Lalu aku menoleh ke kanan, ke arah counter jaga IGD. Ada seorang bapak yang terisak tangis dalam duduknya. Punggungnya ditepuk-tepuk oleh dokter pria. Sepertinya suami bu Karni ini sudah hilang harapan.
Aku terus berjalan ke arah bed nomor 3 tempat ibuku terbaring. Aku tahu di bed nomor 4, adalah tempat Bu Karni akan meregang nyawanya. Tertutup oleh tirai kelambu warna putih-hijau, aku masih belum berani menyingkapnya.
Maka kuputuskan untuk masuk ke bed ibuku saja dan berdiri di samping kiri ibuku yang terlelap.
Wajah cantik ibuku yang kini dihiasi beberapa helai rambut putih, tampak tidur dengan nyenyak. Lebih tenang dari sebelum kutinggal ke ruang jaga tadi. Pada monitor detak jantung kulihat angka 90, yang sepengetahuanku cukup normal untuk pasien IGD.Â
Tapi hatiku tidak tenang, seperti harus melakukan sesuatu dengan segera. Aku tahu sedang membelakangi tubuh Ibu Karni yang jiwanya tengah mencari-cari tubuhnya.Â
Jarakku tidak sampai dua meter dengannya, dan hanya berbatas kelambu putih-hijau ini.
Tiada tanda manusia lain di bed Bu Karni. Suaminya masih berada di counter depan. Meskipun Code Blue, ia ditinggal sebentar oleh beberapa perawat yang pontang-panting mengambil obat.Â
Hanya buka tirai, tutup lagi.
"Aku harus menghafal wajahnya." bisikku dalam hati.
Tidak sampai tiga detik, aku buka dan tutup tirai kelambu itu. Aku hafal wajanya, yang meski darahnya sudah dibersihkan masih tersisa jahitan segar di sepanjang dahi kanannya. Ada tahu lalat cukup besar di atas bibir. Ya, aku sudah hafal.
Lalu aku beranjak ke arah depan IGD lagi. Bu Minah menyapaku dengan lambaian, namun aku langsung menarik tangannya untuk keluar ruang IGD.