Perlu dicatat, saya tidak menyamakan dua peristiwa ini sebagai dua hal yang sama persis terjadi. Di sisi ini saya hanya ingin membandingkan bagaimana cara berpolitik di entitas lain, yakni FIFA.
Secara garis besar Qatar pada tahun 2010 telah ditunjuk FIFA sebagai penyelenggara Piala Dunia Pria tahun 2022. Tidak seperti biasanya, Piala Dunia 2022 akan digelar di pertengahan musim. yakni periode Desember dan Januari. Hal ini dikarenakan jika jadwal mengacu pada kebiasaan (Juni-Juli), suhu di Qatar sedang sangat tinggi-tingginya.
Keputusan ini telah dibuat secara sah oleh mayoritas Komite FIFA. Legal standing-nya ada, dan selamat kepada Qatar telah menjadi penyelenggara salah satu Piala Dunia terbaik di sepanjang masa. Ini merujuk pada luar biasanya turnamen ini digelar dua tahun lalu, dan menyajikan final Piala Dunia paling epik sejauh ini antara Prancis dan Argentina.
Tentu ada banyak penolakan setelah FIFA memutuskan Qatar menjadi tuan rumah Piala Dunia. Para pemain bersuara tentang resiko tinggi bermain di pertengahan musim. Stakeholder sepakbola pun merujuk pada penolakan Qatar terhadap LGBTQ akan menodai semangat pemersatu sepakbola. Dan pada prosesnya, liputan tentang pembangunan stadion dikritik karena disinyalir membayar buruh-burih dengan upah yang minim dengan tuduhan pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Semuanya adalah temuan dari satu sisi, yakni yang menolak Qatar sebagai tuan rumah. Apakah mereka bisa merubah keputusan FIFA? Tidak. Banyaknya petisi yang ditandatangani tidak ada bandingannya dengan kepuasan para pecinta sepakbola atas suguhan yang diberikan Qatar sebagai tuan rumah. Keputusan ini sah dan terbukti berhasil, selebihnya sudah lupa tuh.
GUNAKAN HAK ANGKET UNTUK DEMOKRASI, BUKAN UNTUK SYAHWAT POLITIK
Jika ditanya siapa yang berhasil menunjuk Qatar sebagai salah satu tuan rumah Piala Terbaik yang pernah ada, Sepp Blatter lah orangnya. Mantan Presiden FIFA periode 1998-2015 ini adalah pemimpin Kongres FIFA yang tetapkan Qatar menjadi tuan rumah secara sah, dengan mendapat suara mayoritas dari para anggota FIFA.
Hingga pada akhirnya, muncullah penyelidikan oleh komite independen yang mengendus adanya suap dibalik penunjukan Qatar sebagai tuan rumah. Keseluruhan proses penyidikan ini "mencaplok" 3 nama besar, yakni Mohammed Bin Hammam, Michel Platini, dan Sepp Blatter itu sendiri. Semua cerita di balik layar ini telah tersaji dalam sebuah dokumenter Netflix berjudul FIFA Uncovered. Untuk ulasan dokumenter tersebut bisa dibaca di link ini : "FIFA Uncovered" dan Kontroversi Piala Dunia Qatar".
Poin yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini, adalah agar Hak Angket yang sudah diserukan oleh Pak Ganjar Pranowo, bukan merupakan sebuah kesia-siaan untuk syahwat politik, jika hanya ingin gagalkan jalan Prabowo-Gibran.Â
Berusaha melihat dari kedua sisi, memang akan ada kekecewaan dalam sebuah kekalahan. Tetapi kemenangan sesungguhnya adalah jika mampu menerima kekalahan, dan terus berjuang mencari keseimbangan demokrasi yang seutuhnya untuk rakyat.