Tidak membunuh mahluk hidup sama dengan memberikan mereka kesempatan untuk hidup. Apakah ini tidak berlebihan?
Menurut saya tidak. Memang pemikiran ini tergolong idealisme tinggi (mungkin sedikit tidak masuk akal). Namun, ada yang namanya simbiosis mutualisme. Alam menciptakan manusia, hewan, tumbuhan, dan segala isinya sebagai bagian dari sebuah ekosistem universal.
Artinya, seburuk apa pun kecoak, ia tetap bermanfaat. Tahukah kamu jika kecoak adalah serangga yang mampu memproduksi antibiotik alami untuk membuat kita tahan dari berbagai jenis bakteri? Nah, ini salah satu contohnya.
Selain itu, tidak membunuh kecoak juga melatih diri agar tidak mudah marah dan emosi. Saya bisa membayangkan ekspresi mama. Takut, kesal, marah, bercampur menjadi satu. Kasihan mama, dia sudah tua, nanti bisa jatuh sakit.
Itulah yang mendasari diriku melarangnya tidak membunuh. Emosi negatif yang ia keluarkan akan sangat berpengaruh buruk terhadap tubuh, perasaan, dan pikirannya.
Jadi, sila pertama Buddhisme mengajarkan kita untuk melihat segala sesuatu dari dua sisi yang berbeda. Dalam hal ini, 1) tidak membunuh kecoak dan serangga lainnya adalah untuk menghormati kehidupan dan 2) melatih diri agar tidak mudah emosi.
Ini belum termasuk karma baik yang bisa kita panen. Siapa tahu dalam bentuk usia panjang. Saddhu, Saddhu, Saddhu.
Makanya mama lantas menerima nasehatku, setelah melalui penjelasan panjang kali lebar ini.
Sapu yang sedianya akan beliau gunakan untuk membunuh akhirnya tetap ada. Tidak jadi dipatahkan.
Menurutnya, sapu itu akan tetap ia pakai utuk membersihkan rumah. Sekaligus sebagai simbol untuk menjaga kebersihan hati dari emosi negatif.
Mulai saat itu, setiap kali ada kecoak, mama selalu bersuka cita. Sapu ia gunakan untuk menggiring kecoak keluar dari rumah.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!