Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Hari Pertama yang Galau

16 Desember 2021   04:59 Diperbarui: 16 Desember 2021   05:11 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Betapa kagetnya Gala melihat kumpulan manusia berhimpitan di dalam halte. Dia tidak menyangka jika harus berkompetisi dengan para pemilik wajah asli kota Jakarta di hari itu.

Titik awal adalah momen paling mendebarkan, rasanya semua perasaan sedang berpesta di dalam diri Gala. Ada si senang, abang seru, hadir pula si adik khawatir, belum lagi Om takut. Lengkap dah, serasa kondangan.

Ini hari pertama Gala memasuki kehidupan kuliah. Ini kali pertama dia harus naik transjakarta, membelah ibukota menyusuri kisah baru. Jarak tempuh ke sekolah menengah dekat rumahnya sekarang sisa kenangan. Tiada lagi sekadar menyeberangi jalan atau hanya naik angkot. 

Keringat keluar, rasa cemas dan panasnya hawa di halte bikin Gala berkeringat. Nalurinya berontak, nuraninya terusik, sanubarinya berbisik;

"Gimana kalo hari pertama telat?"
"Boleh masuk apa engak nih?"
"Apa kata dosen dan temen-temen?"
"Dosen kampus kan pada killer, hari pertama udah indisipliner"

Semua kekalutan dan kekhawatiran bekerja sama, ngetuk-ngetuk pikiran, ngaduk-ngaduk perut, dan ngacak-ngacak perasaan.

Ini hari pertama lho Gala, momen yang mustinya jadi pengalaman yang seru, harusnya asik. Tapi, gara-gara telat, semua itu buyar berganti cemas dan khawatir.

Pasrah, Gala mengantri di antrian bus yang akan menuju kampusnya.

Tepat jam 8 pagi, bus berhenti di halte tujuan. Gala juga lupa kalau luas area universitas tidak sama dengan luas area SMA-nya dulu.

Turun dari angkutan umum, tiga menit jalan kaki, barulah sampai pintu kampus. Dan itu belum berakhir. Gala harus menyusuri lorong kampus yang panjang, menaiki tangga yang berjenjang, menyusuri aula yang menjulang.

Berjalan cepat tanpa menghiraukan mahasiswa lain. Tiada satu pun yang menarik perhatiannya. Termasuk gadis cantik yang seharusnya dilirik. Hanya satu dalam pikiran Gala, duduk aman dan tenang di dalam ruang kuliahan.

Tiba di depan kelas, Gala memastikannya tidak salah. Pelan-pelan, Gala melongok melalui jendela kecil yang ada di pintu. Memastikan isinya adalah teman-teman yang sudah dikenalnya dari orientasi kemarin.

Benar! Teman-temannya sudah duduk memerhatikan dosen, kelas sudah mulai, dosen sudah berdiri di depan kelas menjelaskan sesuatu yang tentunya tidak bisa Gala dengar.

Gala menatap teman-temannya, berharap mendapat informasi. Bingung, galau, apa yang harus dilakukan, Gala nekad membuka pintu kelas

"DUG! KAN! Dikonciin kan kalo telat!" Gala membatin dalam hati.

Gala mencoba lagi. Pintu didorong untuk kali kedua. Hasilnya serupa. "Gak bisa dibuka!"

Gala terhenyak, dari dalam ruangan ia bisa mendengarkan suara tawa meledak. Bak bunyi piring pecah yang belingnya membuat wajah terkoyak. Sakitnya tuh disini!

Menyesal, Merenung, Mengutuk dirinya sendiri. Kenapa bisa sampai terlambat. Akhirnya Gala menyerah. Kantin pun akan ia jadikan tempat persinggahan hatinya yang sedang sedih.

Gelak tawa yang barusan dia dengarkan masih terngiang di telinganya. Bagi Gala dunia universitas lebih kejam dari ibu kota. Dikunciin, diketawain, dibullying pula. Ah, sedih.

Baru saja ingin melangkahkan kakinya, dosen lelaki muda membuka pintu. Sambil tetawa ia berkata, "pintunya ditarik kok, bukan didorong."

Seketika perasaan sedih berubah lega. Tawa teman-teman kelas semakin membahana, tapi tidak lagi kedengaran menyakitkan. Lebih mirip sambutan hangat.

Pada detik itu, Gala langsung menyadari jika semua kekhwatirannya 20 menit yang lalu hanyalah semu. Ia cemas menjadi korban di hari pertama. Ia khwatir bakal jadi bahan ledekan. Hari pertamanya sudah dibayangkan berantakan.

Namun, semuanya semu. Pada hari itu ia justru berhasil menghibur seisi kelas. Bonusnya, Gala akan selalu diingat sebagai badut pemecah suasana kelas.

Gala bahagia, keterlambatannya membawa berkah. Bikin orang lain juga bergembira.

**

Kisah Gala ini memang fiksi buatan penulis. Tapi, bukankah diri kita juga begitu? Kelewat cemas, khwatir, padahal kenyatannya berbeda. Dua puluh menit yang lalu tidak sama dengan sekarang.

Jadi, untuk apa menerawang. Badannya di sini pikirannya mengawang. Hidupnya sekarang ketakutannya sudah mendatang. Cape deh.

Akan tetapi, bukan juga berarti kita harus cuek dan abai. Waspada itu tetap harus ada. Caranya adalah sadar dengan apa yang sedang kita lakukan sekarang.

Bukan menyesal gegara hal yang sudah lewat, bukan pula khwatir dengan masa yang belum tentu datang melawat. Jangan sampai jika waktunya tiba, kita akan kehilangan kesempatan karena salah buka pintu.

**

Jakarta, 16 Desember 2021

Penulis: Uya untuk Grup Penulis Mettasik

dokumen pribadi
dokumen pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun