Apakah penyelamat dunia seperti Spiderman, Superman, Wonderwoman hanya ada di dunia fiksi? Hanya sebatas superhero anak-anak? Â Ternyata saya salah. Saat bertandang di kantin sekolah, terpampang kalimat "Saya Penyelamat Dunia" di pintu masuk.
Saya tergelitik untuk mengulik cara menyelamatkan dunia ala saya. Ingin rasanya mendapatkan julukan superhero juga. Mantap. Bagaimana caranya? Paling tidak untuk diri sendiri, pasangan, anak dan ayah ibu yang sudah membawa kita ke dunia ini.
Berbuat baik. Ungkapan klise. Mengapa?
Karena setiap orang mengatakan hal yang sama. Itu hanya kalimat manis sang bibir. Teori. Â Faktanya, tidak mudah untuk berbuat baik. Manusia memiliki bakat terpendam berbuat jahat (baca: tidak sesuai norma).
Contoh yang kerap terjadi di lingkungan kerja. Jam kerja adalah pukul 08.00 pagi. Namun sebagian karyawan malah memulai kegiatan dengan bersarapan. Beragam alasannya tidak sempat makan di rumah. Jalanan macet, bla... bla...bla...
Karyawan kuliahan, lain lagi ceritanya. Disela-sela jam kantor, ia terlihat asyik mengerjakan tugas kuliah yang sudah ditagih dosen.
Semasa saya kecil dan sampai sekarang pun, Ayah sering memberikan advis. Tapi terkadang terjadi adu mulut. Seakan-akan, Ayahlah yang harus mendengarkan pendapat saya. Â
Pengendara mobil membuang sampah melalui jendela mobil. Buka kaca, tuk... kaleng soft drink menjadi penghuni jalanan. Menerobos lampu merah. Alih-alih jalanan sepi dan lengang.
Itu hanya sebagian dari bakat kita, karena tanpa belajar pun talenta tersebut muncul. Meskipun sudah dilarang, dan ada sanksinya. Sampai muncul istilah "Peraturan dibuat untuk dilanggar". Eeeh... kita dikendalikan oleh pandangan kita. Sering kita tidak bisa melihat kebenaran, melainkan hanya melihat apa yang kita ingin lihat dan ketahui.
Dapat dibayangkan seandainya perilaku tersebut tidak dipendam dan berhasil menguasai setiap individu di negara ini. Ngeri rasanya.
Sebaliknya, berbuat baik bukan bakat, tapi pilihan. Kalau tidak dididik, tidak diberi contoh, tidak ada teladan dari orang tua, orang dewasa, serta komunitas. Tentu perilaku baik seorang anak tidak akan muncul dengan sendirinya. Anak adalah copycat lingkungan dan dewasa. Mereka peniru ulung.
Menurut Psikolog Klinis Liza M Djaprie, idealnya rata-rata orang membutuhkan waktu 30 hari untuk membuat suatu hal menjadi kebiasaan. (Kompas.com). Tapi ada juga yang bereaksi cepat. Semakin intens dilakukan. Hasilnya terlihat nyata.
Dalam Sigalovada Sutta, tertulis keharmonisan dalam menjalankan hak dan kewajiban dalam berkehidupan. Sutta yang menjadi acuan saya sebagai insan dunia untuk berbuat baik. (Referensi)Â
Sigalovada Sutta merupakan khotbah Buddha Gautama terkait dengan etika di masyarakat yang bersumber dari adat istiadat, kebudayaan, dan ajaran kebenaran menurut ajaran agama. Menghormat kepada orang tua, guru, istri dan anak, teman, pelayan, buruh, pertapa dan brahmana.
Pilihan menu aplikasi dalam Sigalovada Sutta sudah komplit, tinggal diklik dan diimplementasikan sesuai selera.
Yang penting adalah bagaimana kita melakukannya. Berproses. Jika Anda sudah melakukan yang terbaik, penyesalan tidak punya kesempatan untuk berkompetisi. Hasil tidak akan mengkhianati tuannya.
Apakah Anda sudah mengambil bagian menjadi pemeran utama penyelamat dunia?
**
Jakarta, 11 Desember 2021
Penulis: Iing Felicia untuk Grup Penulis Mettasik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H