Mohon tunggu...
Greg Satria
Greg Satria Mohon Tunggu... Wiraswasta - FOOTBALL ENTHUSIAST. Tulisan lain bisa dibaca di https://www.kliksaja.id/author/33343/Greg-Satria

Learn Anything, Expect Nothing

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Catat, Pergerakan Tanpa Bola Lebih Penting Dibandingkan Skill Individu Pemain Sepak Bola!

3 September 2024   12:20 Diperbarui: 3 September 2024   12:39 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah terpikir tidak, mengapa para influencer sepak bola yang punya skill freestyle tingkat tinggi tidak masuk ke sebuah tim besar? Mungkin ada excuse karena mereka cedera saat aktif bermain, atau baru menekuni olah bola di usia dewasa. Dengan segala respek, satu alasan penting jarang mereka sebut, bahwa mereka kurang bisa bermain sepak bola tanpa bola.

Maksudnya bagaimana? Ya, sepak bola memang akan selalu dimainkan dengan satu bola di atas lapangan. Tapi data menunjukkan, seorang pemain mungkin hanya akan menguasai bola satu sampai lima menit saja selama 90' menit di lapangan!

Lalu apa saja yang dilakukan di 85' menit sisanya? Pergerakan tanpa bola!

Sebuah contoh apik tersaji kala Manchester United kalah 0-3 melawan Liverpool di laga English Premier League, Minggu (1/9/2024) lalu. Banyak pihak menyoroti dua kesalahan Casemiro yang berujung gawang Andre Onana bobol dua kali di babak pertama, sebagai sebuah kesalahan individual.

Apes saja Cesemiro dijadikan kambing hitam atas kekalahan tersebut. Sepertinya banyak yang lupa bagaimana kesalahan link-up Bruno Fernandes dan Joshua Zirkzee hampir membebaskan Diogo Jota mencetak gol di awal laga. Juga ada kesalahan Kobbie Mainoo dalam mengcover Ryan Gravenberch berujung gol Trent Alexander-Arnold yang (untungnya) dianulir VAR.

Semua momen ini plus kesalahan individual Casemiro, bisa diakibatkan karena kurangnya pergerakan tanpa bola di mayoritas pemain Setan Merah. Pemain-pemain di atas melakukan kesalahan, karena tidak memiliki banyak opsi untuk melakukan umpan.

Lalu siapa yang salah? Erik ten Hag atau pemainnya? Tidak semudah itu menyalahkan. Mari kita bahas.

Kutipan Legendaris Johan Cruyff

"Bermain sepak bola sangat sederhana, tetapi memainkan sepak bola yang sederhana sangat sulit," merupakan sebuah kutipan dari pemain legendaris Belanda, Johan Cruyff. Pria yang wafat pada 24 Maret 2016 ini akan selalu dikenang sebagai Bapak Total Football maupun Tiki-taka, dua bentuk strategi permainan di dunia sepak bola.

Maksud kutipan di atas sangatlah jelas, bahwa sepak bola seharusnya dimainkan dengan mudah. Tetapi karena ada pengaruh besar dari belahan dunia yang lain dari sisi sosial dan budaya, sepak bola menjadi lebih berwarna dengan beberapa aksi individual yang kita sering sebut sebagai skill.

Padahal jika dalam basic bermain sepak bola, skill itu didefinisikan sebagai kemampuan mengontrol, mengumpan, menggiring, menyundul dan melakukan tembakan. Barulah ketika sepak bola menjadi sebuah olahraga yang lebih rumit karena taktik-taktik hebat mulai berkembang, bertambah satu lagi elemen, yakni pergerakan tanpa bola.

Pergerakan tanpa bola bisa meliputi tiga hal penting. Pertama adalah segi fisikal, yakni stamina dalam berlari. Poin inilah yang menjadi salah satu konsen dari Coach Shin Tae-yong dalam memilih para pemain yang diboyongnya masuk ke dalam Timnas Indonesia. Angka VO2max kini ngetren menjadi patokan untuk menilai sisi ini.

Hal kedua adalah screening, di mana pemain dituntut untuk melihat kondisi sekitar ketika tidak menguasai bola. Kemampuan ini mewajibkan pemain untuk memiliki visi, serta melihat lapangan dari dimensi mata elang di atas lapangan. Pemahaman taktik dan IQ sepak bola yang baik menjadi faktor utamanya.

Ketiga, adalah proaktif. Baik dalam menyerang atau bertahan, egosentris dalam diri pemain akan diuji pada poin ini. Kemauan untuk turun menutup ruang saat bertahan, sekalipun bukan pemain tersebut yang kehilangan bola, seharusnya sudah menjadi kewajiban.

Begitu pula ketika menyerang, pergerakan melakukan decoy (pengalihan) meskipun tak berujung mendapat bola, sama pentingnya dengan upaya membuka ruang untuk mencetak gol. Semua dilakukan dalam sebuah kode kasat mata, yang dipelajari dalam strategi pertandingan. 

Jika berjalan dengan baik, maka penonton bisa merasakan adrenalin besar akan terjadi sebuah momen penting. Tetapi jika tidak seirama, pemain yang proaktif itu hanya akan merasakan letih karena merasa berjuang sendirian. Kira-kira seperti itulah perasaan para pemain Setan Merah akhir pekan lalu.

Jadi, persis seperti kata Johan Cruyyf, bukan? Sepak bola seharusnya mudah, tetapi bermain mudah itu sulit sekali.

Bermain Juga dengan Otak, Bukan dengan Otot Saja

Frasa di atas tentu sering terngiang maupun terucap oleh para fans sepak bola. Bukan hanya merupakan luapan kekesalan, lho, karena hal itu sudah menjadi sebuah tuntutan.

Di era sepak bola sekarang ini, dengan segala khazanah yang menyelimutinya, dituntut pemahaman yang tinggi dalam strategi permainan itu sendiri. Kalau mau sekedar unjuk skill atau kuat-kuatan adu lari saja, lebih baik ambil cabang olahraga individu, deh.

Dengan segala respek kepada Timnas U-20 yang berlaga di Seoul Earth on Us Cup 2024 kemarin, laga melawan Korea Selatan di babak pertama menjadi contoh terbaiknya. Di babak kedua Garuda Muda sudah jauh lebih baik dalam bermain.

Menganalogikan kesepuluh pemain yang terlibat aktif di lapangan (kecuali kiper), bisa diibaratkan sepuluh jari tangan kita. Nah, pergerakan pemain Garuda Muda di babak pertama, itu seperti hanya ada dua jari di satu sisi tangan saja yang bergerak. Delapan lainnya hanya diam di tempat. Jelas akan kesusahan dalam membaca serangan maupun mengalirkan bola.  

Ini berkebalikan dengan Korea Selatan, yang sebenarnya secara basic-skill tidak unggul-unggul amat dibanding pemain Indonesia. Mereka mampu mengejawantahkan strategi pelatih, dengan pergerakan tanpa bola yang kompak. Sehingga, bisa membuat perangkap bagi pemain Indonesia agar tak nyaman menguasai bola.

Hal tersebut masih merupakan strategi bertahan dalam konsep sederhana, dengan peran pemain gelandang dan para bek menjadi aktornya. Sepuluh tahun terakhir, istilah gegenpressing menjadi upgrade besar dalam cara bertahan, dengan melibatkan seluruh pemain dalam sebuah tim.

Para striker menekan pertahanan lawan, pemain tengah bersiap melakukan sergapan, dan bek menaikkan garis pertahannya untuk mengurung lawan. Semua dilakukan dengan limit maksimal 10 detik setelah kehilangan bola! 

Jika berhasil merebut bola, maka akan jadi peluang besar. Namun jika tim lawan ternyata bagus dalam membuka ruang dan mengakibatkan gagal merebut bola, formasi bertahan akan kembali ke basic plan.

Semua pemain jelas membutuhkan kesetiaan dalam pergerakan tanpa bola di strategi ini. Sekali lagi ya, ini bukan menjadi hak lagi, tetapi sudah menjadi kewajiban (tuntutan) di era sepak bola modern.  

Formasi Menentukan, Strategi Melengkapi, Pemain Mengikuti

Pada akhirnya, keselarasan pelatih dan pemain menjadi output di atas lapangan. Formasi awal yang ditentukan harus dilengkapi dengan strategi yang jelas. Kemudian dari sisi pemain, kemampuan untuk mengikuti instruksi menjadi rapor besarnya, bukan skill yang ditunjukkan.

Sebagai pembanding, ada dua manajer yang memakai pendekatan berbeda dalam sistem permainannya. Pertama ada Carlo Ancelotti yang mahsyur karena formasi 4-2-3-1 atau 4-3-2-1 pohon natal-nya. Kedua, ada Pep Guardiola dengan 4-3-3 tiki-taka dan 3-4-1-2 inverted-fullback nya.

Carlo Ancelotti mahfum dinilai memberikan kebebasan kepada para pemain berskill tinggi untuk melakukan serangan. Ini bisa dibuktikan betapa cocoknya Don Carlo menggunakan para pemain Latin, seperti Kaka, Cristiano Ronaldo, hingga Vinicius Jr.

Tetapi tidak hanya semudah itu melihatnya, lho. Don Carlo memang memberi kebebasan kepada tiga pemain depan (biasanya dua winger dan satu striker), tetapi di sisi lain menginginkan permainan rigid (kaku) untuk empat bek dan dua gelandang bertahannya.

Kita jarang melihat Carlo Ancelotti memiliki fullback yang punya skill tinggi, kecuali Marcelo. Sebab ia ingin pemain di level pertahanan bisa mempunyai tanggung jawab besar dalam pergerakan tanpa bola. 

Di lain pihak, ada Pep Guardiola yang menginginkan semua pemainnya melakukan pergerakan tanpa bola dalam skema yang ketat. Bahkan untuk pemain dengan skill tinggi seperti Jack Grealish, Bernardo Silva, hingga Phil Foden, ia hanya mengijinkan mereka menguasai bola tak sampai lima detik.

Kekakuan strategi ini membentuk sebuah kebiasaan dalam tim Manchester City, yang terus dikembangkan baik dalam skema gegenpressing maupun tiki-taka dalam bermain. Terupdate, musim ini sepertinya mereka sudah mengembangkan strategi baru lagi dengan menambah momentum dalam gegenpressing menjadi peluru yang mematikan.

Mau buktinya, tujuh gol Erling Haaland di awal musim mayoritas merupakan hasil merebut bola di setengah pertahanan lawan!

Jadi jelas, kesetiaan para pemain untuk menaati instruksi pelatih menjadi momen keberhasilan dari strategi sebuah tim. Kembali membahas Setan Merah, mudah menyalahkan strategi Erik ten Hag maupun umpan salah Casemiro. Tetapi wajib dicatat, ada andil kesalahan pemain lain yang tidak melakukan pergerakan tanpa bola dengan sungguh-sungguh.

Bagaimana, sepak bola itu menyenangkan, bukan?

Salam olahraga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun