Untuk sesekali, mohon izinkan saya menulis artikel tentang dunia perpolitikan tanah air. Meskipun tetap saja, ada pengaruh pandangan sepakbola yang saya jadikan rujukan. Opini saya ini tentang isu Hak Angket, Pilpres 2024, dan Piala Dunia Qatar 2022.
Sudah menjadi berita umum bahwa Capres nomor urut 3, Pak Ganjar Pranowo, melemparkan ide penggunaan Hak Angket DPR sebagai jalan berikutnya atas temuan kecurangan yang diperoleh Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud.
Secara awam, saya mencerna Hak Angket sebagai hak yang dimiliki DPR untuk melakukan investigasi atas sebuah undang-undang atau kebijakan yang berakibat strategis atau berdampak luas pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tentu dapat dikatakan masuk dalam kategori strategis ini.
Lalu apa yang diinginkan Pak Ganjar dengan lontaran ide ini? Tentu besar harapannya DPR melakukan investigasi komprehensif sehingga bisa menunjukkan bahwa data TPN adalah sahih, bahwa terjadi kecurangan dalam pilpres 2024 ini.Â
Bagi saya, permasalahan besarnya adalah berapa suara yang diklaim "hilang" akibat kecurangan yang dituduhkan ini?Â
Suara Ganjar-Mahfud jika merujuk pada Real Count KPU per 22 Februari 2024 (malam) adalah 17.05% suara dari 75.26% data yang masuk. Untuk paslon 01 (AMIN) berada di angka 24.06%, sedangkan pemimpin klasemen sementara paslon 02 Prabowo-Gibran di angka 58.89%.
Logika berpikir saya, dengan menghuni peringkat paling buncit di antara ketiga paslon, Pak Ganjar berasumsi bahwa dengan Hak Angket ia bisa menggagalkan keseluruhan hasil pemilu Presiden. Karena jika dipaksakan hanya mengurangi sekitar 8.9% dari suara Prabowo-Gibran, tidak akan menjamin kelolosan mereka pula di putaran kedua.
Maka dari itu timbullah ajakan kerjasama kepada THN (Tim Hukum Nasional) paslon 01 Anies-Muhaimin. Ajakan ini harusnya bukanlah bersifat individual paslon, tetapi secara kolegial merangkul seluruh parpol pengusung kedua paslon.
Bukan main-main loh isinya. Ada PDI-P, Nasdem, PKB, PKS dan PPP yang berada di DPR dengan total kursi 60.51 %. Jika mereka kompak (meskipun saya pesimis), akan dengan mudah melanggengkan Hak Angket yang hanya harus diusulkan 25 anggota DPR dan disetujui lebih dari setengah jumlah kursi DPR yang hadir.
Masalahnya, pernyataan Pak Ganjar ini bukan ajakan resmi yang keluar dari mulut Bu Megawati sebagai ketua Parpol-nya. Jadi kecepatan penerimaan usul dari "petugas partai" ini kalah cepat dengan manuver politik ketua Parpol lain. Pak Surya Paloh contohnya, langsung mengadakan pertemuan dengan Presiden Jokowi 18 Februari 2024. Sat-set-sat-set.
Penutup dari narasi di depan ini, adalah keterangan Pak Mahfud MD yang seperti "enggan" ikut campur perihal Hak Angket ini.
"Secara konstitusi hak angket itu urusan parpol di DPR, bukan urusan paslon capres/cawapres. Saya bukan orang parpol atau anggota DPR. Kalau Mas Ganjar memang orang parpol. Paslon itu kan di luar partai. Urusannya paslon itu pilpresnya, kalau politiknya itu kan partai. Partai itu ya DPR. Mendukung juga enggak ada gunanya kalau DPR ndak mau."Â jelas Prof Mahfud MD dikutip dari CNN Indonesia (23/2/24)
DEMOKRASI AKAN MENEMUKAN KESEIMBANGANNYA
Setelah lima tahun (2019-2024) menjadi negara "Oligarki" dengan eksekutif, legislatif dan yudikatif hampir bersumber dari pertalian yang sama, di penghujung periode kedua Presiden Jokowi ternyata Demokrasi Indonesia menemukan jalan keseimbangannya sendiri.Â
Tidak disangka muncul sebuah manufer "Paman dan Ponakan" yang membuat Mas Gibran Rakabuming Raka secara legal bisa maju menjadi peserta Pilpres 2024 di tikungan terakhir sebelum perlombaan. Padahal menurut kalkulasi saya yang gila bola nih, duet Prabowo-Erick Thohir akan menang juga satu putaran tanpa embel-embel di belakangnya.
Namun cerita inilah yang menjadi bumbu paling sedap di Pilpres kali ini. Banyak orang berkata Pak Jokowi seorang mastermind politik, banyak pula yang berkata Pak Jokowi mampu menggulingkan sebuah partai besar, namun bagi saya Pak Jokowi terkesan tidak mau menang dengan "mudah".
Disini saya tidak akan membahas subyektif permasalahan tersebut, karena poin inilah yang nanti akan saya tawarkan kepada Sang Pemilik Hak Angket.
Saya hanya akan mengutip ulang perkataan Pak Airlangga Hartanto, Ketum Golkar, saat menyepakati pandangan politik yang sama dengan Partai Demokrat 29 April 2023 silam. Bersama Mas AHY, beliau dengan lantang mengatakan bahwa Pemilu 2024 nanti tidak berlaku The Winner Takes It All!
Bisa kita lihat disini bahwa jauh-jauh hari para elit politik sudah menyepakati bahwa tidak akan ada lagi satu poros kekuasaan di trias politica Indonesia. Demokrasi akan menemukan keseimbangannya. Demokrasi bukan lagi milik penguasa, demokrasi bukan hanya kebijakan PDI-P, dan Demokrasi bukanlah Jokowi.
Saya adalah salah satu fans berat Pak Jokowi sejak kemunculannya sebagai Walikota Solo. Latar belakangnya yang bukan ketua partai membuka gairah saya terhadap politik Indonesia yang sebelumnya hanya dikuasai oleh Ketua Parpol. Dalam hal ini tentang menjadi seorang Presiden. Namun perlu dicatat juga, saya tidak mengkultuskan Pak Jokowi.
MEMBACA ULANG SKENARIO TERPILIHNYA QATAR SEBAGAI HOST WC 2022.Â
Perlu dicatat, saya tidak menyamakan dua peristiwa ini sebagai dua hal yang sama persis terjadi. Di sisi ini saya hanya ingin membandingkan bagaimana cara berpolitik di entitas lain, yakni FIFA.
Secara garis besar Qatar pada tahun 2010 telah ditunjuk FIFA sebagai penyelenggara Piala Dunia Pria tahun 2022. Tidak seperti biasanya, Piala Dunia 2022 akan digelar di pertengahan musim. yakni periode Desember dan Januari. Hal ini dikarenakan jika jadwal mengacu pada kebiasaan (Juni-Juli), suhu di Qatar sedang sangat tinggi-tingginya.
Keputusan ini telah dibuat secara sah oleh mayoritas Komite FIFA. Legal standing-nya ada, dan selamat kepada Qatar telah menjadi penyelenggara salah satu Piala Dunia terbaik di sepanjang masa. Ini merujuk pada luar biasanya turnamen ini digelar dua tahun lalu, dan menyajikan final Piala Dunia paling epik sejauh ini antara Prancis dan Argentina.
Tentu ada banyak penolakan setelah FIFA memutuskan Qatar menjadi tuan rumah Piala Dunia. Para pemain bersuara tentang resiko tinggi bermain di pertengahan musim. Stakeholder sepakbola pun merujuk pada penolakan Qatar terhadap LGBTQ akan menodai semangat pemersatu sepakbola. Dan pada prosesnya, liputan tentang pembangunan stadion dikritik karena disinyalir membayar buruh-burih dengan upah yang minim dengan tuduhan pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Semuanya adalah temuan dari satu sisi, yakni yang menolak Qatar sebagai tuan rumah. Apakah mereka bisa merubah keputusan FIFA? Tidak. Banyaknya petisi yang ditandatangani tidak ada bandingannya dengan kepuasan para pecinta sepakbola atas suguhan yang diberikan Qatar sebagai tuan rumah. Keputusan ini sah dan terbukti berhasil, selebihnya sudah lupa tuh.
GUNAKAN HAK ANGKET UNTUK DEMOKRASI, BUKAN UNTUK SYAHWAT POLITIK
Jika ditanya siapa yang berhasil menunjuk Qatar sebagai salah satu tuan rumah Piala Terbaik yang pernah ada, Sepp Blatter lah orangnya. Mantan Presiden FIFA periode 1998-2015 ini adalah pemimpin Kongres FIFA yang tetapkan Qatar menjadi tuan rumah secara sah, dengan mendapat suara mayoritas dari para anggota FIFA.
Hingga pada akhirnya, muncullah penyelidikan oleh komite independen yang mengendus adanya suap dibalik penunjukan Qatar sebagai tuan rumah. Keseluruhan proses penyidikan ini "mencaplok" 3 nama besar, yakni Mohammed Bin Hammam, Michel Platini, dan Sepp Blatter itu sendiri. Semua cerita di balik layar ini telah tersaji dalam sebuah dokumenter Netflix berjudul FIFA Uncovered. Untuk ulasan dokumenter tersebut bisa dibaca di link ini : "FIFA Uncovered" dan Kontroversi Piala Dunia Qatar".
Poin yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini, adalah agar Hak Angket yang sudah diserukan oleh Pak Ganjar Pranowo, bukan merupakan sebuah kesia-siaan untuk syahwat politik, jika hanya ingin gagalkan jalan Prabowo-Gibran.Â
Berusaha melihat dari kedua sisi, memang akan ada kekecewaan dalam sebuah kekalahan. Tetapi kemenangan sesungguhnya adalah jika mampu menerima kekalahan, dan terus berjuang mencari keseimbangan demokrasi yang seutuhnya untuk rakyat.
Saya jujur mengatakan tidak paham secara spesifik bagaimana pola penyidikan jika DPR sudah menggunakan Hak Angket. Tetapi jika tujuannya untuk menyelidiki pesta demokrasi pada 14 Februari lalu, tidak akan mencapai pangkal permasalahan demokrasi yang ada. Hasilnya nanti hanyalah ada dua, kemenangan Jokowi atau kemenangan PDI-P.
Kemenangan demokrasi sesungguhnya adalah untuk rakyat. Dan rakyat, terkhusus saya, akan lebih menerima bila Hak Angket ini digunakan untuk menyelidiki peran pemerintah (khususnya lembaga eksekutif/Presiden) dalam proses di belakang layar untuk kemenangan Prabowo-Gibran.
Jika memang hasil real count usai diumumkan dan Prabowo-Gibran jadi Presiden dan Wakil Presiden terpilih 2024-2029, seyogyanya ini bisa diterima dengan lapang dada oleh semua pihak sebagai Produk Demokrasi. Saya samakan dengan Qatar yang menjadi host Piala Dunia 2022.
Hasilnya nanti, bisa ada dua kemungkinan. Prabowo-Gibran akan membawa Indonesia menjadi lebih baik, atau juga sebaliknya. Untuk Qatar, mereka telah membuktikan mampu menjadi penyelenggara Piala Dunia dengan baik.
Jika ternyata gagal bagaimana? Berikut ada sebuah pernyataan menarik Sepp Blatter dalam dokumenter FIFA Uncovered.
"Pilihan Qatar adalah sebuah kesalahan. Saat itu, kami sebenarnya sepakat di Komite Eksekutif bahwa Rusia harus mendapatkan Piala Dunia 2018 dan Amerika Serikat pada 2022 . Qatar adalah negara yang terlalu kecil. Sepak bola dan Piala Dunia terlalu besar untuk itu. Pilihannya buruk."Â dikutip dari Liputan6.com.
Ya, Sepp Blatter juga paham dengan konsekuensi terpilihnya Qatar. Tanpa adanya pengalaman menggelar turnamen besar, wajar bila sang pemilih pun berkata demikian. Pun demikian dengan pengusung Mas Gibran Rakabuming Raka, mereka harus siap juga jika seandainya putra sulung Presiden Jokowi ini dicap gagal esok hari.
Presiden Jokowi ketika pada masa pandemi Covid-19 (2020) terkait Perppu Covid pernah lantang mengatakan, "Asal untuk rakyat, saya pertaruhkan reputasi Politik Saya."
Disini perlu digarisbawahi bahwa beliau akan siap dengan segala konsekuensi yang timbul terkait setiap kebijakan yang diambilnya.
Maka dari itu, sebagai penutup artikel ini, hemat saya adalah Hak Angket tersebut digunakan untuk menyelidiki di balik layar terpilihnya Prabowo-Gibran sebagai paslon pemenang Pemilu. Presiden Jokowi tentu akan siap mempertanggungjawabkan seluruh kejadian, baik tentang MK, penggunaan aparatur negara ataupun gelontoran bansos yang totalnya melebihi masa pandemi.
Tujuannya bukanlah semata memakzulkan Presiden Jokowi, tetapi meminta pertanggungjawaban pemimpin negara atas "kegaduhan" yang timbul dikarenakan pencalonan puteranya.Â
Jika nanti tidak ada temuan, ya berarti memang tidak terjadi apa-apa di baliknya. Namun jika ada, ya memang benar kata Pak Airlangga Hartanto, Dalam Demokrasi, Winner cannot Takes it All.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H