Mohon tunggu...
arif tripada
arif tripada Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pilgub DKI 2017, Ahok Patut Diacungi Jempol?

1 Agustus 2016   23:38 Diperbarui: 1 Agustus 2016   23:46 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

catatan kecil : 

Pilgub DKI 2017, AHOK PATUT DIACUNGI JEMPOL ( ??? )

Untuk menyingkap bandrol tema kali ini, lebih efektif jika diuji juga dengan beberapa kalimat Tanya ;

SATU, “benarkah Ahok masih di atas angin [?]”  

Hmmm, baik asumsikan “iya” maka menurut TP justru dia terposisikan ibarat layang-layang, dan Ahok shrsnya lebih bisa mawasdiri + hati hati.  Karena makin terbang tinggi layang2 mengakasa maka makin butuh kekuatan elok untuk mempertahankan layang2 tetap “anteng”, bukan karena riuhnya angin yg membahyakannya, justru [inner beauty yg ada] benang / senar / kertas dan kerangka layangannya plus pemegang benang di bawah sana juga harus mengakar pada bumi pertiwi.  Jika tidak maka sekali saja cuaca berubah, pasti kertas, benang bahkan yang memegangi dibawah sana takkan mampu menahan dinginnya air hujan apalagi dasyatnya topan. Menuntut ke-PEKA-an dlm melihat realitas keadaan, bukan sebatas menikmati capaian melayang apalagi dgn phose pasang “muka” kecut.        

***INDONESIA minimal butuh 30 tahun lagi utk PENDEWASAAN politik namun sebaliknya BUTUH waktu maksimal cuma lima menit untuk MENENGGELAMKAN akal sehat, itu hanya berlaku JIKA masyarakat tidak mampu  bergenggamlah IMAN.***

DUA, “sudahkah Ahok “pandai” menjaga nilai rasa karakterluhur bangsa ??”

Tersimak, sejak jauh bulan Ahok dgn "teman Ahok" nya yg sdh bekerja leras mampu menyatakan dengan lantang telah berhasil mengumpulkan satujuta KTP, bhkn, ststemeñ tsb hampir saja mengulang "sukses bikin skakmat" politikus lawan kena batu sperti yg pernah menimpa Anas versi "gantung di Monas" kali ini pun tak kalah ekstrim malah ada"parodi politik terjun bebas dari Monas" terujar oleh seorang tokoh parpol, shgg ketika jumlah satujuta KTP diproklamirkan "teman ahok" publik pun ikut ketarketir àkankah ada peeistiwa harakiri versi politikus di negeri ini benar2 akan terjadi (?)   Pàrahnya, sekali lagi yg jadi iruni knp "tugu monas" yg dijadikan opsi melakukan ujar kedangkalan "akalsehat". Tugu monas mrpk "simbol" sejarah sakral yg melatari lahirnya NKRI haruskah terkotori oleh ambisi politik "oknum politikus yg daya (maaf) kesadaranya dibawah standar akal sehat. Cos, fakta tsb lah yg seolah Ahok pantas dijuliki "politikus baju besi sembrani" dimana ia mampu sprt mencuci otak baik "kawan maupun lawan" nya bertindak seolah "kehabisan akal sehat". Kondiai tsb pantaslah jika Partai Masdem yg dikenal diketuai oleh sosok yg berapi api dlm orasi (Surya Paloh) mjd partai perdana sukarela menyediakan Nasdem sbg kendaraan Ahok maju DKI, lalu diikuti oleh Hanura dan Golkar. Sekali lagi inipun, Ironi, Fenomenal memecahkan rekor sejarah “keparpolan” bertekuk lutut oleh silaunya dlm melihat sosok Ahok. Hebatnya dgn hembusan angin politik ini Ahok kian gegabah mengeluarkan jurus "ajimumpung" memilih maju lewat jalur Parpol meski Ahok sdh memikirkan kekecewaan moral teman Ahok dgn memerankan merekan mjd komunikator dlm proses ambising dgn Parpol pengusung, namun yg JUSTRU yg Ahok sepelehkan malah warga yg merelakan sejuta KTP nya, Ahoh lepas pertimbangan “menjaga nilai rasa dengan layak” diperparah aneh bin ajaibnya, Ahok mengatasi kondisi tsb hanya dgn peenyataan enteng : "warga yg telah merelakan sejuta KTP nya masik bisa dijadikan relawan saksi pd pilgub nanti jangan kuatir".  Hmmm… begitu gampangnya Ahok menilai rasa pemilik KTP yg kali ini Ahok seperti sangay keliru dlm meniru jurus Gus Dur, “Begitu saja kok repot”.  Sekali lagi, dari sisi ini sangat kelihatan bahwa Sense of leader maupun belonging tidak mampu diterapkan oleh Ahok secara take and give.  Dan kondisi tersebiut bagi warga / orang yang kritis, apalagi yg terbiasa mengukur “nilai rasa” kesantunan, keetisan, keluhuran pakerti maka Ahok bisa dikatakan nilainya masih dibawah angka “5” dalam sisi ppangerten yg menjadi prinsip kepribadian luhur asli Bangsa Indonesia yg masing tetap di junjung tinggi selama ini oleh masyarakatnya.  Tak heran, bibit keraguan yg selama ini tersugesti bhw sosok Ahok adalah sebuah HARAPAN Panjang suka tdk suka mulai menjadi tanda Tanya besar bagi warga. Dengan responsible kpd penyumbang KTP saja sikapnya seperti itu, sdh layakkan Ahok mendapat kepercayaan warga lebih jauh (?)

Namun kondisi nampaknya tdk membuat Ahok + teman ahok memetik hikmah, indikasinya, dlm proses ambising merangkul PDI-P nampak Ahok maupun teman ahok merasa memeiliki kartu jocker bagi pemenangan Pilgub DKI dgn mematok sbg DKI satoe, dan nampaknya ogah mjd DKI 2, sekalipun hrs berpasangan dgn "orang" PDIP sendiri.  Pertanyaannya, haruskah PDIP rela ikut tiga Parpol terdahulu mengikuti jadi "follower" terhadap Ahok dan rela mengusung Ahok menggunakan Partainya namun Kader nya cuma menjadi DKI 2 saja ???      Hmmm sekali lagi masih test penggunaan AKAL SEHAT !    Namun andai ini benarbisa terjadi pada Parpol sekaliber PDIP maka Ahok sudah melampaui keberhasilan Jokowi dlm hal meng hallo effect situasi, baik dlm mendongkrak elaktibilitas, popularitas amupun kapasitas, apalagi SUGESTIFITAS.   Dan TP pun akan mengucapkan “Turut berduka atas meninggalnya akal sehat”    Bahkan, itupun pertanda bhw Negeri ini telah kehabisan "tekateki" stok pemimpin berkwalitas ; SANTUN, ARIF & BIJAKSANA [SAB].  Kondisi tsb akan memicu munculnya realitas terbalik jika PDIP "berani" membuang mental "follower"  tak mau mengukuti tiga parpol yg telah bersimpuh lebih maka minimal NILAI TAMBAH akan kian mamantapkan PDIP sbg Parpol yg memperoleh "ruang sangat khusus" di hati masyarakat.

KETIGA ; Benarkah Ahok sosok Gubenurnya "wong cilik" (?)

Untuk menguji teks pertanyaan diatas agar terpenuhi unsur obyektifitasnya menurut TP bisa dilakukan dgn cara sederhana berikut :  SATU, Inventarisir rekam jejak bang Ahok slm menjabat Bupati di Bilitung Timur, baik masa jabatanya, visi-misi nya dan korelasikan dgn capaian tindak yg sdh dihasilkan olehnya.   DUA, Slm menjabat di DKI (baik sbg wagub maupun estafet Gub) inventarisir apa saja rencana tindak  dan  bagaimana capaian tindak, seperti poin (SATU) diatas, bagaimana realisasinya dan berapa penilaian anda [?].   TIGA, Relokasi, Operasi PKL, Polemik Sumber Waras hingga Reklamasi, dll, dsb, tmukan jawabnya siapa sesungguhnya pihak di untungkan (?).    EMPAT, Atau bikin kritiria analisis versi anda yg bisa untuk menyimpulkan bhw Ahok lebih "tepat" berjuluk pemimpin "pro" wong cilik atau sebaliknya "pro" konglomerat (baca: ditambah imbuhan "or" juga boleh) ???

UJI PERTANYAAN ke EMPAT dan seterusnya dan sebagainya bisa anda ptak dan atik scr analitis sendiri.

(Pembuktian;  jika KITA mau, sesungguhnya KITA ini bukan BANGSA BEBEK)

PERTANYAAN INTI, [seperti mencomot iklan produk obat nyamuk] ; “Adakah SOSOK PEMIMPIN yang lebih LAYAK dan LEBIH TEPAT DIBANDING AHOK untuk DKI 2017-2023 ???

TP yakin jika ANDA juga sepakat seperti TP untuk menjawab pertanyaan sefersi Iklan Produk Obat nyamuk tersebut   kta  tidak harus ikut  membebek /  latah bermental sama “follower” dengan menkopi paste Jawaban ;

“Yang lebih mahal, banyak”.

“Mengulang Romantisme Sukses PDIP-GERINDRA, menekuk lutut incumbent”

Jelang jeda waktu memasuki penahapan awal Pilgub DKI 2017 msh banyak "kejutan" yg akan dan seharusnya muncul.
 Keangkuhan Ahok dan mental Follower teman Ahok akan dipaksa oleh keadaan untuk segera menyadari "impian yg jauh dari sempurna" yg mereka teledorkan akan kandas. Indikasi PERTAMA, sdh sangat nampak setidaknya "gerakan" yg sdh tak lagi samar di jajaran PDIP yg dilansir oleh Bambang DH setidaknya sdh menjadi suara serempak meneriakkan "lawan Ahok".    KEDUA, pengalaman "tdk sedap" pada pilgub DKI sebelumnya tdk pernah ingin terulang lagi oleh PDIP.  KETIGA, dlm menghadapi pilpres 2019 PDIP patut antisipasidini menghadapi kondisi terburuk jk nanti Jokowi sampai berubah sikap "maju" diluar perhitungan PDIP maka pilgub DKI 2017 adalah "ajang" penggodokan kader "unggulan" untuk memastikan tersedianya stok "candidaad" yg mumpuni lagi terpenuhi criteria SAB tetap SAVED dlm mengahadapi prediksi terburuk.
 Akan tetapi diingatkan jika PDIP pada Pilgub DKI 2017 meniru gaya over PD Ahok, dengan “egosentris” ingin mendulang sukses Pilkada Surabaya yakni mengusung KADER KEMBAR (baca: pasangan samasama kader PDIP) maka TP memprediksi "momen" nya kali ini sangat berbeda baik situasi apalagi kondisinya. Mengapa ??? Sangat jelas sekali Pilgub DKI kali ini memiliki situasi dan kondisi yg saling berlawanan SUHU maupun Latar Orientasi, yakni : disisi lain ada Pihak (baca: kelompok) yg bisa dikatakan "setengah putus asa" sehingga cara berfikir mereka sangat sederhana yakni pesimistis berasumsi jika memaksa ikut naik diatas pentas pasti mereka anggap sia sia mk mereka mengambil keputusan tergesa-gesa menyerahkan "surat dukungan" teramatdini, itu sama saja seperti bermain bidak politik diatas papan catur taubahnya mengharap rasa simpati pemain lain.    Kelompok lainnya, adalah kelompok yg sabar memasang mata dan telinganya dgn jeli bhkn memakai hidung untuk mengendus bau tak sedap yg mungkin menyruak tercium dan menunggu saat rasa kantuk mendera pemain yg selebrasi menari-nari diatas irama yg belum tentu serasi maka disitulah "celah" akan terbuka baginya.
 Teranglah, dgn situasi kondisi tsb PDIP sekali lagi TP ingatkan bhw "kesempatan tdk bisa terulang dua kali" itu kata pameo yg msh efektif terbukti dlm konstelasi Politik, des untuk pilgub DKI kali ini PDIP wajib mempertimbang nilai tawar koalisi, terutama memasang PAKET pasangan tdk lagi "kembar" sprt pada pilkada Surabaya. Percaya atau tidak prediksi TP bhw memaksakandiri "calon kembar" pada pilgub DKI akan membawa hasil akhir yg justru berbalik orientasi, bakhan resiko paling buruk yakni GATOT (baca: gagal total). Masih ngotot tidak ingin buktikan [?].    Ingat, KATA sesal takkan terucap didepan, dan tidak akan mungkin mengembalikan sesuai RENCANA awal.  Ringkasnya, duet PDIP-Gerindra kali ini sangat berpeluang mendulang sukses menumbangkan incumbent DKI sprt pilgub sebelumnya dgn catatan, jangan memimpikan lagi memaksakan PAKET pasangan calon KEMBAR.   Hmmm, yang pasti PEMIMPIN DKI harus bisa mewakili kepribadian asli bagsa Indonesia yakni SOSOK memiliki sense-sense Kesalehan Sosial sekaligus Kesalehan spiritual, dan yang Top Urgent, BELIAU harus memiliki sifat : SANTUN, ARIF dan BIJAKSANA.. karena itulah CIRI KEPRIBADIAN Bangsa INDONESIA yg ASLI dan tidak boleh ditawar-tawar lagi laiknya, NKRI , itu harga mati ! 

MBAK RISMA dan PDIP-nya, PIL pahit BASUKI C.P (?)

Entah ini kebetulan apa Penguwasa langit sudah menentukan, melahami momen pilgub DKI 2017 mulai NAMPAK sangat sederhana, opsinya :
 SATU, Tarik ke DKI salah satu kader "unggulan PDIP" yg sdh teruji mampu dan layak sipertarungkan di DKI, dan sosok salah satunya adalah MBAK RISMA, kenapa ???     Ya, Setidaknya  ada beberapa alas an berikut : [Pertama] jika Risma ditarik ke DKI mk PDI tetap "aman" di Pemkot Surabaya, krn sejak Risma maju dgn Wisnu (sama2 kader PDIPnya) TP sdh yakin strategi politik yg digunakan PDIP memasang Risma adalah strategi Standar Ganda dlm konotaai "plus plus". Tentu, antisipasidini  jika kursi walkot Surabaya "ditinggalkan" oleh Risma akan tetap aman sigenggaman PDIP.   [Impact kedua], bila maju ke DKI ternyata Rsma meraih Nilai Pemenangan yg gemilang maka pada Pilpres nanti PDIP pun tak merasa was-was jika saja terjadi hal terburuk Jokowi "tetpaksa" mjd "anak nakal" yg maju pakai Partai lain.    [Ketiga], Sdh waktunya PDIP menguji  kader unggulannya semumpuni apa [Risma] dlm "kawah condro dimuko" yg gak kepalang tanggung, yakni pilgub DKI, barometer politik di NKRI. Dan Risma sangat punya bnyk sisi "LEBIH" dibanding Ahok antara lain : [1] Risma mempunyai strong character yg lebih jelas SANTUN dlm menyikapi KEADAAN bhkn dlm menSOLISIKAN keadaan.  [2] Risma sisamping tidak sekalipun pernah mempelihatkan arogansi sbg seorang Kepala Daerah tiap menghadapi sikon apapun, apalagi kata-kata kasar, kotor dll yg tdk sesuai dgn nurma luhur asli bangsa Insonesia.  [3] Risma bukan besar krn "pencitraan"  ataupun  “mengekor keberuntungan” tapi dia tak segan turun bertindak langsung member tauladan yg baik tanpa rasa risi, dan hebatnya meski dlm keadaan menahan emosi sekalipun dia mampu menunjukan bhw dia anak negeri yg berluhur budi berkatakata, bersikap dgn siapapun (bawahan, orang kecil, media hingga pejabat), sama.
 Dengan track record "plus-plus" yg dimiliki Risma, serta sikap kepemimpinan yang SAB yg ditampilkannya tidak akan kesulitan untuk berkompetisi dgn Ahok di DKI bhkn siapapun kawan DKI 2 nya yg mendampinginya itu tdk akan mjdkan MAJALAH. Faisya Alloh.. itu pasti.  Dan hikmahnya yg sangat PASTI jika RISMA bs menjugrukkan imet "Ahok spt dipuncak Awang-awang Perpolitikan" hikmah yg dapat dipetik oleh segenap nk bangsa adalah :
 Satu, pendidikan politik bahwa sebaik baik pemimpin adalah Dia Yang Tetap Memegang Unggah-ungguh Nurma Luhur Bangsa".     Kedua, pameo, "jika kita mau sesungguhnya kita bukan bangsa follower, apalagi mjd bangsa BEBEK" pun tetap terbukti.     Ketiga, pileg , pilkada serta Pilpres  ke depan PDIP sdh punya REKAM JEJAK yg pasti dlm mengembalikan JATIDIRI berbangsa yg BERMARTABAT.  Maka, jangan ragu ucapkan : "Selamat tinggal mental pembebek" negeriku takkan membutuhkan gaya megal-megolmu lagi.

Sebesar apa sisa peluang Basuki C.P di pilgub DKI 2017 ???

Tetap, Menarik, dicermati cara berfikir, bersikap serta cara bertindak "tokoh over PD" yg satu ini dlm menyikapi perkembangan (bc: perubahan) situasi dan kondisi yg telah / sedang / akan terjadi cenderung dan terkesan (maaf) memaksakan "asbun". Mengulang cara sikap dlm menanggapi isu "kembalikan KTP ku", kali ini Ahok sprt ketiban "palu godam" meski tdk meradang namun pernyataan yg meluncur slalu terkesan mengabaikan "nilairasa", Ahok lupa bahwa slm ini dia hidup di bumi Nusantara yg masyarakatnya sangat kental menjunjung tinggi adap sopan dan kesantunan diatas segalanya dibanding segunung materi. Kali ini selama menyikapi isu PDIP memanggil Risma maju ke DKI justru Ahok berkomentar tidak simpatik, miring di media dgn nada sindir bhw Risma ke DKI juga punya rencana bersaing dgn Jokowi pd Pilpres nanti. Jelas lah statmen Ahok yg tak ada mendung apalgi hujan namun tergelegar petir tsb menuai "geram" para kader PDIP. Tdk selesai disitu, Ahok bhkn terkesan mulai galau mendengar nama "Risma" hingga ibarat orang yg lagi kintir oleh banjir bandang anggapannya spy selamat maka apa saja ia pegang sekenanya, kesan itu nampak msh berepisode "politik tepuk air" Ahok membuat pernyataan yg tak perlu, bhkn TP yakin (kebenaranya sulit sikonfirmasi) bhw Tegas Ahok yg dilansir media senin 1 / 8/ 2016  tadi : "ketiga parpol pengusung akan mendanai kampanye pakai duit sendiri". Begitu enteng pernyataan Ahok mengeluarkan jurus "politik hipnotis" kpd 3 parpol. Benarkah ini pertanda Ahok kian "PD" atau justru terpaksa mengeluarkan jurus "mabuk-nya" dan mengajak (mensugesti) ketiga Parpol ikut menjadi "drunker masters" eepisode film silat.  Hmmm, Dalam sudut pandang TP mmg sisi ini kelebihan Ahok yg blm sempat disadari oleh partai pengusung bhw sprt mengulang sukses "menghipnotis" sejuta warga penyumbang KTP ketika diisukan minta pertanggung jawaban (isu kembalikan KTPku) Ahok keburu merespon tanpa menimbang dulu dan memikirkan nilai rasa.  Diyakinkan oleh Ahok meminta warga penyumbang sejuta KTP agar tidak kwatir bhw mereka msh dipakai dan punya kesempatan tetap dipakai dan dijadikan relawan saksi pd pilgub DKI nanti.   Cara sikap Ahok sprt itu menurut TP justru terkesan "ego" nya yg masih tinggi dlm menghadapi situasi yg "suddenly accident" dan keburu membikin episode "janji ataupun sugestis" dgn harapan outomatis jalan keluar terlahir.   Namun dlm sikon tsb Ahok lupa bhw gaya politik "menepuk air" tdk selamanya menyegarkan baik bagi pihak yg  terciprati maupun si penepuk air bersangkutan bisa jadi air yg ditepuk kali itu sudah terlanjur "berbau tak sedap" mk bisa dibayangkan pihak yg terciprat akan mjd (maaf) "jijik" terganggu oleh bau yg sdh tak sedap tsb belum lagi ditambah dampak gatal-gatalnya. Begitipun bagi yg menepuk air bisa jadi "bau" tsb pasti dia sadari juga sdh ydk nyaman serta berakibat rasa gatal  namun terpaksa dia tutupi dgn "kilah-kilah" yg lainya. Hmm.. pst lah akan semakim runyam. Dan bila hal tsb terjadi, apa ke "sombongan" tsb bisa menyelamatkanya lagi ?   Kita tunggu sejauhmana kepongahan bisa dipelihara untuk berharap mampu "menggetarkan bumi pertiwi" ???

Semoga catatn kecil ini membawa hikmah dan manfaat bagi siapapun yg sedang berkompetisi mjd pemimpin Negeri ini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun