Mohon tunggu...
fidelis daniel
fidelis daniel Mohon Tunggu... Jurnalis - sebuah montase

carpe diem

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cukil Kayu dari "Kita" untuk Bersama

22 Desember 2020   20:53 Diperbarui: 22 Desember 2020   21:12 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kaos hitam bergambar tengkorak, rambut berwarna menyala, telinga percing, siapa sangka mereka seniman?

Pukul empat sore aku menyisir di sebuah lokasi. Mulanya yang aku tuju di peta ialah pasar seni Sidoarjo. Aku tercengang melihat sekeliling yang aku tuju. Di kanan jalan terdapat bangunan-bangunan kosong tak berpenguni. Namun perjalanan tak berhenti sampai situ.

Rasa penasaran membawaku menemukan sebuah rumah. Bisa dibilang satu-satunya rumah dengan penghuni paling interaktif. Bangunan itu terdapat di ujung kiri jalan dari lokasi yang aku tuju. Aku masuk dan disambut dengan hangat oleh mereka. Oleh sekumpulan anak punk.

Enang 21 tahun, menyambutku sambil memainkan gitar yang ia pangku. Dan tiga orang lainnya menyambutku masuk. Di dalam, pada setiap dinding terdapat poster-poster dua warna bertempelan tak beraturan, tapi sangat ekspresif. Seperti biasa, dimana aku melihat sesuatu yang unik, ada yang harus digali, yatu dari mana semuanya bermula.

Iyek 30 tahun, bercerita kampung seni dulunya ialah sebuah pasar seni. Dimana setiap bangunan kosong yang aku lihat tadi, dulunya merupakan ruang sekaligus pameran untuk para pegiat seni. Berbagai karya yang terpampang yaitu seni patung, lukis, dalang, batik, dsb. Semua proses kerja seni berjalan mulus di tahun 2006an. Hingga pada akhirnya tidak berjalan lama seiring pergantian pemimpin baru.

Semua sangat menyayangkan itu. Dimulai dari ditutupnya akses utama, membuat lokasi kampung seni Sidoarjo sulit untuk dikunjungi. Melihat lokasi dari letaknya, kampung seni berada di suatu perumahan sebelah jalan tol. Lagi-lagi campur tangan negara membuat suatu blunder, yaitu dengan tidak merawat apa yang sebenarnya harus dilestarikan. 

Perhatianku terelak pada gambar-gambar yang tertempel di tembok. Gambar itu adalah buah karya tangan komunitas yang aku kunjungi, yaitu Delta Punk Art. Menggunakan teknik cukil kayu sebagai media, untuk meluapkan ekspresi. tidak hanya itu, kawan-kawan di sini juga menerima pembuatan cukil kayu sesuai permintaan. "Cukil kayu mulanya berawal dari Jepang, mas." timpal Dinyo 26 tahun, yang tengah hangat mengobrol tentang karya seni ini. 

foto by Novanoise
foto by Novanoise

Karya seni ini merupakan awal dari teknik sablon pada umumnya. Lalu banyak ditinggalkan karena efektifitas. Bila melihat kualitas, Cukil kayu tidak kalah kuat dengan sablon. Membuat cukil kayu adalah membuat karya yang multifungsi. fungsinya seperti; membuat poster, pajangan kayu di dinding, hingga dapat dicetak pada kaos (bila dicetak di kaos, umumnya mencukil dengan mode cermin). Alat-alat yang digunakan pun cukup terjangkau, yaitu roll karet, kaca untuk tatakan cat, dan cat offset.

Cukil kayu yang dikerjakan oleh komunitas Delta Punk Art dirayakan cukup paripurna. Mereka mempunyai jaringan pegiat cukil kayu di setiap penjuru kota di Indonesia. Puncaknya adalah adanya suatu acara tahunan yang berlatar cukil kayu. "Tahun lalu di Blora, kami mencukil wajah pak Pramoedya Ananta Toer. Untuk memberi penghormatan." kata Roy pria berusia 26 tahun itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun