Jerman dan Spanyol boleh berbangga dengan pelatih-pelatih yang sekarang sedang menguasai klub besar dunia seperti Jurgen Klopp, Hansi Flick, Pep Guardiola ataupun Mikel Arteta. Tetapi basis pengetahuanstrategi sepakbola dari negara mereka itu leterlek, berdasarkan blueprint sepakbola nasional.Â
Spanyol misalnya dengan tiki-takanya. Pelatih-pelatih asal Spanyol kebanyakan menggunakan formasi sama 4-3-3 dengan pendekatan menguasai ball-possesion. Demikian pula di Jerman yang menggunakan 4-2-3-1 dengan pressing ketatnya. Ilmunya menurun dan sedikit dimodifikasi.
Di Italia, para pelatih lokal berlomba menciptakan formasi ataupun strategi yang menjadi trademark atau jati diri mereka, sehingga akan terkesan "keras kepala".
Sebagai contoh, Marcelo Lippi tidak akan meninggalkan 4-4-2 flat. Carlo Ancelotti dengan formasi pohon Natal  4-3-2-1, lalu Maurizio Sarri dengan 4-3-3 ala Sarriball-nya. Bahkan ada pelatih bernama Gian Piero Ventura yang sempat menangani Gli Azzurri, memperkenalkan formasi nyeleneh 4-2-4.
Generasi berikutnya, ada Antonio Conte dengan 3-4-3 dan kini Simone Inzaghi yang berjaya dengan 3-5-2 nya. Semua pelatih Italia ini dikenal "kepala batu" karena tidak akan mengganti strateginya. Pemainlah yang harus bisa fit-in masuk kedalam formasi racikannya. Ya bagaimana lagi, ini merupakan wujud Italian-proud.
Berbeda dengan mereka, Thiago Motta mempunyai asimilasi yang kuat dari empat negara sepakbola. Ia merupakan pria berdarah Brasil yang berkarier di Spanyol pada masa mudanya. Kemudian berlanjut ke Italia hingga memperoleh kewarganegaraan, dan akhirnya menutup karier di Prancis.
Jadi bisa dibayangkan bagaimana ia menyerap semua keilmuan sepakbola itu, dan mulai memimpin sepakbola Italia menjadi lebih adaptif terhadap perubahan.
Racikan Motta Mencampur Tiga Bumbu : Peran, Kreativitas dan Keberanian
Sudah banyak pundit lokal maupun internasional, menganggap Thiago Motta mencampur strategi Jose Mourinho, Pep Guardiola dan Gian Piero Gasperini. Sebenarnya tepat juga, karena Motta pernah dilatih pelatih-pelatih tersebut selama karier nya di lapangan hijau.
Tentu kita tidak akan lupa bagaimana Thiago Motta menjadi bagian integral strategi serangan balik Mourinho untuk meraih gelar treble 2009/2010 bersama Inter Milan. Meski melewatkan final UCL gegara "kelicikan" Sergio Busquets, ia merupakan penopang utama lini tengah Nerazzuri kala iitu.
Menarik memang melihat bagaimana pemain yang berposisi sebagai gelandang bertahan sepertinya, punya kemungkinan sukses yang tinggi di bidang kepelatihan. Sebut saja Pep Guardiola, Diego Simeone, Mikel Arteta dan Xabi Alonso ada di antaranya. Banyak berpendapat, karena mereka yang diposisi nomor 6 inilah yang melihat lapangan paling luas!