Mohon tunggu...
Greg Satria
Greg Satria Mohon Tunggu... Wiraswasta - FOOTBALL ENTHUSIAST. Tulisan lain bisa dibaca di https://www.kliksaja.id/author/33343/Greg-Satria

Learn Anything, Expect Nothing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kini Mereka Memanggilku, Dokter Astral

5 Agustus 2024   12:16 Diperbarui: 5 Agustus 2024   16:29 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kenalkan, namaku Astra. Menjadi anak tunggal dari keluarga Ja-Flo (Jawa-Flores), kuliahku semester enam kini terganggu momen menyedihkan. Ibuku kini harus masuk IGD lagi, setelah semalam kolaps tak sadarkan diri di kamar mandi, sementara ayah sedang dinas di Semarang.

WIIIII WUUU WIIII WUUUU

Sirine ambulans yang baru datang sontak mengalihkan perhatianku saat terduduk di ruang IGD Rumah Sakit Rakanza pukul tiga subuh ini. HP yang sedari tadi kumainkan, langsung kumasukkan saku hoodie, karena tahu sepertinya aku harus berdiri.

Ruang IGD ini cukup sempit, 15 x 10 meter, yang diisi oleh delapan bed dan hanya dibatasi tirai kelambu. 

Aku dan Bu Minah, seorang ibu asal Madura, duduk di kursi paling depan sedari tiga jam tadi.

"Awas minggir, beri jalan!" teriak petugas medis pria sembari mendorong bed berbaringkan pasien ibu paruh baya yang bersimbah darah. 

Mereka berlari menuju satu-satunya bed kosong yang berada di tengah, di sebelah kiri ibuku tertidur.

Tak mau melihat pemandangan ini, aku berdiri sembari menoleh keluar. Bu Minah hendak mengangkat HP-nya untuk memotret momen itu. Aku pun reflek berbisik,

"Bu, jangan difoto. Bisa kena pasal."

"Loh biar viral, Mas."

"Kalau sudah di Rumah Sakit tidak boleh, Bu."

"Oh, oke Mas."

Karena sudah tiga jam berada di tempat yang dekat dengan Bu Minah, kami jadi langsung akrab. Ibu asli Bangkalan ini tengah menunggu putra balitanya yang tadi malam mendadak kejang.

"Ibumu sudah siuman, Mas?"

"Sampun, Bu. Tadi jam dua sudah bangun."

"Syukurlah Mas. Ragil juga sudah turun suhunya, tadi saya diberi tahu suster sepertinya ga perlu opname. Sudah sering toh sakit perutnya ibu sampean, Mas?

"Iya Bu. Ini yang ketiga kali saya di IGD Rakanza."

"Oalah, ya semoga bisa pulang cepat bareng Ragil."

"CODE BLUE, CODE BLUE, Di Ruang IGD. CODE BLUE!"

Tetiba suara nyaring ini menutup perbincangan kami. Aku sudah tahu istilah itu saat ibuku masuk IGD Rakanza kali kedua. Artinya, sedang ada yang sekarat. Sepertinya ibu paruh baya yang baru masuk tadi.

"Bu, saya ke depan dulu ya cari angin." pamitku dibalas anggukan Bu Minah

Di depan jendela IGD Rumah Sakit Rakanza ada satu wastafel dengan cermin yang sudah tidak oval utuh lagi. Sebenarnya aku sangat mengantuk, tetapi ritual tanda tangan di IGD membuatku harus terjaga hingga diputuskan, ibuku pulang atau opname.

Kunyalakan air keran yang mengalir pelan, kuusap semua jemari tanganku. Kemudian aku menggayung dengan mangkok telapak tangan, dan mengibaskan airnya ke wajahku.

Setelah mengelap wajah dengan lengan hoodie-ku, aku langsung rebahan di kursi coklat panjang tanpa sandaran ini. Terakhir aku bangun jam delapan pagi kemarin. Pantaslah kantuk ini tak bisa kutahan.

Aku pun tertidur.

Dunia mimpi ini sudah akrab bagiku sedari setahun terakhir, saat ritme tidurku kacau gara-gara kuliah malam. 

Aku serasa menjadi raja dalam dunia ini, karena tidak seperti banyak orang, aku bisa mengatur mau pergi ke mana dalam mimpi ini. 

Awalnya hanya kelindihan atau sleep paraliysis biasa, namun lama kelamaan menjadi lebih sering dan mulai mengganggu tidurku. 

Sebenarnya tidak berbahaya jikalau hanya di tahap awal, paling-paling hanya perlu menghentakkan kepala dengan keras sesudah berdoa Bapa Kami. Tapi aku sudah pada fase yang lebih dalam, aku bisa melihat tubuhku sendiri yang sedang tertidur!

Ya, aku pernah masuk beberapa kali ke mode proyeksi astral ini. Tidak mengenakkannya, untuk bangun dari mimpi harus secara berulang. Kadang bisa dua, atau bahkan tiga lapis mimpi.

Di depan ruang IGD Rumah Sakit Rakanza, kini aku bisa melihat tubuhku rebahan di atas kursi. Hoodie hitam Adidas yang jadi favoritku, bisa kulihat sudah agak lusuh berpadan dengan celana jins biru dongker Levi's.

"Aku harus bangun, bisa berkali-kali ini mimpinya," pikirku sembari menyentakkan kepala

"Tolong!!! Saya Bu Karni.. Tolong!" suara teriakan wanita terdengar lirih.

Terlambat, aku sudah kembali ke lapisan mimpi pertama! Latarnya menjadi kamar tidurku di rumah.

Suara tadi nyata sekali!

Sambil merapal Doa Bapa Kami lagi, aku menghentakkan kepalaku dengan keras dan akhirnya terbangun di dunia nyata dengan mata yang sangat berat.

Sambil terhuyung aku kembali ke wastafel dan menyeka mukaku dengan air.

"KELUARGA BU KARNI, HARAP MENUJU COUNTER IGD!" pengumuman dari sentral ruang IGD membangkitkan ingatanku.

"Ya, ampun. Bu Karni!" Aku jadi tersadar nama ibu yang memanggil dalam lapisan mimpiku tadi. Sontak kesadaranku berangsur kembali.

Aku setengah berlari masuk ke dalam IGD, melihat jam pukul 3.15 subuh. Ya, memang durasi lama di mimpi tak seperti di dunia nyata. Terkadang kita bisa berjam-jam dalam mimpi, namun hanya menghabiskan lima menit dalam tidur.

Aku menengok ke arah kiri, Bu Minah menyapaku.

"Loh cepat sekali, Mas?"

"Eh, Mau lihat ibu sebentar."

Lalu aku menoleh ke kanan, ke arah counter jaga IGD. Ada seorang bapak yang terisak tangis dalam duduknya. Punggungnya ditepuk-tepuk oleh dokter pria. Sepertinya suami bu Karni ini sudah hilang harapan.

Aku terus berjalan ke arah bed nomor 3 tempat ibuku terbaring. Aku tahu di bed nomor 4, adalah tempat Bu Karni akan meregang nyawanya. Tertutup oleh tirai kelambu warna putih-hijau, aku masih belum berani menyingkapnya.

Maka kuputuskan untuk masuk ke bed ibuku saja dan berdiri di samping kiri ibuku yang terlelap.

Wajah cantik ibuku yang kini dihiasi beberapa helai rambut putih, tampak tidur dengan nyenyak. Lebih tenang dari sebelum kutinggal ke ruang jaga tadi. Pada monitor detak jantung kulihat angka 90, yang sepengetahuanku cukup normal untuk pasien IGD. 

Tapi hatiku tidak tenang, seperti harus melakukan sesuatu dengan segera. Aku tahu sedang membelakangi tubuh Ibu Karni yang jiwanya tengah mencari-cari tubuhnya. 

Jarakku tidak sampai dua meter dengannya, dan hanya berbatas kelambu putih-hijau ini.

Tiada tanda manusia lain di bed Bu Karni. Suaminya masih berada di counter depan. Meskipun Code Blue, ia ditinggal sebentar oleh beberapa perawat yang pontang-panting mengambil obat. 

Hanya buka tirai, tutup lagi.

"Aku harus menghafal wajahnya." bisikku dalam hati.

Tidak sampai tiga detik, aku buka dan tutup tirai kelambu itu. Aku hafal wajanya, yang meski darahnya sudah dibersihkan masih tersisa jahitan segar di sepanjang dahi kanannya. Ada tahu lalat cukup besar di atas bibir. Ya, aku sudah hafal.

Lalu aku beranjak ke arah depan IGD lagi. Bu Minah menyapaku dengan lambaian, namun aku langsung menarik tangannya untuk keluar ruang IGD.

Kamipun langsung duduk di kursi coklat panjang.

"Ada apa, Mas?"

"Bu, percaya saya nggih. Saya mau tidur sebentar. Ibu jaga saya jangan sampai terjatuh."

"Loh, maksudnya piye Mas?"

"Saya tadi kelindihan, Bu. Saya tahu roh Bu Karni mencari tubuhnya. Saya mau jemput."

Tanpa banyak kata lagi, mungkin karena sudah paham apa yang kumaksud, Bu Minah menjawab, "Ibu doakan sampean juga selamat Mas. Al-Fatihah."

Tak butuh waktu lama, akupun tertidur karena memang tubuh asliku sudah sangat mengantuk. Tapi aku punya misi misterius ini, yang akupun belum tahu berhasil atau tidak.

Lapisan pertama kini adalah ruang bermain SD Santa Maria tempatku menimba ilmu dulu. Aku harus mencari sebuah pintu yang bisa kubuka, untuk masuk ke level selanjutnya.

Kugapai pintu berwarna merah, tempat yang kuhafal sebagai gudang penyimpanan bola untuk olahraga. Rasanya mual sekali, jangan sampai aku terbangun dahulu.

Akhirnya aku masuk pintu itu, dan kini dengan jelas kulihat tubuhku kembali terlentang di atas kursi kayu. Bedanya, ada Bu Minah yang komat-kamit berdoa di atas kepalaku. Ia berlutut dan telapak tangan kanannya mengusap dahiku dengan lembut. 

Aku sangat terharu, melihat betapa cinta dan kepercayaan Bu Minah, padahal hanya kukenal beberapa jam lalu. Aku doakan semoga anaknya, Ragil, segera sembuh dan tak sakit lagi.

Waktuku tak lama! Aku lalu menghadap ke jalan depan Rumah Sakit Rakanza. 

Dalam mimpi kita tidak tahu sedang berjalan atau melayang, tetapi terasa pergerakan ini cepat sekali. Hingga dalam kegelapan subuh ini aku putuskan berteriak,

"Bu Karni! Bu Karni!" 

Lima detik kutunggu belum ada jawaban,

"Bu Karni!"

"Iya.. Saya Disini. Tolong saya!"

Tak lama astral saya pun segera mengajak Bu Karni masuk ke ruang IGD, hingga ke depan tubuhnya. Ia menangis tanpa mengeluarkan air mata.

"Bu, coba ibu tidur di posisi yang sama."

"Iya, terimakasih Mas."

"Sama-sama, Bu."

"Siapa nama Mas-nya?"

"Astra, Bu."

"Sekali lagi, terimakasih Dokter Astral."

Karya : Gregorius Satria

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun