Padahal dalam hati si pengambil resiko, akan berkata "Tidak mencoba adalah kegagalan yang sebenarnya.".
Menjadi menarik seandainya kedua orang berbeda kutub ini saling berinteraksi sebelumnya. Mereka membicarakan pandangan masing-masing, target masing-masing, mencari jalan tengah untuk bekerja sama, sehingga bisa saling membantu mencapai tujuan.
Berhasil? Belum tentu! Tapi karena ada rekan seperjuangan, kegagalan pun akan menjadi penuh hikmah. Itulah Kolaborasi.
Tradisi yang Membentuk Alergi Berkolaborasi
Tentu ada banyak aspek yang menjadikan banyak orang sulit untuk berkolaborasi. Selain karena sifat individualis, bisa jadi alergi kolaborasi ini terbentuk pengalaman pahit, doktrin dari lingkungan maupun tradisi "perlombaan sukses".
Saya akan lebih membahas faktor terakhir tersebut, karena tradisi "perlombaan sukses" kerap terjadi, namun tidak disadari.
Dalam lingkup kecil, keluarga dengan dua orang anak sedang menjalani makan bersama. Sang ibu menanyakan kepada kedua anaknya, bagaimana hasil Ujian Menggambar tadi siang?
Anak pertama yang memang mempunyai bakat menggambar, dengan lantang menceritakan kesuksesannya mendapat nilai 100. Ayahnya berkata, "Good Job, tingkatkan lagi bakatmu."
Lalu ketika giliran anak kedua, jawabannya kurang baik di telinga Sang Ayah, sebab nilainya hanya 60. "Makanya kamu belajar menggambar sama Kakak, biar bisa dapat nilai bagus!"
Kenyataannya, Si Bungsu lebih memiliki bakat fotografi dibanding kakaknya. Jikalau saja mau menanamkan tradisi berkolaborasi, adik berkakak ini tidak akan dipisahkan jarak "siapa lebih sukses".
Beralih ke lingkungan lebih luas, dimana ini menjadi alasan kuat malasnya kumpul keluarga besar. Dalam momen Hari Raya, baik Natal bagi kaum Kristiani, ataupun Idul Fitri bagi kaum Muslim, penghakiman kedua selain pertanyaan "Kapan Nikah", adalah "Seberapa Sukses Kamu?"
Kadang tidak perlu menjawab lisan, tetapi upaya untuk membuka pinjol guna DP motor atau mobil baru supaya bisa dipamerkan, sudah menjadi akibat alergi kolaborasi ini.