Bola lemparan dengan putaran yang minim, akan bergerak ke kanan dan kiri melawan pergerakan angin. Sehingga timing untuk menyundul bola bisa menjadi tidak tepat, dan menciptakan kemelut di depan gawang.
Lalu apa tidak ada solusinya? Tentu ada, yakni kiper yang mempunyai kelebihan menggunakan tangannya di udara bisa lebih mudah meredam bola tersebut. Tetapi disinilah indahnya strategi set-piece sepakbola.
Susunan pemain menyerang, dalam hal ini Timnas Indonesia, akan terbebas dengan aturan offside pada saat lemparan ke dalam dilakukan. Berbeda halnya jika set-piece tendangan bebas atau sepak pojok terjadi, offside masih dihitung.
Jadi ada satu pemain yang menjadi screen di depan kiper lawan. Tugasnya untuk menghalangi kiper mendapatkan ruang lari untuk menyambut bola. Kiper hanya akan bisa melakukan lompatan vertikal ke atas, atau bahkan hanya bisa menunggu di depan gawang seperti dilakukan kiper Vietnam, Nguyen Filip semalam.
Tugas screen-ing dilakukan oleh pemain sengan tubuh paling tinggi. Elkan Baggott kerap mengambil peran ini sebelumnya, dan semalam giliran Jay Idzes yang menggantikannya.Â
Kemudian ada satu atau dua pemain yang bertugas mencari jalur loncat untuk menyambut bola. Mereka biasanya ikut dalam rombongan pemain bertahan lawan, dan akan beradu duel di udara atau sekedar mengganggu pandangan kiper.
Pemain lainnya, bertugas memperhatikan second-ball. Egy Maulana berhasil melakukannya di laga semalam, dengan bersiap menyambut bola kemelut di depan gawang.Â
Gol Sandy Walsh ke gawang Jepang juga memanfaatkan peran serupa. Pemain-pemain ini akan menghadap ke gawang ketika bola sudah dilemparkan.
Maka dari itu, klaim Coach STY mengenai gol Egy bukanlah keberuntungan adalah hal yang benar. FYI, klub besar seperti Arsenal, Manchester City dan Chelsea kini pun memiliki pelatih spesialis untuk kondisi set-piece . Sepak bola kini semakin rigid, jadi mengharuskan pelatih harus memutar otak ciptakan momentum cetak gol.
Coach STY Membangun Timnas dari Lini Belakang
Banyak yang membandingkan bahwa dari sisi permainan, Timnas di arahan Luis Milla lebih atraktif dibandingkan era Shin Tae-yong. Itu sah saja dilakukan, karena memang pendekatan permainan keduanya berbeda.