Menjadi seorang pesepakbola di era sekarang ini, cedera fisik bukanlah satu-satunya masalah utama yang di hadapi. Tekanan yang tinggi karena padatnya jadwal, serta "demanding"nya para penggemar untuk melihat performa bagus tiap pekan, membuat psikoterapi jadi rujukan untuk tetap menjadi "manusia".
Dalam wawancara jelang pertandingan persahabatan melawan Inggris, Richarlison, penyerang Brasil membagikan pengalamannya ketika menghadapi kesehatan mental.
Penyerang klub Tottenham Hotspur ini terlihat menangis di bench usai diganti pada menit 71' saat Brasil menang 5-1 atas Bolivia, 9 September 2023. Kejadian ini memantik rasa heran, karena di laga itu sebenarnya ia tampil cukup bagus meski tak sumbang gol dan assist.
Setelah laga itu, Richarlison memberanikan diri menemui psikolog untuk mengatasi masalahnya mentalnya. Kala itu, ia hanya membuka sedikit info bahwa masalah yang dihadapinya adalah hal di luar lapangan. Ya, ini kerap dilupakan fans, bahwa pemain sepakbola juga manusia yang tentu mempunyai masalah mental ataupun sosial.
Pada Kamis, 21 Maret 2024 kemarin, Richarlison dalam wawancaranya ketika melakukan kamp latihan bersama Timnas Brasil kembali mengungkit masalah yang pernah dihadapinya tersebut. Ia mengingatkan kepada siapapun, termasuk rekannya di Timnas Brasil untuk tak sungkan-sungkan ke bantuan psikologis jika menghadapi masalah mental.
"Sebagai pemain tim nasional yang memiliki suara aktif, saya ingin memberitahu orang-orang untuk mencari bantuan dan saya dapat mengatakan itu secara khusus, karena hal itu menyelamatkan hidup saya. Saya bahkan berbicara dengan Joao [psikolog] di sana pada hari dia datang ke rumah, jadi dia menyelamatkan hidupku karena aku sudah berada di titik terendah."Â ucapnya dikutip dari Skysports.
Lalu bagaimana hasilnya bagi Richarlison? Sejak terapi itu dilakukan, ia berhasil mencetak 9 gol dari 13 laga terakhir bersama Spurs. Performa gemilang inilah yang membuatnya dipanggil lagi ke Timnas Brasil jelang laga persahabatan lawan Inggris dan Spanyol.
Psikolog Sama Pentingnya dengan Pelatih Fisik dan Health Coach.
Menjadi pesepakbola di era sebelum tahun 2005, tuntutan akan kesehatan fisik pemain lebih diutamakan dibanding kesehatan mental. Alasannya jelas, karena pada masa itu dunia belum akrab dengan internet dan sosial media yang dijadikan ajang interaksi langsung fans atau haters dengan si pemain.
Jika performa pemain jelek di lapangan, mungkin hujatan hanya ada pada kolom media cetak, dan tidak mendapat justifikasi dari khalayak ramai. Tetapi sekarang berbeda, jatuh kepeleset di lapangan seperti Steven Gerrard saja sudah bisa menjadi meme yang membekas seumur hidup.
Pemain bola di zaman sekarang harus punya support system yang baik, selain tentu peran keluarganya sendiri. Orang tua mungkin akan bisa mengarahkan ketika usia si anak hingga 15 tahun, dengan pengetahuan awam mengenai skill, kesehatan dan mental.
Tetapi jika sudah mengarah ke dunia pro, maka kebutuhan yang lain harus selaras dengan mengasah skill sepakbolanya.Â
Di dalam klub sepakbola (yang well-prepared), tentu sudah ada pelatih fisik, health coach, chef, bahkan dokter atau psikolog tim. Mereka tentu bertanggung jawab atas tugas masing-masing di segala aspek di luar skill bermain sepakbola.
Pelatih fisik akan bertanggung jawab menjaga kebugaran fisik pemain selama membela klub tersebut. Tantangan terbesar bagi mereka biasanya setelah libur akhir musim atau libur Natal. Sekembalinya para pemain dari tradisi "makan-makan" keluarga, mereka bertugas mengembalikan fisik pemain dengan rangkaian program fitness.
Menjadi mata rantainya juga, ada Health Coach dan Chef yang akan merancang program diet atau nutrisi pemain. Mereka akan menghitung secara scientific, asupan apa saja yang akan diberikan kepada pemain agar metabolik tubuhnya bekerja dengan baik. Plus, menghalangi zat-zat terlarang (doping) yang bisa dikonsumsi pemain tersebut.
Kemudian menjadi hal yang mulai lumrah dewasa ini, ada seorang dokter kejiwaan ataupun psikolog (dimana ini tergantung kebijakan klub) untuk mendampingi pemain-pemain yang sedang mengalami masalah mental. Hanya seperti yang Richarlison sampaikan, kebutuhan yang sifatnya privasi ini menuntut peran aktif dari kedua belah pihak.
Maka dari itu banyak juga pemain profesional yang meski menikmati fasilitas dari klub di atas, juga mempunyai masing-masing "rekan" pribadi. Personal Trainer pribadi, nutrisionist pribadi, maupun psikolog pribadi.
Jadi ini menjadi catatan khusus bagi orang tua yang sedang melakukan "project Mbappe". Bahwa selain masalah skill, intelegensia dan fisik, juga harus diperhatikan kesehatan mental anaknya jika ingin terjun ke dunia profesional.
(Project Mbappe merujuk pada bahasa slang di kalangan bola, yang menunjukkan peran aktif orang tua mendorong anaknya menjadi pesepakbola hebat seperti Kylian Mbappe)
Kisah Dele Alli Hadapi Masalah Mentalnya
Salah satu pemain yang paling disayangkan oleh Jose Mourinho karena gagal dalam kariernya, adalah Dele Alli. Mourinho pernah membesut Dele Alli kala menjadi pelatih Spurs periode 2019 sampai 2021.
Dalam sebuah sesi empat mata yang viral di media sosial, Mourinho berkata kepada Alli bahwa ia telah menyia-nyiakan bakatnya. "Waktu berlalu. Suatu saat Anda pasti menyesal, jika Anda tidak mendapat apa yang seharusnya Anda bisa dapatkan." ucap Mou dalam tayangan yang diluncurkan di Amazon Prime tersebut. Â
Waktu pun berlalu, dan omongan Jose Mourinho menjadi kenyataan. Dele Alli kesulitan menemukan tempatnya di Spurs, dan pindah ke Everton hingga dipinjamkan ke Liga Turki. Ia kini berusia 27 tahun, dan belum memainkan satu laga pun bersama Everton musim ini.
Pada podcast The Overlap bersama Gary Neville, legenda Manchester United, Dele Alli akhirnya membuka tabir permasalahan mentalnya. Meskipun ia tahu, speak up ini akan menimbulkan hujatan di kemudian hari karena seakan hanya menjadi excuse atau alasan saja baginya untuk gagal berprestasi.
"Saya kecanduan obat tidur, ini adalah masalah yang tidak hanya saya alami. Ketika saya kembali dari Turki, saya harus menjalani operasi. Secara mental, saya di tempat terburuk. Saya memutuskan pergi ke fasilitas rehabilitasi modern yang menangani kecanduan dan kesehatan mental serta trauma. Saya merasa ini adalah waktu yang tepat untuk saya," ujar Dele Alli dikutip dari Goal via kompas.com (Juli 2023).
Namun bagian terburuk baginya, adalah bayang-bayang akan memutuskan pensiun di usia 24 tahun. Lihat lagi obrolan dengan Jose Mourinho di atas, ternyata ia mengejawantahkannya sebagai pengalaman paling negatif dalam hidupnya.
"Mungkin momen paling menyedihkan bagi saya adalah ketika Mourinho menjadi manajer. Saya pikir saat itu saya berusia 24 tahun. Saya ingat ada satu sesi di mana saya bangun pagi dan berlatih, ini saat dia berhenti memainkan saya. Saat itu, saya hanya menatap cermin dan bertanya apakah saya bisa pensiun sekarang pada usia 24 tahun, melakukan hal yang saya sukai. Bagi saya, hal itu sangat memilukan karena saya berpikir pensiun pada usia itu,"Â katanya menambahkan.
Ada pro dan kontra akhirnya merebak mendengar pengakuan Dele Alli ini. Satu pihak ada yang mendukungnya, di lain pihak menganggap bahwa ia tidak menangkap pesan motivasional dari Mourinho.
Di sinilah sebenarnya peran dari psikolog bisa menengahi. Dele Alli mungkin saja terlambat mendapat penanganan atas masalah mentalnya, tidak seperti Richarlison.
Sekali lagi, butuh keterbukaan dari sisi pemain juga untuk melihat bahwa kebutuhan psikoterapi (terapi psikologi) bukan hal yang tabu. Tidak ada yang dapat menolongnya, kecuali dirinya sendiri mengakui bahwa butuh pendampingan secara mental.
Lalu Apa Saja yang Dilakukan Dalam Psikoterapi Pemain Bola?
Dalam jurnal yang ditampilkan Psychology Beverly Hills disampaikan bahwa ada dua metode yang lazim digunakan kepada atlet, yakni CBT (Cognitive-Based Therapy) dan MBT (Mental-Based Theraphy).
Dalam CBT, akan diselami lagi bagaimana sudut pandang atlet menyikapi sebuah masalah. Lalu dalam terapi ini, akan dipilah mana yang merupakan asumsi negatif, lalu disingkirkan. Sehingga diperoleh sudut pandang obyektif penanggulangannya.
Tujuan dari CBT adalah untuk menambah rasa percaya diri atlet, meningkatkan konsentrasi, dan meminimalkan gangguan dan emosi. Bisa dikatakan, terapi ini cocok untuk pemain dalam mengahdapi cibiran-cibiran netijen. Hehehe.Â
Kemudian yang kedua, MBT, adalah perpaduan beberapa teknik terapi termasuk CBT di dalamnya. Dalam penanganan yang komprehensif ini, banyak atlet yang membutuhkannya ketika menghadapi sebuah kemunduran karier, seperti Richarlison dan Dele Alli. Penanganan mental paska cedera panjang juga bisa menjadi salah satu kegunaan terapi MBT ini.
Goal yang akan dicapai ialah pemain bisa mengatasi hambatan mental, memiliki keterampilan pengaturan emosi, serta bisa mempunyai keputusan strategis yang lebih baik lagi.
Nah, dari sini memang harus menjadi concern para pelaku sepakbola untuk memperhatikan aspek mental dalam kehidupan pemain. Mental paska cedera, kemunduran karier, cibiran netizen, bahkan mungkin over-proud karena sanjungan banyak orang bisa di minimalisir dengan peran penting psikoterapi.
Semoga artikel ini bermanfaat, Salam Olahraga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H