tentang nilai ujian anak, atau rencana-rencana masa depan.

Apapun itu, pikiran akan terbagi dua. Baik dan buruk.

Dalam perjalanan berangkat kerja, penulis pun bertemu dengan banyak orang di tengah jalan. Ada yang kebut-kebutan, ada yang lamban, dan ada yang sedang-sedang saja mengendarai kendaraannya.

Setiap orang punya alasannya masing-masing. Yang lamban bisa saja karena manajemen waktunya baik, atau memang tidak terburu-buru saja. Yang cepat mungkin akibat ada urusan, atau memang sifatnya yang ugal-ugalan.

Lucu menyadari fakta, bahwa tindakan yang dilakukan orang lain dapat mempengaruhi pikiran kita. Padahal, diri hanya sedang mengemudi saja.

Yang lamban diklaksonin, yang buru-buru dimaki, yang wajar-wajar saja, tidak dipuji.

Dengan melihat kejadian-kejadian yang ada dalam perjalanan menuju tempat kerja, sesungguhnya pikiran penulis sudah "bekerja." Ia memberikan respon baik atau buruk terhadap hal-hal yang dilihat dalam perjalanan.

Sederhanakan lagi, apapun itu, pikiran hanya akan terbagi dua. Baik dan Buruk.

Sesampainya dikantor, pekerjaan serasa semakin berat. Dihadapkan dengan masalah serius dan jenis orang yang berbeda..

Ditempat kerja, kita dituntut untuk bekerja dengan cepat dan penuh konsentrasi, ada batas waktu (deadline) yang ditetapkan untuk menyelesaikan pekerjaan, sehingga pikiran ini benar-benar lelah.

Belum lagi menghadapi sikap dan perilaku teman-teman kerja yang berbeda-beda. Ada yang galak, ada yang tidak mau bekerjasama, ada yang sok pintar, dan juga ada yang sangat pintar.

Namun, tetap saja. Pikiran hanya memberikan respon baik atau buruk. Hanya dua jenis saja.

Pun halnya dengan atasan. Jika ia marah-marah, mudah dimaklumi. Beban kerjanya berat, lebih sulit ditangani. Terkadang emosi tersulut, itu sudah biasa. Tidak perlulah bereaksi secara berlebihan.

Tapi, kepada seseorang yang tidak memberikan kontribusi, lantas juga "sok marah-marah," maka pikiran kita tentu akan memberikan respon yang berbeda. Ingin marah rasanya, padahal tadinya tenang saja.

Cara kerja pikiran pun sama, memberikan respon yang baik atau buruk.

Tibalah petang menjelang. Tanpa terasa penulis sudah berada di rumah. Interaksi yang sangat padat sepanjang hari membuat pikiran bak "sisa-sisa perang." Bukan lagi es campur, tapi sudah jadi blender duren campur antigen.

Namun, tetap menjaga pikiran, bahwa ada yang baik dan buruk. Anak-anak bisa nakal, tapi kesabaran harus dituntut.

Seperti kata Andrie Wongso (Motivator No.1 Indonesia), "Lebih baik rumah kacau balau dengan keceriaan anak-anak, daripada sunyi senyap, tanpa keceriaan."

Namun, kutipan Andrie Wongso ini belum terasa cukup. Bagi penulis, pikiran itu berasal dari dalam. Dari diri sendiri.

Meditasi biasanya penulis lakukan. Berkonsentrasi kepada aliran nafas masuk dan keluar selama 15 menit. Awalnya, masih sulit terbentuk. Sebabnya sisa-sisa kejadian pada hari itu masih melekat kuat.

Namun, pikiran yang mengembara jangan dibiarkan. Objek pernafasan adalah perhatian. Kembali lagi kepada aliran nafas keluar masuk. Merasakan fenomenanya.

Sehingga bila pikiran terpusat pada napas, maka kita hanya berfokus pada masa sekarang - masa pada saat kita sedang bermeditasi.

Tidak ada lagi kejadian lalu yang kacau, atau masa depan yang menjanjikan. Semuanya nyata, apa adanya, saat sekarang.

Jika kita sering berlatih, maka tidak ada lagi pikiran baik atau buruk. Kebahagiaan itu karena melihat segala sesuatu apa adanya.

Yang indah tidak akan selamanya di sana, yang buruk hanyalah persepsi. Yang baik belum tentu benar, yang jahat adalah kenyataan. Terimalah setiap kondisi apa adanya sebagaimana sebuah fenomena alam.

Dengan demikian, tidak ada lagi baik atau buruk. Pikiran kita akan semakin tajam untuk melihat dunia dengan segala bentuk aslinya.

Tibalah kebahagiaan. Karena sesungguhnya ia adalah fenomena yang terjadi. Jauhilah keburukan. Karena itu hanyalah masalah persepsi batin saja.

Mulailah dari mencintai diri sendiri. Karena itu berharga. "Semoga saya selalu berbahagia."

Lanjutkanlah dengan mencintai semua orang. Yang kita temui hari ini, yang sudah lama tidak dijumpai. Yang kita sayangi, maupun yang kita benci. "Semoga semua manusia berbahagia."

Teruskan dengan mencintai semua situasi, semua kondisi. Baik yang mengenakkan maupun yang kurang nyaman. "Semoga semua mahluk berbahagia."  

Jika kita sudah terlatih dengan pikiran untuk mencintai (Bahasa pali: Mettabhavana), maka tidak ada lagi yang buruk atau baik. Karena pada dasarnya, semua hal yang terkondisi adalah kenyataan yang sebenarnya. Tidak perlu dihakimi.

Jadi, proses ini bukan untuk mencari kebahagiaan, bukan pula untuk membuang kebencian. Namun, untuk tetap tenang dalam menjalani kehidupan.

Niscaya, tenaga dan pikiran yang sudah amburadul, akan kembali tertata. Sehingga waktu kita dengan keluarga akan kembali berkualitas. Tidur pun pulas, dan bangun dengan pikiran yang bagus-bagus saja.

Kebahagiaan itu penting, karena dengan bahagia, pikiran akan tenang, pikiran yang tenang  akan menimbulkan konsentrasi atau fokus pada hal-hal yang baik, karena itu mari..... jangan lupa bahagia!.

**

Jakarta, 17 Desember 2021

Penulis : Agus, S.E., M.M. untuk Grup Penulis Mettasik

dokumen pribadi
dokumen pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun