Mohon tunggu...
Shafira Andini
Shafira Andini Mohon Tunggu... Lainnya - English Department, Faculty of Humanities Universitas Airlangga

Arlinda Muthia, arlinda.muthia.khairunnisa-2018@fib.unair.ac.id, NIM 121811233141 Meilia A. Sulistyo, meilia.ayu.sulistyo-2018@fib.unair.ac.id, NIM 121811233149 Hillda Avista, hillda.avista.praxisca-2018@fib.unair.ac.id, NIM 121811233150 Nadia Nafisa, nadia.nafisa.kristianto-2018@fib.unair.ac.id, NIM 121811233158 Shafira Andini, shafira-andini-2018@fib.unair.ac.id, NIM 121811233159 Moza Salsabiil T, moza.salsabiil.thaffaylia-2018@fib.unair.ac.id, NIM 121811233160

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Larangan Muslim Sementara sebagai Kebalikan dari Definisi "Melting Pot" serta Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat

1 Juli 2021   22:52 Diperbarui: 1 Juli 2021   23:05 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tahun 2017, tepatnya 27 Januari, Donald Trump menegakkan larangan perjalanan sementara yang kemudian memblokir tujuh negara untuk memasuki Amerika. Hal itu menghentikan warga negara dari Iran, Iraq, Libya, Somalia, Sudan, Suriah, dalam mendapatkan akses persetujuan untuk melakukan perjalanan ke Amerika, dan berlaku selama 90 hari. Larangan ini termasuk mereka yang memiliki kewarganegaraan ganda, seperti Inggris. Dalam hal ini, Trump mengklaim larangannya bukan "Larangan Muslim".

Larangan bepergian adalah 'sesuatu yang masuk akal' dan ini bekerja dengan sangat baik. "Anda melihatnya di Bandara, Anda melihatnya dimana-mana". Presiden AS menjadikan imigrasi masalah besar dalam pemilihannya. 

Hal-hal yang dia katakan tentang migran dan pengungsi membuatnya populer di kalangan pendukungnya. Dia mengatakan pada bulan Januari bahwa keputusannya untuk memperkenalkan larangan itu adalah bagian dari rencana untuk menjauhkan kelompok teroris radikal dari negara itu.

Menurut kami, kebijakan seperti ini sangat bertolak belakang dengan definisi Melting Pot itu sendiri.  Seperti yang kita tahu, bahwa metafora yang cocok untuk mendeskripsikan Amerika Serikat adalah Melting Pot. Sudah menjadi fakta umum bahwa Amerika sudah menjadi wadah untuk berbagai macam penduduk dengan perbedaan ras, agama, budaya, dan etnis. 

Melting Pot mendeskripsikan perbedaan latar belakang masyarakat Amerika Serikat. Menurut kami agama juga termasuk dari definisi Melting Pot yang turut mengambil peran dalam pembentukan kata atau definisi Melting Pot. Agama adalah kepercayaan suatu kaum terhadap Tuhan. Tentunya kepercayaan dan keyakinan manusia bukanlah hal yang bersikap satu. Maka dari itu, agama adalah suatu perbedaan yang wajib dihargai oleh setiap orang.

Walaupun Trump mengatakan bahwa larangan ini bukanlah "Muslim ban", tetapi tetap saja ini memengaruhi penurunan angka pengungsi dari mayoritas negara muslim dan jumlah visa yang dikeluarkan untuk warga negara dari negara-negara mayoritas Muslim -- termasuk warga negara dari negara-negara yang tidak dilarang juga telah menurun. Tentu saja menurut sekelompok orang yang merasakan akibat dari larangan ini merasakan suatu ketidakadilan yang sangat merugikan. Tidak sedikit penduduk muslim di Amerika Serikat yang terpisah dengan sanak keluarga bahkan ada pun yang kehilangan orang tersayang.

Kebijakan kontroversial Trump yang secara khusus menargetkan Muslim sebenarnya tidak akan membuat Amerika menjadi lebih aman. Dibanding mencari titik temu yang damai dari suatu kaum, Trump lebih memilih untuk mendiskriminasi suatu umat yang seakan-akan seperti mencari masalah dan memperumit kekuasaaan yang diinginkan. 

Alih-alih melakukan larangan, menurut kami dapat lebih efektif jika mereka memperkuat pada bidang keamanan. Dengan cara  mengidentifikasi dan melacak calon teroris sebagai bagian dari kebijakan keamanan nasional mereka. Mereka dapat secara teratur menggunakan profil rasial dalam pemeriksaan keamanan bandara.  Kenya, Belgia, dan Pakistan juga menggunakan profil untuk memantau dan menangkap orang-orang yang mereka anggap berisiko terlibat dalam terorisme.

Berdasarkan data yang kami peroleh dari GTD atau Basis Data Terorisme Global, di Amerika Serikat sendiri kelompok teroris supremasi kulit putih ekstrem bernama KKK atau Ku Klux Klan atau The Klan membunuh orang Amerika sepuluh kali lebih banyak daripada yang dilakukan oleh ekstrimis Muslim dalam serangan teroris yang dilakukan di Amerika Serikat di beberapa tahun terakhir. 

Hal ini membuktikan bahwa terorisme tidak termasuk dalam ajaran Islam dan justru merupakan musuh bagi semua agama. Oleh karena itu "Muslim ban" bukanlah solusi yang tepat dalam mengantisipasi tindakan terorisme di Amerika Serikat melainkan "Muslim ban" hanyalah bentuk realisasi dari Islamofobia Trump.

Sebelum Larangan Sementara terhadap Imigran Muslim, berdasarkan pernyataan Trump pada 7 Desember 2015, Donald J. Trump menyerukan penutupan total perihal Muslim memasuki Amerika Serikat sampai perwakilan Amerika Serikat dapat mengetahui apa yang sedang terjadi. Setelah Larangan Sementara terhadap Imigran Muslim, atau saat ini, berdasarkan Pidato Imigrasi pada 31 Agustus 2016, reformasi lain melibatkan tes penyaringan baru untuk semua pelamar yang mencakup sertifikasi ideologis untuk memastikan bahwa mereka yang diterima di negara mereka memiliki nilai-nilai yang sama dan mencintai rakyatnya.

Larangan muslim yang terjadi secara sementara ini bisa menjadi kebijakan imigrasi oleh Trump yang paling kontroversial. Trump beralih posisi pada waktu kampanye. Bulan Juni ia berkata bahwa pelarangan tersebut akan berlaku bukan berdasarkan agama namun berdasarkan wilayah geografis dengan tambahan hal tersebut hanya bisa dilakukan pada daerah yang berkaitan dengan "teror islam". Ia belum memberikan jawaban yang jelas terkait dengan bagaimana ia akan mengimplementasikan sistem pelarangan wilayah hingga perintahnya akan pelarangan muslim sementara tetap terpampang di situs web-nya. Fokus sekarang adalah untuk mencegah pengungsi Suriah memasuki wilayah negara.

Bagaimanapun juga, selain kebijakan ini tidak mencerminkan definisi melting pot, juga tidak mencerminkan tiga poin utama yang tertera pada deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat yang dideklarasikan pada 4 Juli 1776 yaitu; Life, Liberty, and The Pursuit of Happiness atau dengan arti kata lain hidup, kemerdekaan, dan usaha mencapai kebahagiaan. Tiga poin utama yang tertera pada deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat seharusnya merepresentasikan negara tersebut.

Seharusnya dengan berlakunya tiga poin penting ini sebagai landasan suatu negara, pengunjung atau imigran juga berhak merasakan dan mendapatkan hak yang sama. Hak mereka sebagai pengunjung ataupun imigran harus dijaga dan dilindungi apapun latar belakang agamanya. Karena dengan menggunakan istilah "Muslim Ban" atau larangan muslim untuk masuk ke negara Amerika ada suatu hal yang sangat janggal dan tidak masuk akal. 

Sudah seharusnya kebijakan Amerika serikat yang mencerminkan istilah 'Melting Pot' untuk menerima dan menghargai segala perbedaan yang ada, ditambah lagi dengan tiga poin penting yang seharusnya lebih mencerminkan sifat penduduk Amerika.

Eksistensi dari kebijakan Muslim Ban justru melanggar prinsip moral dimana tindakan diskriminasi atas dasar agama adalah hal yang tak sepatutnya dilakukan. Tujuh negara yang warganya dilarang masuk ke Amerika Serikat adalah warga negara dengan mayoritas penduduk beragama Muslim yang cukup besar. Tak hanya itu, kebijakan Muslim Ban ini dianggap telah melanggar hukum yang telah ditetapkan sebelumnya. 

Dalam penetapan kebijakan Muslim Ban, Trump menyinggung sebuah undang-undang imigrasi tahun 1952 dimana undang undang itu mengatur untuk menangguhkan masuknya warga yang tidak memiliki dokumen ke Amerika serikat dan pada revisi undang-undang tahun 1965 yang menyatakan bahwa individu tidak dapat didiskriminasikan dalam penerbitan visa imigran karena ras, jenis kelamin, kewarganegaraan, tempat lahir, atau tempat tinggal mereka. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa Trump secara implisit mengakui bahwa penetapan kebijakan Muslim Ban adalah tindak diskriminasi atas dasar agama yang ia tunjukan secara spesifik kepada umat Muslim. 

Toleransi seharusnya menjadi pegangan pokok para warga Amerika, mengingat Amerika Serikat mayoritas penduduknya adalah pendatang. Semakin banyak pendatang, semakin beragam pula latar belakang kehidupan masing-masing pendatang. Hal tersebut tidak bisa dipisahkan dari masing-masing individu. Selayaknya manusia adalah makhluk sosial, tidak etis jika ada aturan yang melarang salah satu umat di Amerika Serikat, karena manusia pasti saling berkaitan dan saling membutuhkan, tidak memandang suku ras dan agama. Menurut data yang diambil dari Republica.co.id, di negara super power, Amerika Serikat, agama Islam dipeluk oleh sekitar 2,5 juta orang. Bahkan, di lokasi sekitar reruntuhan World Trade Center (WTC) itu akan di bangun sebuah Masjid. Sementara itu, di Kanada jumlah pemeluk Islam mencapai 700 ribu orang. Hal tersebut menunjukkan sangat tidak mungkin jika peraturan "Muslim Ban" diberlakukan mengingat manusia sejatinya makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain. 

Selain itu, semua manusia diciptakan setara (All men are created equal) adalah sebuah frasa terkenal dari Deklarasi Kemerdekaan AS yang pertama kali dicetuskan oleh salah satu bapak pendiri Amerika Serikat yaitu Thomas Jefferson. Ungkapan inilah yang sering menjadi kutipan tentang kesetaraan martabat, anti-rasisme dan berbagai hak-hak asasi lain. Beberapa tokoh dunia pun pernah mengutip kalimat ini ke dalam pidatonya adalah Benjamin Franklin, John F. Kennedy, Martin Luther King Jr. Seharusnya dengan adanya hal tersebut, poin penting dalam naskah Deklarasi Kemerdekaan AS diterapkan dengan baik.

Muslim ban banyak merugikan warga Amerika yang memiliki keturunan dari bangsa-bangsa yang masuk ke dalam list tidak diperbolehkan memasuki wilayah negara Amerika. Berdasarkan rapat Kongres AS yang diselenggarakan setelah kurang lebih dua tahun sejak diberlakukannya muslim ban, terdapat warga Amerika keturunan Yaman yang mengaku bahwa ia belum pernah bertemu dengan putranya sama sekali, warga tersebut menceritakan pilunya ia yang hanya bisa melihat anaknya melalui foto dan video saja. 

Sebuah penelitian yang dikutip dari Huffington Post menyatakan bahwa telah terkumpul 549 kasus, yang mana menyebutkan 26 persen adalah anak-anak yang terpisah dari orang tuanya, sedangkan 37 persen lainnya adalah pasangan yang terpisah. Setelah hampir tiga tahun sejak larangan muslim ban diberlakukan, DPR AS memproses tindakan-tindakan untuk membatalkannya. 

Yang menjadi titik fokus pada tindakan ini adalah RUU Anti Diskriminasi berbasis Asal Negara bagi Non-Imigran, dikenal sebagai No Ban Act yang juga dimaksudkan untuk mengakhiri Muslim Ban. Legislasi tersebut didukung oleh 170 anggota DPR, ratusan , organisasi dan puluhan perusahaan ternama.

Sebagai tambahan penolakan gerakan larangan muslim dalam hukum, para penganut muslim, serikat, pendukung, dan lainnya meneruskan untuk menantang larangan tersebut dengan mencegah presiden yang menargetkan masyarakat berdasarkan agama ataupun kriteria lainnya di masa mendatang. Semua orang berhak dijauhkan oleh rasa kebencian serta hidup dan beribadah dengan tenang. Tentunya, seluruh permasalahan larangan muslim ini mempunyai akhir yang melegakan. 

Meskipun titik terang ini ditemukan dengan hiruk pikuk jalanan bebatuan, pada akhirnya pengangkatan larangan muslim ini terjadi. Para petinggi pemerintah mengakui bahwa peristiwa ini adalah kesalahan yang terjadi di masa lalu karena pandangan yang salah terhadap suatu kaum. 

Pengangkatan larangan muslim ini diperkuat dengan adanya 'No Ban Act', gerakan yang ditetapkan oleh US House agar setiap presiden yang sedang menjabat diberi batasan dalam menetapkan aturan larangan bepergian. Kebijakan baru ini merupakan sisi yang sangat mendukung peran Amerika Serikat sebagai negara 'Melting Pot' yang menerima segala ras, etnis, budaya, dan agama di dalamnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun