Mohon tunggu...
Greg Satria
Greg Satria Mohon Tunggu... Wiraswasta - FOOTBALL ENTHUSIAST. Tulisan lain bisa dibaca di https://www.kliksaja.id/author/33343/Greg-Satria

Learn Anything, Expect Nothing

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Anak Bukan Aset Hari Tua (?), Bisa Jadi Layanan "Seperti Panti Jompo" Dibutuhkan

5 Juni 2024   10:31 Diperbarui: 5 Juni 2024   10:41 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pasien lanjut usia di Panti Jompo. sumber : (Shutterstock/FamVeld) via kompas.com

Tergugah lagi minat saya untuk menuliskan artikel selain sepakbola, terutama setelah tulisan "Rumah Hantu, Jadi Memori Sukses First Date Saya!" dipilih oleh admin kompasiana menjadi Artikel Utama. Topik Pilihan yang kali ini saya bahas adalah, Panti Jompo Bukan Budaya Kita?

Butuh pemahaman secara holistik untuk membahas topik pro-kontra ini. Saya telah membaca banyak sudut pandang dari kompasianer-kompasianer senior yang cukup konsen menolak wacana Orang Tua Dititipkan di Panti Jompo. Alasannya bisa beragam, tetapi muaranya adalah keinginan dari para lansia untuk menikmati hari tua bersama keluarga.

Jawaban tersebut memanglah "kurva normalnya", lazim dan juga benar. Namun saya coba membalik sudut pandang, dari keluarga, dan terutama anak, yang jadi sorotan tuduhan tega memasukkan orang tua mereka ke panti. Mari kita secara seksama mendengar cerita teman saya ini,

"Capek saya harus mengalah menjadi caregiver, sementara kakak-kakak saya yang lain bisa berkeluarga dengan normal dan dibanggakan keluarga."

"Seandainya bisa memilih, saya mau menikah lebih awal dan meninggalkan rumah. Saya menyesal."

"Ada satu titik saya sudah ikhlas, tetapi orang tua saya tidak bisa diajak berkompromi. Rasa bangga yang besar akan masa lalunya, tidak bisa ditekuk oleh waktu. Sampai saya memahami secara medis, ayah saya mengidap dimensia."

"Tentu ia merasa sehat, orang paling sehat sedunia. Bahkan meremehkan saya yang mengidap gerd karena tekanan harus menjaganya sembari terus merenung bagaimana sisa hidup saya."

"Teman saya seorang dokter, menyarankan saya harus menjaga pola makan ayah saya dan mengajaknya berolahraga. Sementara kakak-kakak saya dan keluarga yang lain hanya bisa mengancam, sambil menjelaskan "kami sudah punya keluarga, sementara kamu belum. Awas kalau ada apa-apa sama papa.""

Dan akhirnya teman saya, sebut saja namanya Rudi, meninggalkan ayahnya yang berusia 75 tahun sendirian di rumah itu, tepat setahun setelah ibunya tiada karena sakit. Life must go on baginya.

Tentu ia sudah berupaya menghubungi banyak pihak seperti keluarga, gereja (komisi sosial) maupun panti jompo untuk menanyakan kemungkinan bisa membantu merawat ayahnya setelah ia berjibaku menjaga ibunya yang sakit dalam durasi 5 tahun sebelum wafat.

Satu hal yang menyusahkannya tentu adalah ayahnya tidak akan pernah mau dititipkan di tempat penampungan lansia. 

Sekali lagi, ayahnya merasa sehat (bahkan paling sehat sedunia), tidak akan pernah mau meninggalkan rumah yang dimiliki dan dipunyainya, serta menuntut kepada Rudi bahwa dia adalah aset untuk menjaga orang tua hingga uzur, sementara kakak-kakaknya adalah aset yang berperan secara finansial.

Itulah penggalan cerita Rudi, teman saya. Yang mungkin jarang terjadi di masyarakat umum, anomali. Namun berkaca dari kasusnya, saya rasa memang penting untuk menyediakan "layanan seperti Panti Jompo" bagi para oknum lansia keras kepala yang tetap menganggap anak adalah asetnya seumur hidup.

Anak Bukan Aset di Hari Tua (?)

Saya lebih merefleksikan saja kalimat Anak Bukan Aset di Hari Tua (?) sebagai pertanyaan. Karena dalam proses mematenkan hal ini sebagai self-theory masing-masing, butuh jutaan kalori yang terbuang dalam wujud, pengalaman.

Pengalaman setiap lansia berbeda-beda. Ada yang membangun keluarga dengan basis komunikasi egaliter, ada pula yang membangun berpondasikan otoritarian. Mereka yang otoriter pun ada yang sadar, bahwa anak bisa menentukan keputusan sendiri semisal di umur 17, 20 atau ketika sudah melepas masa lajang.

Kebetulan, teman saya Rudi, punya ayah yang otoriter sepanjang segala abad. Dengar-dengar sih dia pensiun dini dari dunia militer. Ya sudahlah, kita kembali ke laptop.

Mindset mengenai anak "aset/bukan" ini, suatu saat akan dipahami oleh anak yang bersangkutan di fase dewasanya. Ia bisa membandingkan dengan lingkungan sekitar, teman, rekan kerja, atau yang teraparah adalah calon pasangan. Sebagai manusia, ia akan mencari jalan keluar terbaik baginya dahulu.

Beberapa anak yang orangtuanya punya mindset "Anak adalah aset", mungkin berani berdialog dan mengcounter pernyataan ayah-ibunya tersebut. Tetapi mereka yang cenderung introvert, mungkin hanya bisa memendamnya saja.

Jalan keluar yang dipikirkan bisa pula beragam. Ada yang memilih nikah cepat seperti kakak-kakak Rudi, ada pula yang memilih bekerja di luar kota atau luar negeri. Bagus bila apa yang dilakukannya itu atas dasar cinta terhadap keluarga (baru) ataupun cinta pada pekerjaan. Tetapi tidak sedikit loh yang melakukan karena "Mau Kabur Saja".

Akhirnya tersisa sesosok caregiver di dalam rumah induk. Bisa anak bontot ataupun anak yang belum menikah. Banyak sudah kita dengar mengenai kisah ini. Mereka ada yang sepenuh hati menjaga ortu hingga ajal menjemput, tetapi ada pula yang tertekan dengan sifat negatif bawaan orang tua, seperti Rudi.

Sedikit normatif, muaranya adalah Cinta. Anak tidak akan melupakan kasih sayang yang diberikan orangtuanya ketika masih kecil. Orangtua juga sewajarnya menerima balasan cinta dari anaknya ketika ia membutuhkan. Tetapi ada syarat khususnya nih, sepadan. Semakin dewasa, kita secara naluriah akan menakar sesuatu, termasuk cinta.

Selain Tuhan YME, kita punya takaran untuk mencintai diri sendiri, mencintai orang tua, mencintai pasangan, mencintai anak, mencintai cucu, mencintai pekerjaan/hobby dan jika diberi umur panjang maka bisa pula mencintai cicit kita. 

Roda akan berputar, dimana bila kita bisa menerima posisi kita dalam hidup berdasarkan waktu, lingkungan juga akan menerima kita. Anak tetap menjadi anak, tetapi dia bisa jadi akan berkeluarga dan memfokuskan diri pada keluarga kecilnya yang mungkin masih terseok-seok. Harapan mereka kepada sosok orang tua, adalah hadir dan menaungi.

Jika semua bisa berjalan sedemikian indahnya, tentu Panti Jompo tidak akan ada pasien lagi, kecuali para lansia yang memang tidak mempunyai keluarga. 

Menyediakan Layanan Masyarakat Seperti Panti Jompo

Akhirnya mari membahas solusi bagi para lansia yang tentu membutuhkan bantuan, disaat anak-cucunya memang sedang berhalangan karena prioritas pada hal lain. Disini clear saya tidak mengatakan "kesibukan", ya.

Sebelum membahas Panti Jompo, ada banyak layanan lain yang bisa ditawarkan bagi para lansia ataupun keluarga yang bersangkutan. Baik itu pelayanan kesehatan fisik, pelayanan kesehatan jiwa maupun membantu kesehariannya jika ditinggal sendiri di rumah.

Artikel sangat baik diberikan kompasianer Ibu Meike Juliana Matthes dalam tulisannya "Nachbarschaftshilfe" di Jerman: Dukungan Relawan bagi Lansia di Rumah".

Beliau menjelaskan dengan gamblang pengalaman menjadi relawan para lansia atau yang membutuhkan di Jerman, dengan metode datang ke rumah yang bersangkutan. Bisa dalam bentuk menemani berjalan, berbelanja, membelikan obat atau bahkan jika ada yang mau bisa memberi bantuan membersihkan rumah.

Semua tentu sudah terkalkulasi, dengan honorarium sesuai kesepakatan, dimana yayasan tempat bernaung para relawan ini bisa merupakan bentukan pemerintah, swasta, ataupun kerohanian.

Saya juga sempat mengetahui beberapa film Barat, dimana anak yang jauh dari orang tua bersepakat membayar iuran tertentu kepada Lembaga Sosial ini agar orang tuanya bisa mendapatkan bantuan yang layak. Mereka ke rumah seminggu tiga kali, dua kali, ataupun sekali sesuai kesepakatan.

Nah, hal ini yang seharusnya bisa dibangun di kota metropolis Indonesia. Secara khusus saya sebut kota metropolis, karena di daerah pinggiran atau pedesaan, masyarakatnya masih relatif mau bahu membahu dengan tingkat sosial tinggi. Sedangkan jika di kota, tetangga sebelah kerap juga tidak terlalu kenal dan jarak rumah yang berjauhan menjadi kendalanya.

Akhirnya, baru bisa bicara Panti Jompo sebagai end-up wadah para lansia, jika semuanya tidak memungkinkan. Para orang tua terlantar, tidak punya keluarga, ataupun dengan kondisi khusus lainnya yang butuh penanganan secara intensif bisa dipersilakan menjadi komunitas para lansia tersebut.

Lokasi dan lingkungan yang baik, perawat yang berdedikasi serta tentu bantuan para donatur menjadi syarat mutlak membangun Panti Jompo yang tepat guna. Sekali lagi, peran pemerintah disini sangatlah besar, apakah selamanya hanya kebijakan upside-down yang dilakukan? Atau mau mendengar jeritan dari bawah serta membaca artikel pembanding di luar negeri seperti tulisan Bu Meike?

Salam 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun